SYARAT TINGGI BADAN CALON TARUNA AKMIL DITURUNKAN, BAGAIMANA PENGARUHNYA TERHADAP OPERASIONAL TNI?

Kebijakan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menurunkan syarat minimum tinggi badan dan usia calon taruna di Akademi Militer menuai pro dan kontra.

Pengamat militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengingatkan agar kebijakan itu “jangan sampai membuat TNI kesulitan mengawaki alutsista”.

“Seharusnya peraturan tinggi badan lebih didasarkan pada pertimbangan pembatasan operasional karena terkait pelaksanaan tugas pokok seorang prajurit militer,” kata Anton kepada BBC News Indonesia.

Di sisi lain, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi justru menilai kebijakan ini akan memperluas kesempatan bagi anak-anak muda untuk mendaftar ke Akmil serta memperbesar peluang untuk mendapatkan taruna-taruni dengan kompetensi terbaik.

“Tinggi badan bukan satu-satunya faktor yang menentukan kompetensi. Tidak semua akan mengoperasikan alutsista. Kalau diperbesar, semakin sedikit yang daftar, sementara kebutuhan kita semakin besar,“ jelas Fahmi ketika dihubungi.

Andika sebelumnya menyatakan telah merevisi Peraturan Panglima Nomor 30 Tahun 2020 sehingga tinggi badan calon taruna berubah dari sebelumnya minimal 163 sentimeter, kini menjadi 160 sentimeter.

Bagi calon taruna putri, syarat tinggi badan minimum turun dari 157 sentimeter menjadi 155 sentimeter.

Politisi Partai Gerindra Fadli Zon, melalui akun Twitter-nya menyatakan batas minimum tinggi badan seharusnya dinaikkan.

Seiring kemajuan bangsa, harusnya aturan penerimaan soal tinggi badan dinaikkan, bukan diturunkan. https://t.co/Qdn6UUQ2xS

— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) September 27, 2022

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi menyayangkan kebijakan itu dan mengatakan “akan lebih banyak tugas bisa dilakukan prajurit dengan tinggi di atas 163 sentimeter”.

“Seperti pedal di peralatan mobilitas militer: pesawat, heli, tank, atau jangkauan tangan untuk ambil peluru di tank dan lain-lain,” tutur Bobby kepada wartawan.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI Laksma Kisdiyanto untuk meminta tanggapan terkait kritikan itu, namun belum mendapat respons sampai berita ini diterbitkan.

Namun sebelumnya, Andika melalui akun Youtube-nya menyatakan bahwa kebijakan ini “lebih mengakomodasi kondisi umum remaja di Indonesia.

Mengapa ada syarat tinggi badan dalam perekrutan militer?

Menurut Anton Aliabbas, batas tinggi minimum bahkan tinggi maksimum dalam perekrutan calon prajurit berkaitan dengan alutsista seperti kendaraan tempur, tank, kapal dan pesawat.

Pertimbangan lainnya adalah agar institusi militer tidak perlu sampai menyiapkan baju dengan ukuran khusus.

Namun sebetulnya, tidak ada standar baku secara universal terkait tinggi minimum seorang prajurit militer.

“Artinya masing-masing negara memiliki kebijakan berbeda-beda,” kata dia.

Sementara itu, Khairul Fahmi mengatakan ketentuan soal tinggi badan juga bertujuan untuk memunculkan kesan “kuat, gagah dan berwibawa”.

“Selain soal keterampilan dan kemampuan, bagi mereka sangat penting menampilkan kesan berwibawa dan kuat makanya orangnya tinggi-tinggi,” tutur Fahmi.

Namun karena tinggi rata-rata orang Indonesia berkisar 160 sentimeter, dia mengatakan itu lah yang menjadi acuan syarat masuk TNI.

Bukan kali pertama berubah

Sepanjang TNI dibentuk pada 5 Oktober 1945, Fahmi mengatakan bahwa syarat minimum tinggi badan telah berulang kali berubah.

Namun pada masa-masa awal pasca-kemerdekaan itu tidak ada aturan yang baku mengenai postur prajurit TNI.

“Pembentukan tentara di Indonesia kan tidak langsung profesional, awalnya dari laskar-laskar jadi postur dan tinggi badannya beragam. Awal-awal terbentuk, nggak ada syarat tinggi badan,” jelas dia.

Seiring penataan organisasi TNI dan sistem militer di Indonesia, baru lah syarat minimum tinggi badan ditetapkan menjadi 160 sentimeter.

Baru pada era 1990-an, batas minimum itu dinaikkan menjadi 163 sentimeter.

“Dugaan saya penaikan batas tinggi badan itu supaya menampilkan kesan gagah berwibawa, menunjukkan taraf gizi dan tumbuh kembang anak Indonesia,” jelas dia.

Pengaruhnya pada operasional alutsista

Meski menilai kebijakan itu tak berdampak banyak, Fahmi mengakui bahwa untuk operasional alutsista diperlukan syarat tinggi badan tertentu, mengingat mayoritas alutsista Indonesia merupakan buatan luar negeri.

“Misalnya untuk pesawat pertahanan udara tinggi badannya, jangkauan tangannya harus sesuai. Apalagi alutsista kita kan produk luar negeri, desainnya dirancang lebih sesuai dengan kebutuhan penggunaan di negara-negara yang memiliki badan rata-rata lebih tinggi dibanding Indonesia,” jelas dia.

Begitu pula untuk mengoperasikan tank hingga helikopter.

Namun untuk mengoperasikan alutsista itu, kata dia, akan ada seleksi dan syarat-syarat lebih khusus lagi yang ditetapkan.

Oleh sebab itu, Fahmi berpandangan kebijakan baru ini tidak akan berpengaruh banyak pada operasional alutsista.

“Walaupun yang (tingginya) 160 sentimeter mendaftar kan belum tentu lolos juga, masih banyak aspek lain yang dinilai jadi saya memaknainya ini memberi ruang lebih besar bagi anak-anak muda untuk mendaftar,” kata Fahmi.

Selain itu, ada unit-unit di TNI yang menurut Fahmi tidak mengutamakan tinggi badan. Misalnya pasukan infantri di TNI Angkatan Darat yang tugasnya berada di garis depan pertempuran.

Justru dengan kesempatan yang lebih luas ini, dia menilai Akademi Militer akan memiliki peluang yang lebih besar pula untuk merekrut calon taruna dan taruni dengan “kompetensi terbaik” yang tidak selalu ditentukan oleh tinggi badan.

“Akan ada lebih banyak orang yang mendaftar dan sepanjang seleksinya ketat, tidak ada kekhawatiran bahwa kuota yang diperlukan sulit dipenuhi, tidak perlu lagi ada dispensasi-dispensasi khusus hanya untuk memenuhi kuota,” tutur dia.
sumber: tribunnews

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.