Si profesor dari UGM, Karna Wijaya yang sedang naik daun itu, ternyata memang memiliki kaitan dengan radikalis. Ikatannya jauh lebih kuat dari yang terlihat di permukaan. Orang ini memang pandai menyembunyikan masa lalu.
Jauh sebelum komentar kejinya terhadap Ade Armando, korban pengeroyokan kelompok intoleran itu, ternyata lelaki yang berjenggot jarang-jarang itu memang berafiliasi dengan kelompok anarkis, bahkan teroris.
Jadi kalau dia bersikap bengis dan kejam, itu bukan karena efek Corona. Tapi karena endapan doktrin berbahaya di dalam hatinya. Hasil didikan mentornya selama bertahun-tahun lamanya.
Ade Armando yang sering mengkritik gerombolan radikalis itu dianggap sebagai ancaman. Maka kalau sampai ada kata-kata “disembelih” atau menertawakan celana yang diturunkan oleh pengeroyok, itu sudah menjadi sifat alaminya. Itu lahir dari kedalaman hatinya.
Jejak intoleransi dalam dirinya dimulai ketika dia mahasiswa. Ada seorang mentor bernama Syahirul Alim. Orang ini adalah pentolan DI/NII (Darul Islam/Negara Islam Indonesia), yang di zaman Orde Baru sudah berpangkat Amir.
Syahirul Alim pada 80-an adalah dosen kimia F-MIPA UGM. Orang-orang yang saat itu sezaman dengannya tahu sepak terjangnya. Termasuk kedekatannya dengan Karna Wijaya. Tercatat, Karna ini mahasiswa angkatan 1981. Dan saat itu anak-anak kimia direkrut jadi kadernya Syahirul.
Orang yang mengangkat Syahirul Alim sebagai kader NII bernama Abdullah Sungkar, pengurus al-Irsyad Solo. Dia adalah rekan Abu Bakar Ba’asyir, seorang Wahabi yang dianggap sebagai mentor dari banyak radikalis di tanah air.
Di zaman Orde Baru, aktivis NII banyak yang ditangkap. Sungkar dan Ba’asyir kabur ke Malaysia. Tapi jaringan NII tidak pernah mati. Tempo hari ada kabar, ribuan orang di Sumbar jadi angota NII. Itu membuktikan bahwa jaringan ini terus menjalar. Bahkan Karna sekarang malah jadi profesor di universitas ternama. Dan selama bertahun-tahun tidak ada yang mengendusnya.
Namun, hubungan Karna dengan jaringan NII lebih lanjut memang harus didalami lagi. Apakah hubungan terlarang itu tetap terjalin mesra sampai kini? Atau ia pupus sebelum Karna menjadi profesor di UGM? Tapi saya percaya, ideologi radikalis itu seperti api dalam sekam yang tidak mudah padam.
Untuk mengenal lebih jelas profil Karna Wijaya, akan saya uraikan singkat. Orang ini menikah dengan seorang perempuan bernama Titik Nurchasanah. Sang istri adalah pembenci Jokowi tulen. Ia juga mendukung demo untuk “menjungkalkan” presiden. Kata menjungkalkan itu saya kutip dari komentarnya di medsos.
Kata-katanya pedas. Ia menyebut Ade Armando dengan sebutan tikus. Kemudian diralatnya menjadi babi. Kata-katanya tidak cocok dengan jilbab besar yang dikenakannya. Karena tujuan dari berjilbab besar itu untuk menunjukkan kesalihahan pemakainya.
Titik memang tidak pantas mewakili kelompok manapun. Karena pakaian memang tidak otomatis menunjukkan perangai seseorang. Tapi mestinya, sebagaimana kata orang Jawa, ajining raga saka busana, mestinya busana itu mencerminkan kehormatan pemakainya.
Tapi Titik memang beda, baik ucapan maupun pakaian tidak mencerminkan harga dirinya. Titik yang ditampilkan kepada publik adalah Titik yang beringas dan kejam. Titik yang tidak memiliki perasaan welas asih.
Karna Wijaya dan istrinya ini mengelola rumah makan Joglo Engking di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Konon ini adalah salah satu fundrising kelompoknya. Info lebih lanjut masih saya korek lebih dalam. Tapi belakangan, begitu ketahuan perangai pemiliknya, netizen menyerbu google dan memberikan bintang satu pada reviewnya.
Sebagaimana suaminya, sang istri ini juga memiliki pola pikir anarkis. Kata-kata yang dia keluarkan benar-benar tak pantas. Perempuan terdidik, apalagi yang dicap salihah, pastinya tidak akan berbuat demikian.
Ada isu yang menyebutnya pernah melakukan penipuan jual-beli tanah. Tapi ketika saya telusuri, tidak cukup bukti. Yang jelas, si istri ini juga jebolan UGM, sama-sama dari F-MIPA.
Titik ini merupakan pendukung Anies Baswedan yang militan. Dia berstatus sebagai Bendahara Umum Relawan Alumni Gadjah Mada (Relagama) yang mendukung pencapresan Anies. Titik belum lama ini sibuk membagikan stiker bergambar Anies di seputaran Jogja.
Ini juga tidak aneh. Karena para pembenci Jokowi otomatis akan menjagokan Anies. Persis seperti pengeroyok Ade Armando yang sebagian merupakan relawan pendukung Anies. Orang Jawa bilang, tumbu oleh tutup. Pas.
Yang membuat saya tak habis pikir, kenapa orang seperti Karna Wijaya ini bisa menjadi profesor di UGM? Bukankah jejaknya bisa ditelusuri sebelumnya? Kalau keturunan PKI saja bisa dilacak, kenapa orang-orang yang berafiliasi dengan NII tidak? Bukankah mereka jauh lebih bahaya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menabrak tembok. Sebab untuk menjadi profesor, seseorang harus benar-benar bersih dari anasir berbahaya. Apalagi Mensesneg Pratikno juga mantan rektor UGM sebelumnya. Sedikit-banyak tentu bisa memberikan gambaran.
Tapi itulah faktanya. Karna Wijaya bisa lolos dan memiliki posisi prestisius di salah satu universitas ternama. Yang sebenarnya ada dalam pengawasan banyak orang. Ini seperti kemalingan di siang bolong.
Kasus ini perlu ditelusuri lebih dalam. Sebab sudah pasti ada banyak jaringan Karna Wijaya di UGM, yang kemudian menunjuknya sebagai profesor. Ia bukan aktor tunggal.
Kasus Ade Armando akhirnya membuka topeng banyak orang. Bahkan mereka yang selama ini kita anggap sebagai pejuang kemanusiaan. Dalam kasus pengeroyokan itu, mereka bisa-bisanya menutup mata dan menyalahkan Ade yang kata mereka memancing kebencian.
Opini tidak layak dibalas dengan kekerasan. Mereka yang hatinya tertutupi kebencian pada Ade Armando, tidak menggunakan logika dengan baik. Mereka tidak mendukung pengeroyokan, tapi juga menyalahkan Ade Armando.
Ini namanya bersifat permisif terhadap pelaku kekerasan. Istilahnya victimizing the victim. Seperti menyalahkan korban perkosaan karena pakaiannya.
Apa bedanya mereka dengan radikalis berbaju profesor bernama Karna Wijaya dan istrinya…
Kajitow Elkayeni & fb