SUMBER GAMBAR, CHRIS MCGRATH/GETTY IMAGE
Keterangan gambar,
Para perempuan berunjuk rasa atas kematian Mahsa Amini pada 02 Oktober 2022 di Istanbul, Turki
Gelombang demonstrasi menentang aturan agama, yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimotori oleh generasi muda dan anak-anak perempuan Iran. Sementara sebelumnya, orang tua dan kakek-nenek mereka gagal mengubah sistem dari dalam.
Dalam pesan video dan di dunia maya, para generasi muda yang menjadi korban aksi kekerasan oleh otoritas Iran, menjelaskan mengapa mereka mempertaruhkan hidup mereka menentang pihak berwenang.
“Ulama, menyingkirlah.”
Itu adalah seruan anak-anak perempuan berusia sekitar 11 tahun di kelas-kelas sekolah di penjuru Iran.
Media sosial saat ini dipenuhi video-video mereka menurunkan foto Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, menyobeknya, dan kemudian, membakarnya.
“Jika kami tidak bersatu, satu demi satu, kami akan menjadi Mahsa Amini selanjutnya” adalah seruan mereka yang lain, merujuk pada perempuan muda Kurdi yang meninggal di tahanan polisi setelah diduga mengenakan hijab “secara tidak layak”.
Mahsa Amini meninggal dunia setelah jatuh koma selama tiga hari dalam tahanan polisi.
Gelombang demonstrasi atas kematiannya tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, meskipun ada aksi kekerasan yang represif dari pihak berwenang.
Seorang pengguna TikTok berusia 22 tahun bernama Hadis Najafi, merekam video di ponselnya saat dia berjalan ke sebuah unjuk rasa.
Dia memimpikan masa depan yang lebih baik.
“Saya berharap dalam beberapa tahun ketika saya melihat ke belakang, saya akan senang bahwa semuanya telah berubah menjadi lebih baik,” katanya, saat malam tiba, dalam video yang diperoleh BBC Persia.
Keluarga Hadis memberi tahu saya bahwa dia ditembak mati hampir satu jam kemudian.
Dalam sebuah video yang beredar di dunia maya, ibunya berkata putrinya mengalami luka tembak di jantung, perut dan leher.
“Dia pulang ke rumah dari kerja dan dia berkata bahwa dirinya lapar, tapi sebelum makan, dia pergi keluar untuk berunjuk rasa demi Mahsa Amini,” tutur ibunya.
“Dia pergi dalam keadaan lapar.”
Kelompok hak asasi manusia berkata puluhan generasi muda, termasuk anak-anak, menjadi korban jiwa dari tindakan represif pemerintah.
Banyak lainnya ditahan.
Itulah yang harus dibayar mahal Generasi Z Iran demi masa depan yang lebih baik.
⁷
Hadis Najafi, pengguna TikTok berusia 22 tahun, berharap Iran bisa berubah – namun dia ditembak mati
Hosein Ghazian, pakar sosiologi di Iran, berkata prevalensi media sosial menjadi salah satu faktor dalam demonstrasi, bersama dengan kekecewaan dan kesempatan akan perubahan.
“Generasi ini lebih up to date dan sadar akan dunia tempat mereka tinggal,” katanya.
“Mereka menyadari bahwa hidup bisa dijalani dengan cara yang berbeda.”
Dia menambahkan: “Mereka tidak melihat prospek masa depan yang lebih baik dengan rezim saat ini dan ini memberi mereka keberanian.”
Sarina Esmailzadeh, bloger video berusia 16 tahun, juga menyuarakan sikap tak kenal takut ini.
“Kami tidak seperti generasi sebelumnya 20 tahun lalu yang tidak tahu seperti apa kehidupan di luar Iran,” katanya dalam sebuah video di saluran YouTube-nya.
“Kami bertanya pada diri sendiri mengapa kami tidak bersenang-senang seperti anak muda di New York dan Los Angeles?”
Polisi moral Iran berpatroli untuk memastikan kaum perempuan memakai jilbab secara baik dan benar.
Para remaja putri ini siap mempertaruhkan segalanya agar mereka dapat menjalani kehidupan yang bermartabat.
Sarina turut dalam demonstrasi dan meninggal dunia karena beberapa tembakan di kepalanya, menurut laporan Amnesty International.
Iran menampik tudingan telah membunuh Sarina, dan mengatakan, dia bunuh diri dengan terjun dari sebuah gedung.
Sebelum meninggal, Sarina Esmailzadeh, 16 tahun, berkata generasinya menghendaki hidup seperti generasi muda di New York
Keluarganya berada di bawah tekanan untuk menerima narasi dari pemerintah, dan enggan memberi tanggapan pada media.
Dalam sebuah video, Sarina melantunkan lagi Take Me to Church milik penyanyi solo Hozier.
Lagu yang ditulis untuk menggambarkan frustrasi dengan pengaruh Gereja Katolik di Irlandia itu telah menjadi lagu kebangsaan untuk kebebasan.
Azadeh Pourzand mengatakan generasi muda Iran belajar dari bagaimana orang tua dan kakek-nenek mereka berupaya mengubah sistem dari dalam, namun sayangnya gagal
Bagi Azadeh Pourzand, peneliti hak asasi manusia, demonstrasi tersebut merupakan momentum perubahan yang mendalam.
Dia tergugah dengan tuntutan para perempuan muda ini yang gamblang.
“Cara mereka berbicara satu sama lain secara sederhana,” katanya.
“Mereka lebih berhasil dibanding kami dalam mengomunikasikan tuntutan dan harapan mereka tentang dunia.”
Dia mengatakan generasi muda ini belajar dari bagaimana orang tua dan kakek-nenek mereka berupaya mengubah sistem dari dalam, namun sayangnya gagal.
Tuntutan agar perempuan diperbolehkan tidak mengenakan hijab berlangsung di Iran selama beberapa hari pada Maret 1979. Para perempuan ini dilindungi sejumlah pria yang membentuk ‘rantai manusia’ dalam demonstrasi tersebut.
“Mereka adalah masa depan dari generasi sebelumnya,” tuturnya, memuji keberanian para perempuan muda ini.
“Mereka menghendaki hidup di mana mereka tidak harus merasa takut.”
Demonstrasi yang terjadi saat ini juga memiliki hubungan personal dengannya. Sebab ibunya, Mehrangiz Kar, adalah salah satu pengacara HAM terkemuka di Iran, namun dia harus melarikan diri dari negara itu.
Dia menuturkan bahwa ibunya menyaksikan gelombang demonstrasi saat ini dengan sedih dan bangga.
Dia juga menuturkan bahwa ibunya merespons positif penolakan mahasiswa untuk memakan makan siang mereka di tempat yang memisahkan jenis kelamin mereka, sesuai aturan yang ditetapkan otoritas Iran.
Alih-alih, mereka duduk bersama di halaman di luar kantin kampus.
“Saya mendapat hadiah, hadiah atas perjuangan sepanjang hidup saya,” tutur Azadeh menirukan perkataan ibunya.
Kini, seluruh generasi Iran sedang menyaksikan dan menunggu.
sumber: bbc