DILEMA PEMILIH INDONESIA: TAK PERCAYA PARTAI, TAPI TAK BISA BERPALING

Seorang perempuan bersepeda melewati bendera partai politik jelang Pemilu 2019 di Banda Aceh, 23 Maret 2019. (Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)

Dalam dua kali survei Indikator Politik Indonesia tahun ini, partai politik menjadi institusi paling rendah tingkat kepercayaannya di mata publik. Persentasenya hanya 54 dan 56 persen. DPR berada satu tingkat di atasnya, dengan persentase 61 dan 62 persen. Sayangnya, meski kurang dipercaya, demokrasi nyaris tidak berjalan tanpa keduanya.

Stagnasi dalam sektor politik memang memprihatinkan banyak orang, khususnya generasi muda. Namun, kabar baiknya, menurut Prof. Dr. Firman Noor, MA, peneliti senior di Pusat Riset Politik BRIN, sesuai beberapa penelitian lembaga itu, demokrasi masih dipercaya menjadi sistem terbaik.

“Memang, sebagian masyarakat kita, sangat setuju demokrasi. Tetapi ketika bicara tentang parlemen, partai politik, dan lain lain itu, ceritanya lain lagi. Jangan-jangan mereka membutuhkan demokrasi tanpa partai politik,” kata Firman sambil tertawa.

Firman berbicara dalam bedah buku “The Jokowi-Prabowo Elections 2.0”, yang diselenggarakan Pusat Riset Politik BRIN dan ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, Kamis (29/9). Buku ini adalah catatan terkait Pemilu 2019, dimana untuk kedua kalinya Jokowi dan Prabowo bertarung memperebutkan kursi presiden. Buku ini, memberikan analisis tajam mengenai dinamika pemilu dari berbagai perspektif, dan memandu memahami pemilu presiden dan parlemen pada 2024 nanti.

Firman menambahkan, meski tidak percaya kepada partai politik, meniadakan lembaga itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Selain itu, dia juga mengajak masyarakat untuk tidak menempatkan seluruh politisi partai, dalam posisi yang sama.

“Masih banyak sebetulnya politisi yang punya idealisme. Dia yang masih mau membangun Indonesia dengan lebih baik, dan mudah-mudahan ke depan akan lebih banyak politisi seperti itu,” ujarnya.

“Dan saya kira, nearly impossible kita membangun demokrasi tanpa partai politik. Dan kuncinya, bukan lari dari partai politik, justru kita harus ramai-ramai memperbaiki kondisi partai politik,” tambahnya lagi.

Sebaliknya, jika partai politik ingin memperoleh kepercayaan dari masyarakat, khususnya generasi muda, menurut Firman harus ada bukti bahwa partai bermanfaat bagi pemilih.

Perlawanan Terhadap Partai

Pengamat politik dan kolumnis, Dr. Made Supriatma menyebut, Pemilu 2014 menjadi salah satu tonggak penting, melihat peta hubungan pemilih dan partai politik di Indonesia. Pada Pemilu ini, Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, memperoleh kemenangan.

Made yang juga visiting research fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute mengatakan, yang terjadi ketika itu adalah perubahan cara berkampanye dan karakter dari kandidat.

“Pada waktu Pak Jokowi maju 2014, beliau tidak punya partai politik. PDIP tidak sepenuh hati, dan kemudian dicari terobosan. Pakai relawan, dengan platform,” kata Made.

“Mereka yang mengamati Indonesia dari 2014-2019, ada perubahan besar. Setelah 2014 orang semua berbicara tentang populisme. Dan itulah Pak Jokowi pada waktu itu, seorang populis, out of establishment, tidak menjadi bagian dari elit Jakarta dan bahkan cenderung anti elit, dan ini menangkap banyak imajinasi orang-orang muda untuk bergabung,” paparnya.

Generasi muda pendukung Jokowi, yang menyebut diri mereka relawan, cenderung tidak percaya pada partai poltik, karena menganggap bahwa partai adalah bagian dari kemapanan.

Sayangnya, kondisi mulai berubah sekitar 2016-2017, sesudah pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Made melihat, ada gempa tektonik sangat besar dalam politik Indonesia, yang mengubah banyak hal, termasuk Jokowi sendiri.

“Platform ini tidak bisa lagi dipertahankan. Akhirnya, beliau mulai membuat konsesi. Ganti menterinya, mendekati partai politik, menjadi lebih mendekat ke tentara, terutama mendekat pada polisi,” tambah Made.

Posisi polisi di era Jokowi, kata dia, mirip dengan posisi Angkatan Darat di era Soeharto.

Pada 2019 kondisi ini melahirkan oligarki, sehingga sampai saat ini semua masih berbicara tentang oligarki. Partai politik, yang dikuasai oleh orang-orang berpengaruh secara politik dan ekonomi, dianggap menjadi bagian dari oligarki ini.

Namun, Made meminta masyarakat Indonesia melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat saat ini. Bagaimana keterbelahan terjadi hingga dalam kehidupan sehari-hari, penyerbuan ke Capitol seusai Pemilu, dan banyak peristiwa lain, sesungguhnya membuktikan bahwa demokrasi Indonesia masih lebih baik dibanding Amerika Serikat.

“Usaha untuk merusak demokrasi ada di Indonesia, tetapi di Amerika skalanya luas biasa. Jauh lebih besar. Kita jauh lebih baik. Amerika mengalami kemunduran besar dan itu masuk dalam kehidupan sehari-hari, dan itu sebenarnya dibuat oleh elit,” tandasnya.

Penguatan Civil Society

Indonesianis dari Australia, Dr. Max Lane menyebut, masyarakat Indonesia sebenarnya bisa berperan memperbaiki keadaan, dengan aktif memperkuat civil society. Pada gilirannya, civil society yang akan mengawasi jalannya demokrasi. Jika mantan relawan Jokowi tidak mau berpolitik praktis lagi, Max Lane menyarankan mereka menempuh cara ini.

“Yang lebih penting, menjadi relawan gerakan-gerakan civil society. Kalau mau Pemilu ini maksimal hasil positifnya, civil society-nya harus bangkit dan mengawal. Jadi kalau mau jadi relawan, lebih bagus terlibat untuk kawal proses Pemilu,” kata Max Lane, yang juga visiting senior fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institut.

Pengaruh civil society, menurut Max Lane, bahkan seharusnya mampu mengalahkan pengaruh partai politik. Dengan begitu, akan ada perkembangan signifikan dalam demokrasi.

Sayangnya, meski civil society kuat mengawal proses demokrasi, peran partai politik dalam sistem ini tidak bisa digantikan. “Tidak mungkin ada Pemilu tanpa partai. Solusinya apa? Memperbaiki partai. Itu satu. Saya sendiri melihat, partai itu mencerminkan kepentingan, bukan muncul untuk memenuhi syarat-syarat teoritis tentang partai,” ujarnya.

Salah satu faktor penghambat terbesar terhadap kiprah civil society di Indonesia, kata Max Lane, adalah karena setidaknya dalam 20 tahun terakhir, mereka berjalan sendiri-sendiri. Kondisi ini, berhubungan dengan apa yang disebut Max Lane sebagai masalah identitas, yang berkembang di kalangan civil society sendiri sejak dimulainya Orde Baru.
sumber: voa

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.