Cak Anton – Memang pilpres masih lama. Tapi geliatnya sudah terlihat dari sekarang. Hal tersebut tidak lebih dan kurang untuk tebar pesona dan perkenalan diri. Jadi mau tidak mau kita sebagai rakyat pun ikut terbawa dan terbawa untuk memikirkannya.
Untuk calon presiden, sebenarnya ada dua pilihan yang begitu srek di hati saya sebagai rakyat jelata. Pilihan yang benar-benar murni tanpa dipengaruhi embel-embel ketenaran yang bisa dibuat seperti Prabowo ngiklan di TV saat membuat partai Gerindra hingga habis duit banyak dan tekenal, atau ketenaran SBY dulu yang di TV selalu dicerminkan terzolimi Megawati atau ketenaran Anies karena dia adalah pemimpin Seiman yang membawa sentimental pemilih karena lawannya adalah Ahok, orang yang dianggap sebagai kelompok minoritas baik secara suku hingga agama.
Pilihan yang pertama adalah Gibran. Sepak terjang dan gaya komunikasi mirip seperti Jokowi. Cara kerjanya pun begitu. Ditambah wawasan tentang perubahan zaman begitu bagus karena dia terjun langsung di berbagai bidang bisnis starup yang rintis sebelum terjun ke dunia politik.Cocok untuk menjadi agen perubahan bagi bangsa lebih baik dan tidak tertinggal karena perkembangan zaman yang begitu cepat.
Pilihan yang ke dua adalah Budiman Sudjatmiko. Mentalitas tempurnya sudah terbentuk saat menumbangkan orde baru. Keadilan dan persatuan bangsa sudah pasti dijunjung tinggi. Ia begitu perduli akan ilmu pengetahuan yang begitu penting untuk mensejahterakan manusia. Ia begitu paham birokrasi dan begitu terbuka dengan perbedaan.
Segala isu ia tanggapi dengan elegan. Begitu matang. Cuma saya belum mempelajari apakah beliau pernah memimpin di dunia usaha, karena menurut saya itu penting agar terbiasa dalam hitungan yang matang dalam mengelola negara. Itu mengapa, ia saya tempatkan di urutan pilihan ke dua. Padahal pengennya beliau di urutan pertama karena beliau memang pejuang yang luar biasa.
Meskipun begitu, realita pilihan tak merestui mereka berdua. Gibran terlalu muda dan tak bisa secara aturan. Sedangkan Budiman tidak cukup populer. Masyarakat tidak banyak yang tahu tentang beliau.
Lalu pilihan terakhir hati ini pada Ganjar. Itu kenapa saya senang bergabung dengan orang-orang yang mendukung Ganjar. Tetapi tak jarang para pendukung Ganjar itu hajar sana-sini terutama menyikapi perbaedaan di tubuh PDI P, partai tempat Ganjar ditempa dan dibesarkan.
Para relawan Ganjar mencoba menjaga elektabilitas yang lebih tinggi dari yang lain dengan mengcounter siapa saja yang dianggap menganggu elektabiltas Ganjar, tak perduli kader PDI P yang mengkritik tentang pendeklarasian dini pendukung Ganjar.
Sebagai relawan, seharusnya memberikan jalan mulus untuk ganjar secara cantik. Bukan hantam sana-sini yang menganggap Ganjar tak membutuhkan PDI P untuk maju di pilpres 2024. Jika begitu lawan Ganjar akan datang dari segala penjuru, bukan dari kubu politik lain seperti kelompok Anies, Prabowo hingga AHY saja, tetapi dari internal partai yang notabene menjadi partai dengan tingkat elektabilitas masih eksis di urutan pertama yaitu PDI P.
Dalam kehidupan ini, modal yakin saja tidak cukup. Hal itu karena sang pencipta sudah menciptakan hukum yang berfungsi sebagai alat untuk menjaga tatanan kehidupan. Hukum sebat akibat begitu penting dalam kehidupan ini. Apa yang diperbuat, akan menimbulkan akibat.
Kalau Ganjar tidak diusung oleh PDI P dan para pendukungnya menganggap PDI P bisa hancur itu hanya asumsi. PDI P eksis sebelum Ganjar tenar. Jadi anggapan itu belum bisa sepenuhnya bisa dipercayai.
Begitu banyak variable yang harus dipikirkan untuk memenangkan Ganjar, karena mau diakui atau tidak, dia bukanlah Jokowi yang sudah tenar karena kinerjanya semenjak jadi Walikota Solo. Jokowi yang nyentrik karena mau blusukan.
Jokowi mengubah budaya politik negeri ini. Dulu para pemimpin itu seperti priyayi yang harus dilayani. Tetapi setelah Jokowi menjabat, pemimpin negara itu dituntut untuk melayani rakyat dengan berbagai kebijakan dan tindakannya yang tidak alergi dekat dengan rakyat.
Sebagai penutup, sebenarnya pilihan utama kala boleh memilih siapa yang menjadi Presiden adalah Ahok. Ahok dan Jokowi bagi saya anggap seperti agen perubahan di negeri ini. Namun Ahok tersandung karena ia diciptakan dari rahim ibu seorang minoritas yang mau tidak mau mempengaruhi pandangn manusi secara subjektif. Udah ah, itu aja…Cak Aton.
sumber: seword