OJK menyebut penarikan barang kredit dari debitur oleh leasing sering kali bermasalah karena perusahaan ternyata menggunakan jasa penagih ilegal.(Arsip OJK).
Jakarta, CNN Indonesia — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut penarikan barang kredit atau eksekusi jaminan fidusia dari debitur oleh perusahaan pembiayaan (leasing) sering kali bermasalah karena perusahaan ternyata menggunakan jasa penagih (debt collector) ilegal alias belum bersertifikat.
“Beberapa isu yang sering muncul di lapangan yang memunculkan gesekan setelah diteliti adalah debt collector ini tidak memiliki sertifikasi,” ucap Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan 1 OJK Indra di acara diskusi virtual bertajuk Polemik Eksekusi Jaminan Fidusia, Rabu (6/10).
Selain tidak punya sertifikasi, masalah eksekusi jaminan fidusia juga kerap muncul karena debt collector ternyata tidak dibekali dengan surat tugas penarikan. Padahal, menurut Indra, surat ini sangat penting sebagai bukti yang legal agar penarikan barang kredit bisa dilakukan.
“Pada saat dia tidak memiliki surat tugas ini, ini atas nama siapa dia melakukan penarikan tersebut? Ini menjadi sangat penting dan sering terjadi di lapangan memunculkan isu gesekan,” ujarnya.
Masalah, sambungnya, juga muncul karena debt collector melakukan penarikan barang kredit dari debitur dengan menggunakan kekerasan. Misalnya, penganiayaan dan perusakan barang atau aset lain milik debitur.
Padahal, hal itu salah. Sebab, sangat beririsan dengan hukuman pidana yang justru menguatkan debitur untuk melaporkan balik debt collector dan perusahaan pembiayaan tersebut.
Terakhir, perusahaan pembiayaan menggunakan Aplikasi Mata Elang untuk melacak debitur. Bila terbukti melakukan hal-hal seperti ini, Indra memastikan OJK bakal bertindak tegas.
“Pasti akan dikenakan sanksi administratif. OJK juga sudah melakukan koordinasi dengan Kominfo untuk memitigasi terkait aplikasi tersebut,” jelasnya.
Leasing Boleh Tarik Barang Kredit
Lebih lanjut, Indra memastikan OJK merestui leasing untuk melakukan eksekusi jaminan fidusia atau penarikan barang kredit dari debitur yang tidak bisa membayar kewajiban cicilannya. Bahkan, penarikan ini tidak perlu menunggu keputusan pengadilan karena putusan pengadilan hanya bersifat alternatif.
Syaratnya, ketentuan soal eksekusi jaminan fidusia sudah ada di kontrak perjanjian pembiayaan antara perusahaan leasing dan debitur. Untuk itu, ia meminta leasing secara jelas memberitahu soal konsekuensi penarikan barang kredit kepada debitur.
Begitu juga dengan debitur, diharapkan membaca perjanjian pembiayaan dengan teliti, sehingga tidak kaget ketika tiba-tiba ada penarikan barang kredit. “POJK juga mengizinkan perusahaan pembiayaan menggunakan eksekusi jaminan fidusia,” katanya.
Syarat lain sebelum dilakukan penarikan barang kredit, katanya, debitur harus benar-benar terkonfirmasi wanprestasi alias tidak mampu membayar cicilannya atau gagal bayar. Ketika sudah gagal bayar, leasing perlu melakukan mitigasi tahap awal.
Misalnya, memberikan kebijakan restrukturisasi dan penyerahan barang agunan untuk dilelang. Bila debitur tidak mampu juga, baru kemudian diberikan surat peringatan pertama dan kedua dengan mencantumkan kewajiban debitur.
Mulai dari berapa tunggakannya, berapa bunganya, berapa outstandingnya, dan lainnya. Jika surat peringatan sudah diberikan, tapi debitur tetap tidak bisa memenuhi kewajiban, baru eksekusi berupa penarikan barang kredit dilakukan.
“Jadi kami minta perusahaan pembiayaan melakukan proses eksekusi dengan mengabaikan ketentuan yang ada,” tuturnya.
Sementara Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengklaim leasing selalu memberikan edukasi kepada debitur sebelum meneken perjanjian pembiayaan.
“Kami tentu jelaskan kepada debitur sebelum teken perjanjian,” pungkasnya.(uli/age)
sumber: cnnindonesia.com