S U B S I D I


Dengan berkata kepada menterinya. “ hapus semua subsidi dan ekspansi sosial kepada rakyat. “

“ Mengapa ? Tanya menterinya

“ Subsidi itu sama saja dengan memberikan racun buruk bagi kebudayaan. Mendidik rakyat untuk terus tergantung kepada pemerintah. Lantas apa artinya revolusi kebudayaan kalau kita tidak berubah. Tetap menjadikan rakyat budak“ kata Deng. “ Rakyat harus kita berdayakan secara ekonomi agar mereka bisa membeli berapapun harga barang. Dengan begitu kita juga membuka kompetisi dan ekonomi jadi proses akal sehat. “ lanjut Deng. Demikian retorik teman saya di china menggambarkan kebjakan dasar Deng dalam mereformasi ekonomi china.

Tuhan menciptakan semesta ini cukup dengan menciptakan hukum gravitasi. Satu kali ledakan besar, selanjutnya berproses. Maka gumpalan debu kosmik terbentuk dan berputar kencang akibat gravitasi. Akhirnya mengeras menjadi kumpulan bintang dan kemudian antar bintang saling tabrakan juga karena gravitasi. Tabrakan antar bintang itu menghasilkan planet. Begitu terus berproses jutaan tahun sampai sekrang sehingga semesta terbentuk. Itulah hukum alam. Hukum sunnatullah. Engga percaya? Silahkan lompat dari gedung bertingkat. Lawanlah hukum gravitasi. Di jamin anda almarhum. Engga ada urusan ada Sholeh atau dekat ke Tuhan. Mati!

Dalam Islam, nabi berkata bahwa harga tidak boleh diatur oleh negara. Karana itu sama saja berperang dengan Allah. Pengertian berperang ini sama saja melawan hukum sunnatullah. Engga mungkin menang. Subsidi itu sama saja dengan intervensi pemerintah terhadap harga. Itu jelas paradox. Mengapa ? Era subsidi itu udah berlangsung sejak era Soeharto. Dan hasilnya kita bangkrut tahun 1998. Setelah reformasi, kita ulang lagi rezim subsidi. Artinya kita hanya mengganti presiden tapi secara budaya dan sistem kita tidak berubah significant.

Sekarang pertanyaannya. Mengapa harus ada subsidi dan mengapa pemerintah takut menghapus subsidi? Jawabnya engga perlu S3 untuk tahu. Penyebabnya adalah pemerintah tidak jujur mengelola sumber daya. Sehingga uang hanya berputar diatas saja. Berdasarkan data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6,% kekayaan nasional. Kalau meliat rasio GINI, tahun 2021, adalah 0,38. Engga jauh bedalah. Dengan data riset credit suisse. Ada perubahan tapi tidak significant.

Benarkah subsidi melahirkan budaya feodal? Mari kita lihat data riset. Berdasarkan Indeks Crony Capitalism, Indonesia berada dalam urutan ke-7 terburuk di dunia. Peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 2017 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016. Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Paham apa yang dimaksud dengan crony ? Ya mereka ada kaum terpelajar yang ada di pemerintahan, partai politik, DPR, LSM, ormas Agama dan para patron. Mereka itu kaya raya dari pengusaha. Sebenarnya, mereka hanya dapet secuil, lebih banyak yang menikmati pengusaha. Kenapa mereka mau? Ya karena bego dan tolol. Dah gitu aja.
sumber: Erizeli Jely Bandoro & fb
foto : ilustrasi

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.