Karmila Sari, Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Sawitku Masa DepanKu (Samade) Riau. Foto: Ist.
Pekanbaru, elaeis.co – Pertumbuhan perekonomian masyarakat terdongkrak berkat dampak positif dari perkebunan kelapa sawit, khususnya di Riau. Akan tetapi, pasca pemberlakuan kebijakan larangan ekspor minyak goreng (migor) dan bahan baku migor, penghasilan petani menukik tajam.
Petani sawit swadaya gelisah karena harga tandan buah segar (TBS) mengalami penurunan signifikan akibat ulah korporasi yang menetapkan harga sepihak. Belum lagi adanya wacana seluruh pabrik kelapa sawit dalam dua pekan ke depan tidak membeli sawit petani karena tangki CPO mulai penuh.
Karmila Sari, Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Sawitku Masa DepanKu (Samade) Riau, sangat prihatin melihat kondisi ekonomi terkini petani kelapa sawit di Bumi Lancang Kuning.
“Ada 60 persen pekebun di Riau menggantungkan hidup dari sawit, jadi secepatnya hal ini harus ditanggapi secara serius supaya ke depan tidak menimbulkan dampak negatif,” katanya kepada elaeis.co ketika dikonfirmasi, Senin (16/5).
Berdasarkan aspirasi petani yang diterimanya, situasi saat ini untuk biaya hidup, cicilan kredit, dan perawatan kebun, tidak tertopang lagi dari penghasilan kebun.
“Dalam rangka membela petani, Samade meminta kepada pemerintah untuk mencabut kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya,” tegasnya.
“Samade juga meminta pemerintah memastikan pabrik kelapa sawit (PKS) mengikuti harga yang ditetapkan disbun provinsi, meminta aparat penegak hukum menindak PKS yang tidak mengikuti harga disbun, serta perbanyak kuota pupuk subsidi dan turunkan harga pupuk non subsidi,” tambahnya.
Menurutnya, tuntutan tersebut akan disampaikan saat agenda pertemuan bersama Gubernur Riau, Syamsuar dengan seluruh stakeholder perusahaan kelapa sawit pada Selasa (17/5) di Balai Pauh Janggi Gedung Daerah Provinsi Riau.
“Rapat itu sengaja digelar untuk membahas dampak pasca kebijakan larangan ekspor CPO,” katanya.
sumber: elaeis.co