Cak Anton – Banyak versi sebuah kriteria seorang pemimpin. Semua tergantung dari sudut pandang si pembuat versi. Namun, bagi saya, apapun versi dari standar atau criteria pemimpi, hasil adalah pembuktiannya. Misalnya SBY yang hebat bisa menjadi Presiden dua priode, tetapi tidak meninggalkan fundamental ekonomi yang berarti. Proyek infrastruktur mangkrak dan tak ada gebrakan yang berarti. Yang ada meninggalkan berbagai permasalahan yang harus diselesaikan pada masa pemerintah Jokowi.
Sebagus apapun diksi dan tatanan kata dalam sebuah visi misi seroang pemimpin, menjadi percuma jika itu tak masuk akal dan tak dapat digapai. Relevansi adalah kunci. Kata sederhana tak masalah, asalkan tidak mengawang-awang tanpa bisa digapai. Tak perlu kata-kata prihatin, tetapi tindakan adalah hal yang paling penting.
Sebuah kata adalah cerminan diri. Orang yang pandai bersilat lidah, adalah cermin orang yang memiliki prioritas mencari keuntungan diri tanpa perduli dengan yang lainnya. Kata yang tak masuk akal pun cirri pribadi yang belum cukup mempuni untuk bisa dijadikan seorang pemimpin. Itu semua bisa menyesatkan. Masih ingat kata Tifatul sembiring, kominfo era SBY yang menanyakan internet cepat buat apa? Mau diakui atau tidak, itulah cerminan dari isi kepala menteri dua priode asal PKS yang menjadi teman koalisi SBY ketika itu.
Jika kita ingat pilkada Jakarta tahun 2017, AHY takut debat karena belum tahu apa-apa namun dipaksa untuk maju menjadi calon gubernur. Rakyat sepertinya bukan prioritas bagi SBY, karena bukan kader pengalaman yang diambil, tetapi anaknya yang untuk debat aja bingung.
Meski kalah pilkada, AHY pun seperti kembali dipaksan oleh SBY untuk menjadi ketua umum partai Demokrat. Gejolak pun akhirnya terjadi. Dan berdasarkan survey litbang Kompas yang terakhir, Demokrat kalah dengan PKS yang menempati urutan nomor 4, dimana urutan pertama dipegang oleh PDI P, ke dua oleh Gerindra, dan ktiga oleh Golkar.
Sebagus apapun pidato AHY yang diberi nama pidato kebangsaan, namun ia bukanlah pemimpin yang baik sehingga terjadi pergolakan dalam tubuh partai, dan suara partai Demokrat tergerus. Hasil adalah kunci kepiawain seorang pemimpin untuk bisa menggapai tujuan. Dalam hal ini membesarkan partai.
Masih seputar pilkada Jakarta yang menjadi barometer politik di Indonesia. Di pilkada 2017, Anies yang dianggap perwakilan dari akademisi sungguh piawai dalam menata kata. Banyak orang terpesona dengan tatanan katanya, dan melupakan relevansi atas kata-kata indah yang terlontar dari mulut manis Anies Baswedan.
Contohnya adalah, keberpihakan yang dikemas sedemikian rupa sehingga membuat orang menjadi buta akalnya dengan menganggap janji rumah tapak DP nol rupiah bagi warga miskin bisa diwujudkan. Pulau reklamasi yang aturannya sudah ada sejak orde baru pun dianggap bisa dibatalkan. Pada faktanya, rumah tapak DP nol rupiah bagi rakyat miskin tak bisa dilaksanakan. Selain itu, Anies menerbitkan ribuan IMB pulau reklamasi tanpa NJOP 15 persen dengan perkiraan nilai yang bisa didapat pemda Jakarta mencapai ratusan triliun rupiah hilang begitu saja.
Naturalisasi, program pengganti normalisasi sungai yang dijanjikan untuk mencegah bajir tanpa perlu memindahkan warga dari pinggiran sungai pun hingga kini hanya indah saat diucap namun secara fakta tidak ada implementasi yang bisa menyelesaikan masalah. Meskipun begitu, dia tetap dielu-elukan untuk maju menjadi capres potensial. Orang pun melupakan berbagai kekonyolan lebih bayar yang dilakukan pemprov Jakarta di era Anies. Melupakan transparasi yang lenyap di era Anies.
Politisi narsisisme lebih mendominasi ketimbang politisi aliran kerja-kerja dan kerja. Ngomong ngalor ngidul, tetapi itu semua hanya berupa imajinasi tanpa relevansi. Contohnya Fadli Zon yang mengatakan bahwa korupsi bisa dijadikan oli pembangunan. Lalu Rocky Gerung, yang omongannya penuh dengan caci maki.
Yang lebih lucu lagi Ganjar. Sudah tahu Rocky Gerung itu suka mencaci, tetapi dipuji. Jika tidak mau berpolemik, seharusnya Ganjar diam Saja. Kalau dia memuji Rocky Gerung adalah orang cerdas, Ganjar harus bertanggung jawab ketika nanti saling memaki di media sosial menjadi budaya baru generasi milenial kita karena dianggap hebat seperti Rocky Gerung.
Ekonom, pegamat dan para akademisi banyak bicara di media. Tetapi, omongannya cenderung seperti tong kosong yang nyaring bunyinya. Rizal Ramli, sudah berkali-kali jadi menteri dan dipecat karena dianggap tidak pernah berprestasi. Tetapi, selalu saja ngoceh sana-sini tiada henti. Begitu juga dengan orang-orang yang dipecat dari komut BUMN, gak berkontribusi saat menjabat, tetapi ngomongnya udah paling benar sedunia akhirat. Tak lupa Gatot, ketika menjadi panglima TNI diem bae, tetapi ketika sudah tidak menjabat ngoceh sana-sini tentang PKI. Padahal saat dia menjadi panglima TNI, kalau memang ada PKI, harusnya diselesaikan karena memang PKI sudah dilarang, sama seperti HTI dan FPI.
Semua perkataan yang keluar dari merka penuh dengan intrik yang hanya menunjukkan bahwa mereka punya power untuk memprovokasi jika tidak diberi posisi. Selain itu, hampir tidak ada perkataan yang bisa diambil sisi baik ataupun solusi yang biasa ada di dalam kritik membangun yang jika memang bertujuan mulia demi kepentingan bangsa dan negara. Udah ah, itu aja…Cak Anton
sumber: seword