Si Udin pedagang sempak. Pagi dia keluar rumah. Dagang di lapak kaki lima. berdagang dalam was was. Kawatir aparat pamongpraja datang menggaruk. Setiap hari dia dapat uang. Setiap hari uang habis untuk dimakan. Tidak ada yang ditabung. “ Itu semua kendaraan mewah yang ada di jalanan. Pemiliknya sama saja dengan aku. Sama sama
Manusia. Apakah mereka kawatir tidak makan? . Tentu tidak. Kalaulah, kaya itu dekat ke dosa, mungkin berdosa juga tidak buruk daripada setiap hari kawatir tidak makan” kata Udin dalam hati. Dia tidak mengeluh. Hanya bertanya soal keadilan sikapnya terhadap dirinya sendiri.
Udin mulai tertarik membeli barang gelap. Barang selundupan namanya. Harga lebih murah dari harga toko. Omzet meningkat. Laba meningkat. Tabungan juga bertambah. Izin usaha diajukan kepada pemerintah. Udin tak lagi disebut pedagang informal. Dia sudah jadi formal. Mempunyai akses kepada sumber daya keuangan negara. Bank memberikan fasilitas kredit murah tapi dia tidak punya collateral. Udin menawarkan kerjasama dengan venture capital. Proposal bisnis dipoles sana sini. Nilai diangkat setingginya. Uang mengalir dari bank. Pabrik sempak berdiri atas jaminan dari venture capital.
Produksi terjadi. Disitribusi barangpun terjadi. Jumlah pekerja bertambah. Laba meningkat. Berlalunya waktu. Dari konsultan, notaris, lawyer dan fund manager yang merupakan agent pemerintah mendukung legitimasinya menarik uang di pasar modal. Udin atas usulan venture capital ajukan izin ke OJK untuk IPO. Saham 1 rupiah dijual dengan harga Rp. 300 rupiah. Uang mengalir dari pasar modal. Perusahaan sudah berubah jadi lembaran saham yang nilainya tidak lagi berdasarkan harga real tapi persepsi diatas fantasi kapitalis.
Persepsi mulai penting walau dibangun diatas kebohongan. Dari itu nilai saham terus meningkat. Neraca semakin sehat. Sehingga peluang leverage terbuka. Udin tidak perlu kerja keras untuk bayar utang bank dan venture capital. Cukup terbitkan Obligasi uang mengalir lagi ke dalam perusahaan. Belum cukup. Diapun melakukan kontrak REPO untuk menarik uang dari para spekulan. Uang mengalir lagi. Dari aliran uang masuk itu, dia punya akses ke politik dan pejabat tinggi.
Dengan uang ditangan dia mudah dapatkan izin konsesi tambang. Konsultan menentukan nilai tambangnya dan bank memberikan kredit kepadanya. Uang masuk lagi. Kontraktor kerja mengeruk tambang. Pasar ekspor menyerapnya. Udin dengan mudah dapatkan akses HGU dari pemerintah . Dengan offfatake market dari luar negeri dia mudah dapatkan kredit dari bank. Udin ongkang ongkang kaki uang mengalir deras ke kantongnya. Dari aliran uang dari berbagai sumber itu, dia dirikan bank. Modal hanya 8% tapi negara melegitimasi nya tarik uang dari publik 100%. Udin ongkang ongkang kaki orang kerja keras setor uang ke banknya. Resiko ditanggung LPS. Enak ya.
Udin semakin kaya dan semakin sadar bahwa “ kekayaan itu ada pada kekuasaan. Ketidak adilan itu ada karena akses kepada negara butuh procedure formal. Dan lagi akses itu tidak gratis. Tidak hanya perlu effort besar tapi juga perlu mental culas. Udin tahu diri. Tidak perlu merasa jadi orang baik. Dari pedagang, tokoh agama, politisi, pejabat, sama saja. Sistem memberikan kesempatan bagi siapapun jadi anjing pemakan bangkai. Hanya caranya saja berbeda. Ada yang vulgar dan ada yang soft. Masalahnya siapa yang mau makan siapa. Walau faktanya segeltintir orang memangsa mayoritas rakyat.
sumber: Erizeli Jely Bandoro & fb