KISAH PEMANDU NOMADEN YANG MENCERITAKAN RAHASIA KUNO GURUN SAHAR

Di kota gurun pasir Araouane, banyak bangunan telah menghilang tertelan oleh bukit pasir di sekitarnya.

Azima Ag Mohamed Ali lahir dan dibesarkan di padang pasir tapi dia memilih pindah ke Timbuktu untuk berbagi cerita mengenai Sahara kepada para pengelana.

Saat matahari mendekati cakrawala, sebelum adzan terakhir hari itu, Azima memulai perjalanan malamnya melalui jalan-jalan berpasir di Timbuktu di Mali. Sepanjang jalan, satu per satu temannya mulai melangkah di sampingnya.

Sapaan di antara mereka berlanjut lama setelah pertama bertemu, saling jabat tangan lembut seiring dengan ditanyakannya berulang-ulang tentang kesehatan teman dan keluarga mereka.

Percakapan mereka mendalam dan tidak tergesa-gesa, seiring dengan langkah santai mereka.

Berbalut jubah nila yang tebal, mereka melewati jalan-jalan Timbuktu dan melanjutkan ke bukit pasir yang terletak tepat di luar pinggiran barat kota itu.

Ketika akhirnya keluar dari kota, mereka duduk di atas pasir dan menyeduh sepoci teh saat panas. Mereka lelah dari kegiatan seharian itu.

“Teh pertama selalu kuat seperti halnya kematian,” kata Azima.

“Yang kedua ringan seperti kehidupan. Dan yang ketiga manis seperti cinta. Kamu harus minum ketiganya,” ujarnya seraya tersenyum,

Seperti banyak orang Tuareg, orang-orang yang dulunya nomaden di Gurun Sahara, Azima lahir di gurun, jauh di luar Kota Timbuktu.

Akta kelahirannya menyatakan bahwa ia lahir pada tahun 1970, tetapi itu adalah perkiraan yang hanya digunakan untuk dokumen resmi. Tidak ada yang benar-benar tahu pasti.

“Saya pikir saya jauh lebih tua dari itu,” katanya.

Sebagai seorang anak di Sahara, bahaya yang dihadapinya tidak pernah lebih besar dari sebuah badai pasir hebat.

“Suatu hari, ketika saya masih kecil, saya pergi menunggangi unta saya untuk mencari air. Dalam perjalanan kembali ke kamp, ​​ada badai pasir,” ujarnya.

“Langit hitam dan saya bahkan tidak bisa melihat tangan saya. Tidak ada peringatan sama sekali. Mungkin ada selama lima menit seperti itu,” kata Azima.

“Saya duduk dan menunggu badai berakhir. Itu berlangsung mungkin tiga jam. Lalu saya kembali ke kamp. Tapi kemudian kami harus pergi dan menemukan ayah saya karena dia pergi mencari saya,” ucapnya.

Azima masih remaja ketika pertama kali melihat kota yang kelak menjadi rumahnya. “Saya terpesona melihat lampu!” kenangnya.

Anggota keluarganya masih hidup semi-nomaden di padang pasir. Namun ketika dewasa, kekeringan dan kebutuhan untuk mencari nafkah mendorong Azima pindah ke Timbuktu. Di sana ia mendirikan bisnis pemandu turis yang ingin menjelajahi Sahara.

Hatinya tetap berada di gurun pasir bahkan ketika dia harus berada di kota.

Dia menolak untuk memasang sambungan telepon karena dia tidak ingin menjadi bergantung pada hal itu sehingga tidak akan pernah bisa pergi meninggalkannya.

Ketika dia tidak memiliki klien, dia akan melarikan diri ke padang pasir, menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk berkemah, minum teh dengan teman-teman dan tidur di bawah bintang-bintang.

Setiap kali dia harus berada di kota, penjelajahan malam ke bukit-bukit pasir di luar kota adalah pelariannya.

Saat Azima melakukan perjalanan antara gurun dan kota, ia menjembatani ruang geografis dan membentang berabad-abad, bergerak antara waktu tradisi gurun kuno dan tuntutan kehidupan modern.

Sebelum turis berhenti datang ke Sahara, dia adalah seorang pemandu wisata. Namun di dalam kelompoknya, Azima tetap menjadi penjaga tradisi dan pendongeng. Meneruskan cerita-cerita itu telah menjadi obsesinya.

Sekarang menjadi kota berdebu dan bobrok, Timbuktu pernah berdiri sebagai titik pertemuan beberapa rute perdagangan paling menguntungkan di Afrika.

“Anak-anak saya lahir di gurun, seperti tradisi kami,” katanya. “Kami tinggal di Timbuktu dan saya ingin mereka bersekolah, bukan seperti saya.”

Azima dapat berbicara dalam tujuh bahasa meskipun dia tidak pernah belajar membaca atau menulis.

“Tapi suatu hari nanti saya juga akan mengajak mereka ke gurun pasir untuk waktu yang lama, agar mereka bisa belajar tentang gurun dan mengetahuinya dengan baik, sehingga mereka tidak kehilangan keterikatan itu.”

Sudah hampir satu dekade sejak Azima menunjukkan keindahan daerahnya kepada para pelancong. Pemberontakan dan konflik di Sahel dan Sahara telah menghentikan arus turis, menyebabkan kesulitan besar bagi masyarakat gurun, terutama pemandu sepertinya.

Kisah-kisahnya sekarang berdering seperti gema dari hari-hari tenang perjalanan Sahara. Meski dihadapkan dengan berbagai tantangan, Azima menantikan hari ketika para pelancong dapat kembali.

Bagi Azima dan anak-anaknya, Sahara dan Timbuktu adalah rumah mereka. Bagi orang luar, tempat-tempat ini mewakili jangkauan terluar dari dunia yang pernah dikenal.

Pada abad pertengahan, Timbuktu berdiri sebagai titik pertemuan sejumlah rute perdagangan paling menguntungkan di Afrika. Di situlah karavan-karavan besar garam Sahara bertemu perdagangan yang mengalir di sepanjang Sungai Niger.

Garam, emas, gading, dan barang-barang mewah Eropa seperti linen, parfum, dan kaca, semuanya melewati kota yang pada saat itu merupakan salah satu kota terkaya di dunia.

Pada abad ke-16, sekitar 100 ribu orang tinggal di Timbuktu. Jumlah itu lebih besar daripada penduduk yang tinggal di London. Kota ini memiliki hampir 200 sekolah dan universitas yang menarik para sarjana dari jauh seperti Granada dan Baghdad..

Dia membawa mereka ke perpustakaan keluarga milik pribadi yang masih menyimpan manuskrip dari zaman keemasan Timbuktu, berupa biografi Nabi Muhammad di halaman daun emas dan risalah ilmiah dari para cendekiawan Islam besar saat itu.

Dia menunjukkan Masjid Dyingerey Ber kepada mereka. Itu adalah lokasi di mana tidak ada yang berani membuka pintu kayu palem kuno sejak abad ke-12. Ketika pintu terbuka, menurut legenda lokal, kejahatan akan keluar dan memasuki dunia ini.

Saat ia berbagi cerita tentang Timbuktu dengan pengunjung, Azima mulai memahami obsesi dunia luar terhadap kota itu. Dia menyaksikan para turis mencoba merekonsiliasi masa lalu cerita Timbuktu dengan jalan-jalan modern yang ditiup pasir dan gedung-gedung rumah tradisional yang terbuat dari lumpur.

Dia membawa mereka ke pasar di mana unta masih datang membawa lempengan garam dari kedalaman tambang Taoudenni di Sahara. Dan dia bergegas membawa mereka ke tempat berlindung saat harmattan, angin gurun merah, mengubah langit menjadi gelap dalam badai pasir.

Bagi orang luar, Sahara dan Timbuktu seakan mengintip ke dalam dunia yang dulu pernah dikenal dan kini tiada.

Sebagai seorang pemandu, Azima menjalin pertemanan dengan orang dari seluruh dunia. Dia pernah mengunjungi beberapa dari mereka di Eropa. Baginya, benua itu merupakan dunia asing, sama seperti Timbuktu bagi banyak orang di seluruh dunia.

“Pertama kali saya berada di Eropa, saya melihat air tergeletak di tanah, saya pikir ‘orang-orang ini gila’. Dan semuanya bergerak dengan kecepatan yang tidak terpikirkan di Sahara,” kata Azima.

“Di gurun, kami memiliki waktu yang tak terbatas tetapi tidak ada air. Di Eropa, Anda punya banyak air tapi tidak punya waktu.”

Namun, bahkan begitu jauh dari gurun, Azima menemukan suatu kesamaan. “Pertama kali saya melihat lautan di Barcelona, ​​saya menangis karena itu seperti gurun. Anda tidak dapat melihat ujungnya.”

Perjalanan Azima juga membantunya memahami daya tarik Timbuktu, karena Paris dan Barcelona sama sulitnya baginya seperti halnya Timbuktu bagi sebagian besar dunia.

Dia pergi ke pertandingan sepak bola di stadion Camp Nou Barcelona. “Di satu tempat ada lebih banyak orang daripada di seluruh Timbuktu,” kenangnya.

Dia kemudian mendirikan bab Timbuktu dari klub penggemar tim sepak bola Barcelona.

Ketika para pelancong ingin melihat lebih banyak Sahara, Azima membawa mereka ke pedalaman gurun pasir Araouane, sebuah kota yang tenggelam 270 kilometer di utara Timbuktu.

Untuk sampai ke Araouane, pelancong harus menyeberangi hamparan pasir Taganet, yang membentang, tak terputus, hingga ke cakrawala yang jauh. Selama 100 kilometer terakhir, tidak ada satu pohon pun.

Araouane sendiri tampak bagai kapal karam. Sejumlah bangunannya telah menghilang di bawah pasir. Banyak dari rumah yang tersisa, bahkan sebuah masjid, setengah terendam oleh bukit pasir yang menyelimuti kota.

Selama berminggu-minggu, angin bertiup tanpa henti, dan terdengar seperti ombak laut pecah di pantai.

Para perempuan membawa air dari sumur, bersandar ke angin yang bertiup. Tanpa sumur, kehidupan tidak mungkin terjadi di sini; kadang-kadang tidak hujan di Araouane selama beberapa dekade. Pasir ada di mana-mana, dan tidak ada barang berharga apa pun, kecuali satu pohon kurma liar yang malang, yang bisa tumbuh di sini.

“Sebelumnya, untuk menunjukkan bahwa Anda kuat, Anda menjadi pengembara,” kata Azima ketika ditanya mengapa orang mau tinggal di tempat seperti itu.

“Sekarang, untuk menunjukkan bahwa Anda kuat, Anda tinggal di satu tempat, Anda menetap. Itulah sebabnya orang-orang Araouane tinggal di sini. Ini untuk menunjukkan bahwa Araouane ada.”

Padahal, bagi para wisatawan yang berkunjung ke sana tentu lebih dari itu. Ada sesuatu di sini yang menghasilkan sensasi yang mirip dengan kegembiraan.

Itu adalah kekaguman terhadap langit yang luas dan cakrawala yang besar. Itu adalah cahaya lentera yang berkelap-kelip di langit-langit bangunan lumpur saat Azima menceritakan kisah tentang karavan garam yang hilang dalam badai pasir, kisah yang menceritakan kemampuan luar biasa dari pemandu gurun untuk menemukan jalan pulang di dunia tanpa petanda.

Terkadang mereka melakukan ini dengan mencicipi pasir atau menilai warnanya.

Hal itu adalah punggung pasir yang dipahat dengan sempurna oleh angin yang tak henti-hentinya, atau pola rahasia yang ditulis oleh angin di atas pasir. Dan di keterpencilan yang terbentang, ada keindahan yang unik.

Bahkan ketika konflik di Afrika Utara dan Barat telah mencegah pengunjung datang ke Timbuktu dan Araouane untuk saat ini, Azima tidak akan mengubah tempat tinggalnya untuk alasan apa pun.

“Ketika saya di padang pasir, saya merasa seperti orang bebas. Saya merasa aman dan saya tidak pernah takut. Di sini saya bisa berpikir. Di sini saya bisa melihat segalanya. Ini adalah siapa saya. Saya tidak pernah ingin pergi. Ini adalah rumah saya,” ujarnya.

Versi bahasa Inggris dari artikel ini,The nomad guide who decodes the Sahara’s secrets, bisa Anda baca di laman BBC Travel.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *