TOLAK TIGA PERIODE DAN TUNDA PEMILU YANG SEHARUSNYA MEMPERSATUKAN KEMBALI INDONESIA

Eko Wibowo – Sebelas April kemarin ada demo. Demo apa? Sudah banyak diberitakan dan dikomentari yang termuat dalam berbagai platform media. Jadi sudah banyak dimengerti apa yang sebenarnya terjadi. Baik latar belakangnya ataupun kemudian yang terjadi dalam demo tersebut.

Tapi tidak ada salahnya bila sedikit saja disenggol lagi. Begini, demo itu katanya untuk tolak jabatan presiden tiga periode maupun kemungkinan adanya penundaan pemilu. Presiden Jokowi sebagai kepala negara sudah berulang kali menyatakan pendapatnya. Sudah sangat jelas.

Sementara secara proses menuju ke salah satu kemungkinan itu baik di legislatif maupun eksekutif tidak ditemukan tanda-tandanya. Tidak ada hal yang dapat menjelaskan bahwa penambahan periode jabatan ataupun penundaan pemilu menjadi hal yang memang akan dilaksanakan. Tidak ada.

Yang ada selang satu hari justru Presiden Jokowi melantik anggota lembaga negara yang akan menjadi pelaksana dan penanggung jawab pemilihan umum serentak yang sesuai jadwal akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 nanti. Jadi fix, pemilu masih sesuai jadwal. Tidak akan perubahan konstitusi atasnya.

Lalu kenapa mereka itu demo?

Ya hanya karena ada wacana yang sebenarnya masih sangat mentah. Betul, wacana-wacana mentah yang sayangnya disampaikan baik secara jelas maupun secara tersirat oleh pembantu-pembantu presiden. Atau oleh partai-partai yang sayangnya juga adalah partai yang tergabung dengan pemerintah.

Cari masalah saja.

Ya, kenyataannya sepertinya memang begitu. Seperti Indonesia ini sedang gabut saja, sedang berleha-leha karena kekurangan masalah saja, hingga wacana yang demikian kok ya dikemukakan.

Tapi begitulah partai politik dan politikus. Kalau tidak ada rame-rame, mereka ya mau ngapain? Mereka kan akan kelihatan bekerja, tertawa-tawa, dan menikmati, bila ada keramaian.

Begitulah…

Namun sebenarnya ada yang menarik bila dicermati secara benar. Ada hal positif yang bisa diambil sebagai hikmah dari adanya wacana penambahan periode jabatan presiden maupun kemungkinan penundaan pemilu itu.

Apa?

Yaitu sebenarnya karena adanya desas-desus itu bisa menjadi awal dari kembali menyatunya Indonesia yang katanya sempat terkotak-kotak pasca maraknya politik identitas 5-6 tahun belakangan. Betul, sebenarnya itu adalah momen yang semestinya bisa termanfaatkan dengan baik.

Entah dengan alasan yang pastinya berbeda-beda, dari berbagai survei yang dipublikasikan, pada kenyataannya memang umumnya menolak dua kemungkinan tersebut. Mayoritas rakyat tetap ingin presiden dua periode saja dan pemilu dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.

Sebagian memang mendukung penolakan hanya karena mereka anti Jokowi. Terbukti dalam demo 11 April kemarin, ujung-ujungnya tuntutannya adalah turunkan Presiden Jokowi.

Tapi itulah mereka. Begitulah kelompok itu. Sebagiannya lagi memang adalah kriminal. Terbukti dari apa yang menimpa Dr. Ade Armando.

Yang patut diperhatikan adalah mereka yang masih waras dalam berkonstitusi. Mereka yang tidak main api yang bisa saja membakar melebar ke mana-mana. Mereka yang adalah mayoritas penolak penambahan menjadi tiga periode ataupun penundaan pemilu itu.

Artinya mereka secara umum tidak terpengaruh oleh para sebagian elit bermental semi-Sengkuni yang menghembuskan wacana-wacana meresahkan itu. Artinya mungkin sebenarnya rakyat juga sudah siap dengan segala kemungkinannya bila Pak Jokowi telah selesai dalam tugasnya. Artinya juga sebenarnya mereka sudah punya pilihan pada nanti saatnya. Tidak pusing-pusing. Tidak bingung-bingung. Mereka tidak aneh-aneh. Lugu dan wajar-wajar saja. Tidak terlalu khawatir harus kehilangan sesuatu seperti elit-elit itu. Santai.

Mereka itu yang sadar pada resiko demokrasi. Mereka yang yakin bahwa dengan menambah satu periode lagi atau menunda pemilu, apa iya setelahnya nanti ada jaminan pemimpin penerus Pak Jokowi sudah tersedia? Apa iya bila kemudian di tambah atau dalam masa ditunda itu, ada jaminan akan damai-damai saja, toh sekarang inipun kegaduhan-kegaduhan seperti tidak ada berkurangnya?

Kekhawatiran ya pasti ada. Tapi dalam suasana yang sedemikian terbuka ini, seharusnya sudah cukup mendatangkan rasa percaya diri bahwa Indonesia ke depannya akan baik-baik saja. Bukankah para pencoleng, para pendompleng demokrasi, dan para penjual-pemuja kata-kata itu sudah sedemikian terbuka boroknya kini?

Akhirnya, seharusnya adanya isu penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden itu menjadi awal bagi kembalinya pada Indonesia yang satu. Pada Indonesia satu yang ternyata tidak memberi tempat para kerakusan kekuasaan.
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.