Xhardy – Dulu saya memang penggila bola, terutama di zaman Liga Italia saat sedang hot-hotnya. Saat itu ada istilah magnificent seven yaitu 7 klub sepakbola yang dianggap sama level dan berpotensi juara liga. Ini yang membuat persaingan sangat ketat, intens dan penuh drama.
Tapi kesukaan terhadap sepak bola perlahan memudar. Saat ini hanya sekilas doang. Sampai saat ini saya belum menonton satu pertandingan di Piala Dunia kali ini. Hanya sebatas tahu skor dan cuplikan gol saja.
Tapi tahun ini ada fenomena yang cukup menarik. Tapi bisa dibilang sekaligus sangat miris. Ada politisasi agama dalam sepak bola. Maksudnya bukan politisasi agama di sana, tapi orang-orang di sini yang pada heboh mengaitkan bola ke agama.
Saya bahkan tidak tahu harus komentar apa saking terpananya mereka membuat cocoklogi atas nama agama. Sebenarnya ini lucu, tapi entah kenapa banyak yang bangga melakukan ini.
Terutama ketika Maroko berhasil tembus ke semifinal. Banyak yang mengaitkan ini dengan doa dari saudara seiman di seluruh dunia termasuk dari Indonesia. Bahkan ada yang mengaitkan ini dengan kebangkitan khilafah. Apa hubungannya sih?
Bahkan ada kelompok relawan dari capres you know lah, mengadakan acara doa untuk Maroko. Ini benar-benar aneh luar biasa.
Begitulah kalau sudah terlalu fanatik tanpa memperhitungkan logika.
Kalau menang doa bisa memenangkan sebuah tim sepak bola, kenapa orang Indonesia tidak berdoa saja, sehingga Indonesia bisa menjadi juara dunia? Kalau memang lewat doa bisa menghasilkan kejayaan, kenapa Indonesia sampai detik ini tidak bisa masuk Piala Dunia? Bahkan untuk level Asia Tenggara saja masih pontang-panting dan ngos-ngosan.
Pertandingan bola adalah hiburan, tak ada kaitannya dengan agama tertentu. Kalau mau kaitkan dengan agama, lihat saja daftar negara yang pernah juara Piala Dunia, mayoritas dari negara dengan agama Kristen, kan? Apakah itu berarti doa orang Kristen lebih manjur? Ya gak ada kaitannya.
Ini semua berhubungan dengan sistem pembinaan pemain sejak dini, sistem liga yang baik, pelatih yang bagus, mental pemain yang kuat, stamina yang oke, skill yang tajam, kekompakan tim yang solid dan faktor X lainnya, bukan karena mereka tiap hari doa, doa dan doa.
Doa itu, oke lah kita bilang bagus. Tapi kalau doa tidak disertai usaha dan pemikiran logis, mau doa sampai kapan pun tetap tidak akan mencapai tujuan apa pun.
Kalau memang segala urusan bisa dicapai dengan doa, ngapain kerja lagi? Lebih baik duduk manis di rumah, berdoa supaya dikasih uang 1 miliar, dan uang akan datang dengan sendirinya. Ngapain capek kerja, pergi pagi pulang petang pinggang patah pantat panas penghasilan pun pas-pasan?
Ini pemikiran yang harus dibuang jauh-jauh. Duduk malas-malasan cuma mengharapkan doa, dan ketika tidak terwujud, hidup susah malah nyalahkan pemerintah padahal sendiri yang salah.
Dulu sewaktu Covid-19 masih bikin takut, dan belum masuk ke Indonesia, banyak yang bilang Indonesia bakal kebal karena dengan kekuatan doa, virus akan musnah. Lucu gak tuh?
Apakah dengan doa, pandemi bisa musnah? Banyak yang seakan berpikir, dengan doa segalanya beres. Apa pun masalahmu, berdoa sajalah, pasrah sajalah.
Doa dan ibadah tidak akan manjur kalau tidak ada usaha untuk menemukan vaksin atau obat penangkal Covid-19.
Kembali lagi ke Maroko itu. Ada yang sangat membanggakan satu pemain yang saya lupa namanya. Biasa lah dikaitkan dengan agama, tapi begitu muncul foto istrinya yang berpakaian sangat seksi, semua pada terdiam.
Coba pikirkan, untuk urusan bola saja, mereka bisa mabuk agama akut. Tak terbayang kalau misalnya Maroko menang dan lolos ke final, mereka bakal lebih kencang lagi mempolitisasi ini. Dan bayangkan, bola saja dipolitisasi dengan agama, apalagi pemilu nanti.
Ini teaser yang akan menggambarkan, apa yang akan terjadi pada Pilpres 2024 nanti. Seperti yang saya katakan, relawan capres sebelah bahkan mengadakan doa bersama untuk Maroko. Bayangkan sendiri deh apa yang akan mereka lakukan saat pilpres nanti. Pastinya lebih gila lagi levelnya.
Bagaimana menurut Anda?
sumber: seword