PENGALAMAN PERDANA BEPERGIAN DENGAN KERETA API SURABAYA-JAKARTA

Ilustrasi foto Ulang Tahun Kereta Api Indonesia ke-77. ANTARA foto/Andreas Fitri Atmoko/YU

Sebagai pengguna jasa kereta api di Indonesia sejak tahun 1993, maka dengan bangga saya mengucapkan Dirgahayu KAI ke-77, 28 September 2022. Jadilah yang terbaik dalam menyediakan sarana transportasi publik di Indonesia.

Tahun 1993, sekira bulan Juni. Pengalaman perdana naik kereta api, dari Pasar Turi Surabaya menuju ke Jakarta. Agak lupa turun di stasiun mana. Antara stasiun Jatinegara, Senen atau Gambir.

Tetapi nampaknya bukan Gambir, sebab stasiun yang satu itu dikonsentrasikan untuk perhentian keretap api eksekutif. Sementara kereta yang aku tumpangi, adalah kereta gerbong kelas bisnis gandeng kelas ekonomi. Beruntunglah, abang aku membelikan tiket di gerbong kelas bisnis.

Duh, senangnya bisa naik kereta api. Makhlumlah, alat angkutan masal ini tak ada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kami hanya menonton lewat televisi hitam putih, bagaimana kereta berlari sambil mengeluarkan asap dari bagian lokomotifnya.

Kami terheran-heran waktu itu. Bahkan ada teman yang nyelutuk, “awi…, oto panjang lari pung kincang lai…”. Lebih kurang sama dengan kata wow..bus panjang larinya kencang sekali. Ah, katro benar ya kami.

Kembali ke detik-detik memasuki Stasiun Pasar Turi Surabaya. Aku masuk dengan deg-degan walaupun bersama abangku yang sudah lama tinggal di Jawa. Sebab ternyata banyak sekali orang di stasiun. Ada yang duduk atau mengobrol bersama teman. Ada juga yang tidur-tiduran berbantalkan barang bawaan mereka.

Mudik kereta api awal tahun 2000. Dok news.detik.com
Itu untuk mereka yang memegang tiket kelas bisnis, ada nomor kursi dan gerbongnya. Sedangkan yang gerbong ekonomi tak ad keterangan kursinya. Karenanya, penumpang yang memiliki tiket ekonomi memilih untuk masuk secepatnya di dalam gerbong. Mencari tempat di lantai gerbong. Menaruh barang-barang, dan mengapling area tersebut sebagai tempat duduk atau tidur selama perjalanan.

Peluit berbunyi, pertanda kereta akan diberangkatkan. Beberapa pengantar turun dari kereta. Berdiri melambaikan tangan bersamaan dengan bunyi bel stasiun kereta api.

Aku tak dapat menahan keinginan untuk memandang keluar. Sebab semuanya baru dan asing bagiku. Beberapa penumpang mulai berjalan di dalam gerbong kereta. Namun aku tak berani, takut terjatuh karena belum terbiasa berjalan saat kereta berlari kencang. Tak lucu kan, jika terjerembab di lantai lantaran tak mampu menjaga keseimbangan tubuh.

Nama kereta api waktu itu pun sudah lupa. Juga berapa stasiun yang kami lewati. Hanya masih ingat, setiap stasiun yang kami leawati selalu ada musik khas dari stasiun tersebut. Yang saya ingat, instrumen sepasang mata bola. Ternyata, ya itu instrumen milik Stasiun Yogyakarta. Yang lainnya, blank. Tak ingat lagi. Bel stasiun KA berikut dapat mengingatkan kita.

Di setiap stasiun, selalu ada penjaja makanan dan minuman yang naik ke gerbong dan menjajakan dagangannya. Mereka tak peduli, tengah malam pun tak masalah. Rejeki telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Dan betul, selalu saja ada penumpang yang membeli penganan mereka.

Ketika kereta berjalan lagi setelah berhenti di stasiun, petugas kereta api akan mengecek tiket penumpang. Memastikan dan menangkap para penumpang gelap, tak berkarcis. Kalau ada, bisa transaksi seadanya di atas kereta. Entah uang transaksi itu masuk kantong mana, PT KAI atau masuk saku petugas kereta yang ‘beruntung’.

Kami berangkat dari Surabaya pada sore hari, dan tiba di Jakarta keesokan harinya. Semakin asing rasanya, ketika menginjakkan kaki di Jakarta, ibu kota Negara RI. Ada rasa bangga, juga ada rasa was-was. Ya, rasa nano-nano. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke Bogor. Kali ini, dengan bus hingga ke Terminal Baranang Siang, Kota Bogor.

Itulah pengalaman perdana naik kereta api. Beberapa waktu kemudian, mulai mencoba naik KRL. Diajak sama teman yang asli Jakarta, jalan-jalan naik KRL dari stasiun Bogor hingga stasiun Kota, Jakarta. Kami sengaja jalan siang, sebab penumpang tak sepadat di pagi dan sore hari.

KRL zaman tahun 1990-an. Dok hipwee.com
Ya, pagi dan sore itu full dengan para pekerja. Tak hanya di dalam gerbong, tetapi bergantungan di pintu dan naik di atap kereta. Pemandangan yang biasa saja waktu itu. Waktu itu, hanya ada dua jenis KRL yang ekonomi dengan berhenti di semua stasiun dan ekspress Pakuan yang hanya berhenti di beberapa stasiun.

Waktu itu, di KRL ekonomi, banyak yang tidak membeli tiket. Jika kepepet, maka bayar cepek sambil menunjuk stasiun depan. Bahkan ada yang cuma bilang, abo. Maksudnya, yang bersangkutan berlangganan alias memiliki abonemen kereta. Padahal, Tak punya. Pantas saja, PT KAI selalu tekor.

Kalau dibandingkan dengan saat sekarang, rasanya enak sekali para mengguna fasilitasi kereta, baik itu KRL Jabodetabek maupun KRD tujuan kota lain. Kenyamanan berkereta ini katanya, adalah hasil kerja Ignasius Jonan dan timnya ketika dipercaya memimpin PT KAI.

Perubahan yang luar biasa, dibandingkan dengan tahun 1990-an, atau lebih tepatnya ada perubahan dan perbedaan yang signifikan saat Ignasius Jonan dipercaya untuk memperbaiki perkeretaapian di Indonesia.

Potret perubahan KRL dulu hingga kini. Dok liputan6.com
Dan semoga Di Ulang Tahun ke-77 ini, 28 September 2022, PT KAI semakin berkualitas dalam melayani para pengguna jasa transportasi. Juga menjadi sarana transportasi publik yang diandalkan di Indonesia. Dan tentunya, dikelola dengan baik sehingga memiliki profit sebagai salah BUMN yang sehat.
sumber: kompasiana

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.