UNIVERSITAS DI IRAN JADI PUSAT PROTES DAN SASARAN APARAT

Universitas-universitas di Iran telah berubah menjadi medan pertempuran antara aparat dan demonstran mahasiswa. Gelombang protes terbaru mencerminkan pengalaman generasi sebelumnya.

Dalam video yang beredar di media sosial, para mahasiswa lelaki dan perempuan di kampus-kampus Iran terlihat makan bersama, seringkali di luar ruang makan kampus yang sekarang ditutup. Ruang makan kampus memisahkan mahasiswa berdasarkan jenis kelamin mereka. Tetapi di banyak kampus, mahasiswa merobohkan dinding pemisahnya.

Acara makan bersama para mahasiswa di depan kafetaria kampus yang ditutup sekarang menjadi tindakan perlawanan. Video-video yang disebar adalah bentuk aksi protes dan solidaritas terhadap demonstrasi anti pemerintah yang telah berlangsung selama berbulan-bulan di jalan-jalan Iran.

Dalam banyak video, pengunjuk rasa juga memegang plakat dengan seruan solidaritas untuk rekan-rekan mereka yang telah ditangkap. Menurut laporan media, sekitar 300 siswa telah ditahan oleh pihak berwenang.

Para pengunjuk rasa tampaknya tidak terintimidasi oleh tindakan keras pemerintah terhadap demonstrasi. Dalam sebuah video online mereka bernyanyi: “Seorang siswa mungkin mati, tetapi tidak akan menerima penghinaan.”

Para mahasiswa juga menunjukkan solidaritas dengan anak-anak sekolah Iran, yang aktif dalam protes dan, sebagai akibatnya, mereka harus menanggung resiko. Para siswi di Sekolah Kejuruan Putri Shahid Sadr di Teheran, misalnya, baru-baru ini dipukuli karena ikut serta dalam demonstrasi. “Para siswi dari Sekolah Menengah Sadr di Teheran diserang, digeledah dan dipukuli,” kata kelompok aktivis 1500tasvir dalam laporannya.

Aksi protes duduk mahasiswa di Universitas Alzahra di Teheran, 1 November 2022Foto: UGC

Sejarah aksi mahasiswa dan ketidakpercayaan Khomeini

Ketika Shah Iran digulingkan, beberapa kelompok mahasiswa, yang dimotivasi oleh Islamisme atau sosialisme, pada awalnya berdiri di belakang “pemimpin revolusi” Ayatollah Khomeini. Tetapi kedua belah pihak menjadi “saling tidak mengenal lagi” segera setelah rezim Islam didirikan 1979. Sejak itu, mahasiswa Iran menghadapi tekanan dari para Mullah.

Siswa yang tidak setuju dengan rezim yang baru diculik atau dibunuh oleh pasukan keamanan rezim. Ketidakpercayaan antara kedua belah pihak makin meruncing, sehingga Dewan Revolusi pada Juni 1980 menutup semua universitas di negara itu. Khomeini Ketika itu “menyatakan perang” kepada para mahasiswa, dosen dan profesor. “Kami tidak takut dengan serangan militer. Kami takut dengan universitas kolonial,” katanya.

Rezim selama ini memandang universitas sebagai markas “mujahidin rakyat”, yang merupakan sumber utama oposisi terhadap kepemimpinan Islam. Para pengikut Khomeini “melenyapkan ribuan buku dari perpustakaan dan mengusir ribuan guru dan profesor dari jabatan mereka dengan menyebut mereka sebagai ‘pemeluk ideologi Barat’,” tulis jurnalis Gerhard Schweizer dalam bukunya “Understanding Iran.”

Mehdi Jafari Gorzini, analis politik Iran yang tinggal di pengasingan, mengatakan kepada DW, “Ribuan siswa dipecat, beberapa melarikan diri ke luar negeri, sementara yang lain ditangkap dan dieksekusi. Dia menambahkan, era kepemimpinan Khomeini adalah era ‘pembersihan’ universitas.

Kekuasaan Berdarah Ayatollah Khomeini

Ayatollah Khomeini mengobarkan revolusi 1979 buat mengakhiri kekuasaan monarki yang represif dan sarat penindasan. Ironisnya negara agama yang ia dirikan justru menggunakan cara-cara serupa untuk bisa bertahan.

Reformasi Setengah Hati

Iran pada dekade 1970an mengalami perubahan besar lewat “Reformasi Putih” yang digenjot Syah Reza Pahlevi. Program yang antara lain berisikan reformasi agraria dan pendidikan itu sebenarnya diarahkan untuk mempersempit pengaruh kaum Mullah dan tuan tanah. Namun Reformasi Putih menciptakan ketegangan sosial yang justru ingin dihindari pemerintah. Seluruh negeri tiba-tiba bergejolak.

Monarki Tanpa Oposisi

Iran pada era Pahlevi membungkam oposisi lewat penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan eksekusi mati. Pada demonstrasi massal 1963, sekitar 15.000 mahasiswa tewas terbunuh. Antara 1971 hingga Revolusi Islam 1979, sebanyak 100 tokoh oposisi melepas nyawa di tiang gantungan. Sampai 1975 pemerintah menahan hampir semua jurnalis, seniman, sastrawan, ulama dan akademisi yang bersimpati pada oposisi

Arus Balik Khomeini

Ayatollah Khomeini yang awalnya mendukung kekuasaan terbatas Monarki Iran, berbalik arah memperkenalkan sistem pemerintahan Islam berbasis kekuasaan Ulama, Wilayatul Faqih. Oleh Pahlevi ia dikucilkan. Putra Khomeini, Mostafa, dibunuh oleh pasukan rahasia Syah Iran, Savak, setahun sebelum revolusi.

Sekulerisme Islam

Namun begitu Khomeini tidak serta merta membangun pemerintahan Mullah di tahun pertama revolusi. Sebaliknya ia mengakui peran kelas menengah dalam menjatuhkan Pahlevi dengan membentuk pemerintahan sekuler di bawah tokoh liberal dan moderat Mehdi Bazargan (gambar) sebagai perdana menteri dan kemudian Abolhassan Banisadr yang merupakan aktivis HAM Iran.

Kebangkitan Islam Militan

Tapi menguatnya militansi pengikut Khomeini yang ditandai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Amerika Serikat menyudahi peran kaum liberal. Terutama sejak perang Iran-Irak, Khomeini banyak memberangus oposisi. Antara 1981 dan 1985, pemerintah Islam Iran mengeksekusi mati 7900 simpatisan oposisi.

Pengkhianatan Ayatollah

Untuk mempertahankan idenya tentang kekuasaan Ulama, Khomeini tidak cuma mengucilkan perdana menterinya sendiri, ia juga memenjarakan ulama besar Syiah, Ayatollah Sayid Muhammad Kazim Shariatmadari (gambar) dengan tudingan makar dan calon penggantinya, Ayatollah Hossein-Ali Montazeri karena menentang tindakan represif pemerintah.

Dekade Berdarah

Dekade 1980-an menandai kekuasaan berdarah Khomeini. Dalam Tribunal Iran, PBB menuding rejim Islam Iran melakukan “pelanggaran berat Hak Azasi Manusia.” Selama tahun 1980-an, sebanyak 20.000 tahanan politik meninggal dunia di penjara dan lusinan media diberangus paksa.

Derita di Balik Jeruji

Pengadilan Kejahatan HAM Iran yang digelar di Den Haag tahun 2012 silam mengungkap berbagai kesaksian mantan tapol. Sebagian besar mengabarkan penyiksaan di penjara, antara lain digantung terbalik selama berhari-hari dan dipaksa melihat adegan penyiksaan terhadap rekannya, serta dikurung di sel isolasi tanpa sinar matahari selama berminggu-minggu.

Eksekusi Massal

Hingga kini Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah hukuman mati tertinggi di dunia terhadap tahanan politik. Setahun menjelang kematiannya (3 Juni 1989), Khomeini menggulirkan gelombang eksekusi massal terhadap tokoh oposisi. Tidak jelas berapa jumlah tahanan politik yang tewas. Sebuah sumber menyebut jumlah tapol yang dieksekusi mati mencapai 30.000 orang.

Universitas tetap jadi pusat „kebebasan berpikir”

Pada akhir September, sekitar 70 profesor dari Universitas Teheran menerbitkan surat terbuka kepada pemerintah di surat kabar Etemad. Di dalamnya mereka dengan jelas menggambarkan keluhan politik dan ekonomi negara dan menuntut pembebasan semua demonstran. Pada hari-hari berikutnya, fakultas universitas lain membentuk surat serupa.

“Sejak awal 2000-an, banyak anak muda, termasuk mahasiswa, telah memiliki blog atau halaman web sendiri, dan menggunakannya untuk berkomunikasi dengan orang-orang di negara lain,” kata Jafari Gorzini. Ini menunjukkan kepada mereka bagaimana kehidupan di luar negeri dan pada saat yang sama memberi mereka konsep kehidupan lain, selain yang disebarkan oleh rezim, jelasnya.Selain itu, para mahasiswa juga telah diberitahu oleh orang tua mereka kisah-kisah tentang upaya reformasi yang gagal, juga demonstrasi dan protes besar, kata Jafari Gorzini. “Jelas bagi generasi ini bahwa selama ini semuanya sia-sia dan tidak mungkin ada dialog dengan para Mullah. Makanya radikalisme yang kita alami sekarang ini.” (hp/yf )

sumber: dw

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.