SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES
Keterangan gambar,
Ilustrasi: Perempuan Sudan membawa jerigen air di kepalanya.
Upaya untuk mencegah seorang perempuan muda Sudan dihukum mati dengan cara dirajam karena divonis bersalah telah melakukan zina, terhalang karena kekosongan pos menteri terkait di negara itu.
Saat ini, junta militer memegang kekuasaan di Sudan, setelah melakukan kudeta satu tahun lalu.
Sejumlah pegiat berkata bahwa perempuan berusia 20 tahun itu tak mendapatkan pengadilan yang adil dan menuntut perempuan itu dibebaskan.
Seorang pejabat pemerintah Sudan mengamini bahwa persidangannya itu “sebuah lelucon”, namun dia menambahkan: “Kami tak memiliki menteri yang bisa mengintervensi tuntutan pembebasannya.”
Perempuan muda itu, yang berpisah dari suaminya pada 2020 dan kembali tinggal dengan keluarganya, dituding melakukan zina oleh suaminya setahun kemudian.
Dia divonis bersalah pada Juni 2022 oleh pengadilan di kota Kosti, di Negara Bagian White Nile di Sudan.
Upaya banding telah dilakukan dan putusannya akan keluar dalam waktu dekat.
Sidang yang ‘cacat hukum’
Sulaima Ishaq, yang mengepalai unit kekerasan terhadap perempuan di Kementerian Pembangunan Sosial, berkata pada BBC bahwa dia telah memberi tahu para pejabat di ibu kota Khartoum, persidangan perempuan itu cacat hukum.
Namun, tak adanya menteri-menteri dalam struktur pemerintahan Sudan, membuatnya sulit menyampaikan maksudnya.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan perempuan itu, yang tidak disebutkan namanya oleh BBC atas permintaan keluarga, tidak didampingi pengacara saat dalam tahanan dan tidak mengetahui tuduhan yang ditujukan padanya.
“Kami memiliki alasan untuk meyakini bahwa dia secara ilegal dipaksa untuk menandatangani surat pengakuan oleh polisi,” ungkap Mossaad Mohamed Ali, direktur eksekutif Pusat Studi Keadilan dan Perdamaian Afrika (ACJPS).
Pengacara perempuan muda tersebut, Intisar Abdala, berkata pada BBC bahwa dirinya berharap menyusul pengajuan banding, pengadilan kini akan “melakukan hal yang benar” dan membebaskan kliennya.
Pengunjuk rasa di Khartoum dengan poster bertuliskan “Rajam adalah siksaan, tapi di mana hukumannya?”
Kejahatan ‘hudud’
Sudan masih memberlakukan hukuman mati terhadap beberapa kejahatan yang disebut “hudud” – pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan oleh Allah dalam Al-Quran, termasuk pencurian dan perzinahan.
Berdasarkan undang-undang di Sudan, hukuman yang diberikan bisa berupa cambuk, pemotongan tangan atau kaki, hukum gantung, dan rajam.
Pada 2015 pemerintah yang berkuasa kala itu menjanjikan untuk mencabut hukuman mati dengan rajam, namun rencana itu tak pernah terlaksana, menurut kelompok hak asasi manusia.
“Bahkan politikus yang paling konservatif pun menentang rajam,” ujar Sulaima Ishaq kepada BBC.
“Tapi diperlukan banyak waktu untuk mengubah suatu hal di sini dan kemudian berlanjut ke pengadilan, dan perempuanlah yang paling menderita.”
Hala Al-Karib, direktur regional Strategic Initiative for Women in the Horn of Africa (SIHA) mengungkapkan bahwa regulasi tentang zina di Sudan “diterapkan secara tidak proporsional kepada perempuan”.
Orang terakhir yang diketahui telah dijatuhi vonis hukuman mati dengan cara dirajam atas tuduhan perzinahan adalah seorang perempuan muda Bernama Intisar El Sherif Abdala.
Dia dan bayinya yang berusia empat bulan dibebaskan pada 2012 setelah desakan dari SIHA dan Amnesty International.
Namun, Al-Karib mengatakan kemungkinan ada kasus lain yang luput dari perhatian.
“Para feminis dan kelompok hak asasi manusia di negara ini memiliki sumber daya yang minim dan mungkin ada ratusan kasus yang tidak kita sadari.”
Kriminalisasi perempuan
Di bawah pemerintahan transisi yang berkuasa di Sudan setelah pemberontakan terhadap Presiden Omar al-Bashir pada 2019, undang-undang “ketertiban” yang mengontrol bagaimana para perempuan bersikap dan berpakaian di depan umum dicabut.
Betapapun, jurnalis Sudan, Zeinab Mohammed Salih, melaporkan bahwa “polisi moral” yang biasa melakukan patrol di jalanan dan menegakkan hukum itu telah kembali menyusul kudeta junta militer setahun lalu.
Ada banyak laporan bahwa pendukung setia Bashir telah dipekerjakan kembali oleh junta yang berkuasa setelah kudeta.
“Kami berharap pemerintahan transisi di Sudan akan mengubah kerangka hukum Sudan, yang terus menerus melakukan kriminalisasi terhadap perempuan dan anak-anak perempuan secara terbuka, dan berkontribusi pada subordinasi dan ketidaksetaraan mereka,” tutur Hala Al-Kirab.
“Tapi kami naif.”
Pada 2021, Sudan menandatangi Konvensi PBB menentang penyiksaan.
“Di bawah konvensi, penyiksaan didefinisikan sebagai secara sengaja membuat seseorang menderita dengan intens,” kata Mossaad Mohamed Ali dari ACJPS.
“Merajam adalah salah satu bentuk penyiksaan terburuk.”
LSM lokal dan internasional yang menyerukan pembebasan perempuan muda tersebut juga menggambarkan hukuman rajam sebagai “kejam, tidak manusiawi dan merendahkan”.
Pengacara Intisar Abdala adalah satu-satunya orang yang diizinkan mengunjungi perempuan berusia 20 tahun itu, yang telah ditahan selama berbulan-bulan di sebuah penjara perempuan di Negara Bagian White Nile.
“Perempuan muda itu dalam kondisi kesehatan fisik yang baik, tapi dia sangat cemas. Tak banyak yang bisa saya katakan sebagai pengacara perempuan, yang hidup dan bekerja untuk membantu perempuan lain di wilayah konservatif seperti Kosti,” ungkapnya.
Dia menambahkan, perempuan itu adalah “gadis desa biasa dan sederhana dari keluarga petani yang sangat tradisional dan taat beragama” dan orang tuanya tak meninggalkannya.
“Kami sedang menunggu putusan pengadilan banding namun tak ada yang tahu kapan itu akan terjadi. Menunggu adalah satu-satunya pilihan kami.”
LSM yang menyerukan pembebasan perempuan muda itu menggambarkan hukuman rajam sebagai “kejam, tidak manusiawi dan merendahkan”.
Mereka yang mengampanyekan pembebasan perempuan itu mengatakan bahwa mereka berharap adanya tekanan internasional atas kasusnya.
“Kami khawatir pengadilan banding tak akan memutuskan mendukung perempuan muda itu.”
“Kami menyelamatkan para perempuan dari hukuman ketika komunitas internasional bersuara dan menambah tekanan pada pemerintah Sudan, dan itu harus terjadi lagi dalam kasus ini,” kata Hala Al-Karib.
“Ini mungkin putusan pengadilan yang mengejutkan bagi dunia global, tapi tidak mengejutkan bagi kami.”
BBC telah menghubungi pengadilan pidana Kosti untuk meminta tanggapan, namun hingga kini belum memberikan jawaban.
Sementara itu, tidak mungkin meminta tanggapan resmi dari menteri kehakiman karena pos tersebut tak terisi.
Seorang juru bicara Kedutaan Sudan di London mengatakan bahwa pihaknya sepenuhnya menyadari kasus ini dan apa yang terjadi saat ini “bukan putusan akhir pengadilan”.
“Kami telah menghubungi otoritas kehakiman di Sudan dalam hal ini, dan kami sedang menunggu tanggapan mereka,” ujar juru bicara tersebut.
sumber: bbc