ARAB SAUDI BEBASKAN ALI AL-NIMR SETELAH SEMPAT DIVONIS HUKUMAN MATI TERKAIT AKSI PROTES KELOMPOK SYIAH

Otoritas Arab Saudi telah membebaskan Ali al-Nimr, yang merupakan keponakan dari ulama Syiah terkemuka Syekh Nimr al-Nimr, dari hukuman mati terkait kasus unjuk rasa yang dia ikuti ketika masih remaja.

Kasus hukum yang menimpa Ali al-Nimr ini sempat memicu kecaman dunia internasional.

Ali al-Nimr baru berusia 17 tahun ketika dia ditangkap pada 2012, dalam sebuah unjuk rasa anti-pemerintah yang diinisiasi kelompok minoritas Muslim Syiah.

Pada 2014, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Ali al-Nimr, berupa pemenggalan diikuti dengan menampilkan tubuhnya di hadapan publik.

Al-Nimr kemudian mendapatkan keringanan hukuman pada Februari lalu, setelah Kerajaan Saudi membatalkan hukuman mati untuk sejumlah kasus pidana yang dilakukan oleh anak-anak.

Arab Saudi merupakan negara yang paling banyak melakukan eksekusi hukuman mati di dunia. Setidaknya 40 orang telah dieksekusi mati sepanjang Januari-Juli 2021, lebih banyak dibandingkan jumlah eksekusi mati sepanjang tahun lalu ketika Saudi menjabat presidensi G20.

Paman dari Ali al-Nimr, Syekh Nimr al-Nimr, telah dieksekusi oleh otoritas Saudi pada 2016 atas kasus terorisme.

Syekh Nimr al-Nimr merupakan sosok yang vokal mendukung aksi protes ‘Arab Spring’ yang merebak di provinsi-provinsi timur Saudi pada 2011. Aksi protes tersebut dimpimpin oleh kelompok Syiah lokal, yang telah lama merasa dipinggirkan oleh monarki Sunni Arab Saudi.

Ali al-Nimr sendiri ditangkap dalam salah satu unjuk rasa pada Februari 2012. Pengadilan terorisme kemudian menyatakan ia bersalah karena “melanggar kesetiaan terhadap penguasa”, “berulang kali menyanyikan nyanyian melawan negara”, serta menyerang polisi dengan bom molotov dan batu.

Dia membantah tuduhan itu dan mengatakan kepada pengadilan bahwa polisi memaksanya memberi pengakuan palsu melalui penyiksaan.

Empat bulan kemudian, pengadilan yang sama menjatuhkan hukuman mati kepada dua aktivis muda Syiah lainnya dengan tuduhan dan aksi protes yang sama, namun dalam kasus terpisah.

Kedua aktivis muda itu ialah Abdullah al-Zaher dan Dawood al-Marhoun, yang masing-masing masih berusia 15 dan 17 tahun saat ditahan. Keduanya juga bersaksi bahwa mereka dipukuli hingga mereka mau menandatangani pengakuan palsu.

Ketiganya masih divonis hukuman mati hingga awal tahun ini, meskipun ada permohonan grasi dari keluarga dan organisasi hak asasi manusia. Hukuman mereka akhirnya diringankan menjadi 10 tahun penjara setelah ada pengumuman dari Komisi Hak Asasi Manusia Saudi.

Komisi tersebut mengutip Undang-Undang Tahun 2018 yang melarang hukuman mati terhadap anak dalam beberapa kasus, serta Dekrit Kerajaan 2020 – yang tidak dipublikasikan – yang memungkinkan UU tersebut diberlakukan secara surut.

Meski Ali al-Nimr telah dibebaskan dari penjara pada Rabu (27/10), Badan Amal Anti-hukuman Mati Reprieve mengatakan Abdullah al-Zaher dan Dawood al-Marhoun masih berada di balik jeruji besi.

Direktur dari badan amal tersebut, Maya Foa menyebut pembebasan Ali al-Nimr sebagai “tanda-tanda kemajuan yang nyata”, namun mengingatkan bahwa vonis hukuman mati terhadap kejahatan di masa kanak-kanak masih terjadi di Saudi.

Pada Juni lalu, seorang pria bernama Mustafa al-Darwish dieksekusi mati atas kasus protes yang dia lakukan ketika masih anak-anak, di saat ada moratorium terhadap sebagian hukuman mati. Dia masih berusia 17 tahun ketika ditangkap pada 2015, dan mengatakan bahwa dia disiksa agar membuat pengakuan palsu.

Abdullah al-Howaiti, 19 tahun, juga masih berada dalam vonis hukuman mati karena merampok sebuah took perhiasan dan menembak mati petugas polisi ketika dia masih berusia 14 tahun
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *