MEMAKNAI SUMPAH PEMUDA MESKI UMUR TAK LAGI MUDA

Josrai Sibagariang – Mendengar kata Sumpah Pemuda, maka yang terlintas dibenak kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 yang silam. Berkumpulnya para pemuda dari berbagai daerah untuk menyatukan tekad mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Para pemuda itu mengikrarkan sebuah janji bahwa mereka akan bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Dan tidak bisa dinafikan bahwa peristiwa Sumpah Pemuda memiliki peranan atas terwujudnya kemerdekaan Indonesia 76 tahun silam.

Pemuda memang memiliki kedudukan tersendiri dalam perjalanan sejarah Indonesia. Sebagaimana peranan pemuda pada saat menjelang Indonesia Merdeka, para pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sesegera mungkin setelah berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Pemuda juga yang sudah menumbangkan kekuatan rezim Orde Baru hingga bergantinya menjadi Reformasi. Pemuda selalu digambarkan sebagai kekuatan yang mampu membawa perubahan dalam berbagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam memperingati hari Sumpah Pemuda kita patut menyadari bahwa segenap masyarakat Indonesia berhak untuk merayakannya, mulai dari anak-anak hingga yang sudah tua renta.

Adapun yang patut kita rayakan dari peristiwa Sumpah Pemuda adalah semangat para pemuda ketika itu dalam menggalang persatuan dan kesatuan.

Peristiwa Sumpah Pemuda adalah bukti kekayaan budaya yang patut kita apresiasi. Dengan segala keterbatasan alat komunikasi pada masa itu, peristiwa besar yang menyatukan organisasi pemuda dari berbagai daerah bisa berkumpul di suatu tempat dan menghasilkan kesepakatan yang sangat berharga. Fakta sejarah ini mengajarkan kita yang hidup pada masa mudahnya persebaran arus informasi saat ini. Siapapun kita, apapun profesi kita, berapapun usia kita saat ini maka sepatutnya kita pergunakan kemudahan akses komunikasi saat ini untuk menggalang kesatuan dan persatuan untuk keutuhan bangsa dan Negara yang kita cintai ini. Pesatnya kemajuan teknologi yang sedang kita hadapi saat ini tidak bisa menjadi alasan untuk membawa perpecahan, dan harus kita mulai dari lingkungan terdekat.

Peristiwa Sumpah Pemuda mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan suku, ras dan agama. Para pemuda yang berkumpul dalam peristiwa 28 Oktober 1928 berasal dari berbagai suku, ras dan agama. Para pemuda yang berkumpul disana bukan hanya satu suku, satu agama maupun satu ras saja mereka berasal dari berbagai suku, ras dan agama. Saya yakin mereka tidak mempersoalkan perbedaan yang ada pada masa itu. Fakta sejarah yang membuktikan ini adalah ketua Kongres Pemuda II yang terpilih adalah Soegondo Djojopuspito bukan anggota dari organisasi kesukuan melainkan organisasi pemuda yang independen yang bukan berdasarkan kesukuan yakni Persatuan Pemuda Indonesia (PPI). Kita memang kaya dengan suku, setidaknya ada 1340 suku yang mendiami nusantara ini. Demikan juga dengan agama, ada enam agama ditambah dengan ratusan aliran kepercayaan yang tersebar di Indonesia.

Perbedaan ini memang sering sekali menyebabkan terjadinya gesekan-gesekan di masyarakat, baik secara horizontal maupun vertikal. Isu perbedaan suku dan agama adalah isu yang paling sensitif dan sangat berpeluang menyebabkan disintegrasi. Kita tidak bisa melupakan pemuda bernama Sie Kong Liong, pemuda Tionghoa yang menyediakan rumahnya untuk dijadikan sebagai tempat untuk memperlancar jalannya Kongres Pemuda. Demikian juga Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya dari kalangan agama minoritas. Seandainya pada masa itu para pemuda mempersoalkan perbedaan suku dan agama, maka belum tentu kita mengenal Indonesia seperti sekarang ini.

Demi keutuhan bangsa dan Negara tidak boleh ada kata mayoritas dan minoritas. Kita memiliki peranan masing-masing sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Siapapun dan berapapun usia kita, apapun profesi kita saat ini kita harus menjunjung tinggi nilai Pancasila sila yang pertama. Perbedaan adalah keniscayaan yang tidak bisa dinafikan. Sejak awal Sang Pencipta sudah mendesain Indonesia dengan warna-warni perbedaan dan perbedaan itu yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang kuat. Tidak ada satupun manusia yang dapat memilih dia terlahir dari suku atau agama tertentu yang sesuai keinginannya. Suku adalah kodrat yang harus kita terima sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa. Agama adalah jalan yang kita pilih untuk menuntun kita pada kehidupan yang baik. Meskipun suku kita berbeda, tapi kita punya tujuan yang sama yaitu Indonesia yang kuat dan tangguh. Indonesia tidak akan sekuat dan setangguh saat ini kalau hanya ditopang oleh satu suku saja, Indonesia menjadi kuat karena segenap suku bangsa yang ada di negeri ini merasa memiliki atas nusantara ini. Meskipun agama kita berbeda, tapi kita berada di satu jalur yang sama yakni jalan kebaikan dan cinta akan kebenaran yang merindukan kehidupan yang damai dan penuh kasih kepada sesama.

Indonesia akan semakin tangguh ketika kita tetap bergandengan tangan. Mari berbuat demi bangsa kita. Mari kita mulai dari diri sendiri dan dari lingkungan terdekat kita untuk mencintai segala perbedaan sebagai kekayaan yang dianugerahkan oleh Tuhan. Sumpah pemuda memang mengikrarkan untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu. Namun Sumpah Pemuda tidak pernah mengajak untuk beragama satu, sebab mereka telah memahami bahwa agama adalah urusan individu dengan Sang Penciptanya. Persoalan bertumpah darah demi bangsa dan Negara itulah kewajiban kita untuk ibu pertiwi tanpa memandang suku dan agama.

Jayalah negeriku, jayalah bangsaku. Semoga Indonesia semakin tangguh. Selamat memperingati hari Sumpah Pemuda
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *