Widodo SP – Tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan pasca kalahnya Arema dengan skor 2-3 dari Persebaya membuat saya semakin menyadari satu hal: menerima kekalahan bukanlah hal yang mudah, baik bagi perorangan maupun bagi kelompok suporter pendukung klub tertentu.
Jangan bilang penyebab awal kerusuhan di Stadion Kanjuruhan tidak dipicu oleh reaksi kecewa dari Aremania gara-gara timnya kalah, ya! Apalagi kalahnya dari tim rival seperti Persebaya, yang seolah dianggap sebagai “musuh abadi” dan memicu rivalitas sengit antarsuporter kedua tim
Cek saja berita mengenai sejarah kelam dari rivalitas kedua tim, bagaimana situasi di lapangan ketika kedua tim ini bertanding, juga bagaimana panasnya atmosfer media sosial sebelum dan setelah pertandingan. Ketika ada insiden atau gesekan antarsuporter misalnya, bisa dijamin suasana akan semakin panas.
Apakah Memang Harus Menang
Dalam setiap permainan, tentu wajar jika ada menang, juga ada kalah. Tim yang paling super sekalipun, suatu ketika pernah kalah juga. Mosok ya mau menang terus? Kalau main bal-balan ingin menang terus, ya main game PS saja. Kalau pas kalah bisa diulang sebelum permainan berakhir. Betul begitu, kan?
Nah, tampaknya sindrom “maunya menang terus” ini menjadi semacam penyakit yang menghinggapi banyak suporter kita. Lihat saja isi lirik yel-yel, chant, atau “lagu kebangsaan” yang kerap berkumandang di stadion … seberapa sering kita dengar ada lirik yang berkata Kita harus menang atau Kita pasti menang?
Lagu Garuda di Dadaku menjadi salah satunya, dengan lirik yang berkata: “Kuyakin hari ini pasti menang!”
Wow, kok enak banget tuntutannya, harus menang begitu. Trus kalau akhirnya nggak menang gimana dong? Mau ngamuk? Merusak stadion? Kejar dan pukulin pemain lawan? Nggak begitu, kan?
Nah, membahas tragedi di Kanjuruhan bersama keponakan siang tadi, saya menegaskan bahwa tidak mudah mengajarkan orang buat menerima kekalahan atau kegagalan. Sama tidak mudahnya dengan bangkit dan berjuang lagi setelah penerimaan akan kekalahan atau kegagalan itu bisa dilakukan dengab ikhlas.
Bukankah pengajaran untuk menang, berhasil, dan juara lebih sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana dengan merespons kegagalan, kekalahan, atau yang lebih berat … menerima kekalahan yang diwarnai kecurangan atau perilaku tidak sportif?
Berkecimpung dalam olah raga (meskii bukan atlet profesional dan bukan sepak bola), membuat saya semakin memahami bahwa menerima kekalahan tanpa menyalahkan pihak lain dan tidak berperilaku destruktif itu sungguh menjadi semacam skill yang diperlukan pada zaman sekarang.
Kalau merayakan kemenangan dan gelar juara, nggak usah diajari, anak kecil pun bisa melakukan. Namun, anak kecil yang nggak pernah menerima didikan agar mampu berlapang dada setiap kali kalah, gagal, atau bahkan dicurangi … lihat saja akan tumbuh seperti apa dia ketika dewasa.
Orang dewasa model gini, niscaya akan menghalalkan segala cara buat menang atau juara. Kalau dalam politik, kampanye hitam atau kecurangan pun akan dilakukan supaya dirinya atau jagoannya bisa menang. Padahal aslinya, mereka tidak pernah bisa menerima kekalahan karena tidak pernah diajar atau dididik akan hal begitu.
Jadi, kira-kira sebagian suporter kita … jangan-jangan terbiasa hidup tidak sportif dan sukar menerima kekalahan? Kalau maunya menang terus atau kalau kalah trus ngamuk, ya sebaiknya pensiun dini menjadi suporter saja!
Begitulah kura-kura…
sumber: seword