KRITIK KEPADA PEMERINTAH

Kemarin teman bertanya kepada saya “ kenapa sih tulisan kamu di blog semakin keras aja? Bukankah sekarang semua negara dalam keadaan sulit. Wajar dong kalau kita juga sulit dan lain menurut bank dunia, kita masih bisa tumbuh diatas 4%. Sementara negara lagi masuk ke stagflasi”

Prinsip saya, kalau salah saya katakan salah. Kalau benar, ya saya katana benar. Saya dari dulu tak pernah berhenti kritik. Tapi kritik saya tenggelam oleh pembelaan saya terhadap beberapa kebijakan jokowi. Contoh sederhana. Saya paling keras kritik BUMN yang nepostisme politik sangat kental. Kini lihatlah dampaknya. BUMN semakin buruk pengelolaannya. Dan masih saja kita berusaha menutup keburukan itu walau jelas depan mata kita tahu BUMN sudah tidak lagi rasional dikelolanya.

Saya juga protes ketika tahun 2015 Pemerintah mengeluarkan kebijakan food for energy. Yang saya kritik kebijakannya. Saya tidak mempersoalkan kalau pengusaha membuat downstream CPO yang salah satunya adalah Biodisel. Tetapi kebijakan subsidi CPO untuk biodisel itu melahirkan paradox. Apa paradox itu?

Pertama. CPO itu merusak hutan tropik yang sangat luas. Sangat naif bila difocuskan kepada energi. Padahal Tuhan ciptakan lahan itu untuk pangan. Bukan energy. Kinin terbukti kita korbankan pangan dengan tak mampu menurunkan harga migor. Kalau dihitung nilai subsidi untuk biodisel jauh lebih besar daripada pajak yang disumbangkan oleh pengusaha CPO.

Kedua, lucunya CPO untuk minyak goreng ( pangan) tidak disubsidi seperti halnya harga CPO untuk biodisel. AKibatnya terjadi disparitas harga CPO untuk biodisel dan untuk migor. Ya sebagai pengusaha, orang cenderung menjual CPO untuk oil. Karena harganya mengikuti trend harga minyak mentah dunia. Ya rakyat dikorbankan. Padahal kita pemilik lahan terbesar di dunia. Sekarang berfocus kepada mafia. Padahal tata niaga yang salah.

Saya menentang hilirisasi Nikel untuk baterai tanpa katoda. Karena kita pemilik tambang terbesar di dunia. Mengapa? Kalau hanya jual baterai tanpa katoda itu sama saja kita memberikan nilai tambah kepada industri baterai di luar negeri. Memang nilai tambah kita 10 kali, tetapi China, dapatkan nilai tambah 100 kali. Hampir semua produk smelter nikel berkualitas rendah. Kemudian diekspor untuk diolah lagi jadi premium quality ( nikel sulpat). Tetapi kritik itu tidak didengar.

Sejak era Soeharto sampai kini tidak terjadi transformasi ekonomi kita. Masih bergantung kepada SDA, bukan industri bernilai tambah. Di tengah krisis kita banggakan soal naiknya harga komoditas SDA, semakin kita lupa perlunya industrialisasi. Perlunya tranformasi. Agar apa ? anak cucu kita punya hope yang lebih baik dari kita. Lagi lagi tidak didengar kritik itu. Tenggelam kepada kebencian antar golongan. Padahal semua kita, golongan manapun rakyat itu, adalah korban dari sistem yang tidak tranformatif.
sumber: Erizeli Jely Bandoro & fb

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.