AKANKAH NAPOLEON BONAPARTE MENJADI “IDOLA” BARU KADRUN?

Mpok Desy – Mungkinkah telah lahir kembali idola baru Kadrun? Ehhhmmm….entahlah, tetapi pasal karet penistaan agama kembali memakan korban. Ironisnya, sejauhnya ini korbannya “masih” kelompok minoritas. Sehingga mungkin perlu dipertanyakan definsi “keadilan” yang dimaksudkan dalam pasal ini. Khawatirnya, justru nantinya hanya berujung membungkam minoritas. Pantang disenggol dikit, langsung “ramai” teriak penistaan agama.

Jujur melelahkan membicarakan agama di negeri ini. Padahal menurut penulis, harusnya agama itu indah, karena menyangkut hubungan pribadi antara manusia dan penciptaNya. Artinya, dimataNya kita ini manusia yang sama. Tidak lebih hebat, suci dan benar dari lainnya. Sehingga harusnya, tidak perlu ada yang menghakimi, dengan dalil membela agama. Seperti yang dilakukan oleh Irjen Napoleon Bonaparte.

Luarbiasanya, Napoleon sendiri adalah napi yang sedang menjalani hukuman dunia. Terbukti dan divonis 4 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena telah menerima suap USD 370 dan SGD 200 ribu dari Djoko Tjandra untuk penghapusan red notice/DPO di Imigrasi.

Nah, pertanyaan serius penulis, bagaimana bisa Mohammad Kace (MK) dianiaya di penjara. Bukankah seharusnya penjagaannya super ketat? Apa kabarnya kredibilitas, dan penegakkan hukum di negeri ini? Kemana HAM yang biasanya nyaring?

Miris, kejadian MK “membuktikan” Polri tidak dapat menjaga tersangka. Dimana logikanya, Napoleon, napi koruptor yang sedang menjalani masa hukuman menganiaya tersangka MK?

Sementara menilik kebelakang, ketika itu MK sempat kesulitan bertemu keluarganya dan untuk didampingi pengacara. Padahal sudah diupayakan per 26 Agustus lalu, atau sehari setelah MK dipenjara.

“Kami kuasa hukum yang telah ditunjuk oleh keluarga ternyata setelah 5 jam menunggu di ruang Siber, kami tidak diizinkan ketemu dengan Pak Kace. Meskipun jadwal kami hari ini sudah di konfirmasi sebelumnya dan penyidik menyampaikan silahkan datang membawa surat kuasa. Tapi pada kenyataannya, kami sudah membawa anak dan istrinya sampai sekarang tidak jadi juga pertemuan itu,” cetusnya. Dikutip dari: cnnindonesia.com

Ironisnya, penganiayaan yang terjadi sehari setelah MK dipenjara baru terkuak sekarang. Bagaimana mungkin, lama dan janggal sekali. Ada apakah sebenarnya? Padahal, konon katanya keberadaan MK sebagai tersangka adalah untuk menegakkan keadilan? Tetapi maaf, rasanya perlakuan yang diterima MK jauh dari kata manusiawi, sehingga artinya jauh dari kata adil.

Kemudian, sekalipun Napoleon mengatasnamakan membela Allah, agama, Nabi Muhammad, dan iman Islam. Tetapi, dimana kepantasannya menghajar hingga babak belur dan melumuri KC dengan kotoran dianggap membela agama? Ini jelas tidak manusiawi.

Begini, kalaupun MK dianggap menyinggung hati umat Muslim. Apakah, harus MK diperlakukan seperti (maaf) binatang hanya karena label penista agama? Label yang sejauh ini lentur bak karet. Padahal di luar sana ada juga mereka yang dengan seenaknya memperolok minoritas. Ironisnya, mereka aman.

Mari kita bersikap jujur dan adil. Jika kepada tanaman dan binatang saja kita memiliki rasa sayang. Harusnya demikian juga kepada sesama manusia terlepas apapun keyakinannya. Sebab, tidak ada manusia yang sempurna, kenapa tidak memberi maaf? Jika pun hukum bicara, biarkan hukum negara yang ditegakkan dengan adil.

Seperti halnya Napoleon sendiri menjalani hukuman 4 tahun karena kasus suap. Jadi kenapa tidak biarkan MK menjalani proses hukumnya?

Tentunya kita sepaham sifat Allah maha pengasih, pemurah, penyayang dan pengampun. Dia tidak butuh kita membelaNya, karena kita ini adalah ciptaanNya. Dia begitu sempurna. Dia hanya ingin kita umatNya saling menjaga dan mengasihi.

Bercerminlah kepada perjalanan negeri ini. Teringat beberapa kejadian “membela agama” yang pernah ada. Kasus bom gereja, Ahok, Meliana ataupun Saefudin Ibrahim. Satu isi, dalam kemasan berbeda, yaitu “membungkam” minoritas. Maaf, ini penilaian penulis. Tetapi, apakah selama ini minoritas ganti membalas?

Ini sama halnya saat tidak ada pembelaan ketika minoritas dijadikan lawakan oleh UAS ataupun Yahya Waloni. Tolong dijawab, apakah “ucapan-ucapan” mereka tidak dikatakan penistaan agama? Tanyakan, dan jawab saja masing-masing jika hal ini terjadi sebaliknya.

Jadi sebaiknya dihapus saja pasal penistaan agama. Prakteknya hanya membungkam minoritas. Padahal keberadaan kami di negeri ini sama, hanya keyakinan saja yang berbeda. Biarkan agama menjadi urusan pribadi pemeluknya.

Kemudian, kita kembalikan saja kepada hukum negara jika terjadi tindakan persekusi, atau pun main hakim sendiri seperti yang dilakukan Napoleon.

Kembalikan semua kepada porsinya, supaya peran “tuhan” tidak diambil alih.

Artikel mpok lainnya bisa dinikmati di @mpokdesy

sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *