MUNGKINKAH KITA KRISIS ?

Erizeli Jely Bandoro – Devisa negara kita memang besar. Itu menjadi acuan setiap pengamat bahwa Indonesia akan tahan terhadap resesi. Tapi orang lupa tentang teori dalam dunia keuangan. N = Px/Pm. N, merupakan TOT ( term of trade ), indeks harga ekspor (Px) berbanding terbalik dengan indeks harga impor (Pm). Dengan rumus itu artinya kenaikan N, karena perubahan harga ekspor yang lebih besar relatif terhadap harga impor. Indonesia, ekspor kita didominasi SDA, memiliki volatilitas TOT yang 3 kali lebih volatil dibandingkan negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara.

Apa artinya?, kalau ekspor turun maka devisa kita cepat sekali tergerus. Karena 60% ekspor kita dari komoditas tradisional berbasis SDA, itu cepat sekali mempengaruhi nilai tukar riil. Rupiah bisa terjun bebas. Pengalaman tahun 1998, itu contoh sederhana dan faktual. Kita bisa saja bangga dengan kemajuan kita sekarang dan anggota G20. Bisa saja merasa aman karena kata IMF kecil sekali kita kena resesi. Namun fakta, struktur bangun ekonomi kita tidak berubah sejak era Soeharto. Makan dari komoditas pemberian Tuhan. Sama dengan monyet. Engga pakai otak untuk kembangkan value tetapi otot dan ngoceh.

Apa yang terjadi kalau resesi dunia tahun depan meluas ? Menteri keuangan dengan tegas mengatakan bahwa tahun depan (2023) tidak akan ada lagi Windfall profit yang berasal dari komoditas. Permintaan dunia turun, slowdown sebagai dampak dari resesi. Nah kalau permintaan turun, harga juga pasti akan turun. Efek rambatan turunnya ekspor ini akan sangat kuat jika Eropa, terutama Jerman, mengalami resesi. Ketika Eropa resesi, ekspor China akan terdampak. Produksi China akan drop. Tentu demand china terhadap komoditas juga turun. Padahal partner dagang terbesar Indonesia adalah China.

Tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik. Nah, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS. Dollar akan semakin kuat. Dampaknya sangat significant terhadap balance sheet effect. SBN dalam dollar AS akan semakin tinggi bunga dan angsurannya dalam rupiah. Begitu juga hutang valas korporat seperti PLN dan Pertamina dan lain lain. Investor asing pasti hengkang. Karena kurs dollar menguat terhadap rupiah akan mengurangi laba bagi mereka masuk ke pasar domestik. index Bursa akan jatuh.

Dampak lebih luas terhadap dunia usaha ? Perhatikan, semua korporat yang berbisnis komoditas SDA seperti tambang, CPO, dan lain lain itu semua berkembang karena hutang bank. Baik hutang langsung maupun instrument credit antar bank berupa Non Cash loan. Kalau cash flow mereka seret akibat permintaan ekspor turun dan harga juga turun, pastilah mereka akan mengalami kesulitan bayar bunga dan cicilan. Nah kredit korporat akan banyak masuk program recovery perbankan, mengharapkan fasilitas pemerintah agar selamat. Kalau lambat mengantisipasi maka itu akan menjadi pasien NPL. Dampaknya juga kepada transaksi antar bank. Satu NPL akan diikuti oleh yang lainnya dengan cepat. Maklum moral hazar dari adanya crisis. Sistemik. Akan merambat ke sektor jasa seperti logistik, perdagangan dan pariwista.

Bagi pengusaha besar, keadaan tersebut sudah diantisipasi. Mereka belajar dari krisis tahun 1998. Hampir semua kepemilikan saham perusahaan sudah terdaftar di luar negeri. Engga mudah dibeslah. Laba mengalir ke luar negeri lewat skema yang rumit. Setiap ekspansi bisnis, 70% dari bank dalam negeri. Hanya 30% dari laba. Kalau ada apa apa, mereka tinggal angkat koper dan terbang keluar negeri. Tunggu keadaan normal. Sambil menanti itu mereka menikmati kemewahah hidup, sementara rakyat suffering akibat kurs rupiah yang terjun bebas, harga pada naik semua, inflasi merangkak naik, gelombang PHK terjadi meluas.

Jadi apa solusi mengatasi krisis itu ? Arahkan dana kompensasi sebesar Rp. 520 triliun untuk PLN dan Pertamina ke proyek pusat pengembangan industri downstream CPO. Engga usah jual CPO mentah kalau harga jatuh. Jual dalam negeri aja dalam bentuk produk downstream seperti oleo kimia dan oleo pangan. Batubara juga olah dalam bentuk downstream lebih luas sehingga kita bisa mandiri soal energi. Nikel dan lain lain juga sama. its now or never. Disaat krisis, kita harus bersatu. Mari kita ubah haluan bahtera Indonesia raya ini ke arah ekonomi yang transformatif. Udah cukup kebodohan masa lalu. Dan udah dech korupsi.
sumber: Erizeli Jely Bandoro & fb

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.