Panjath H. – Politik itu dinamis, dan bisa berubah dalam hitungan detik. Hal itu mungkin sedang terjadi di kancah perpolitikan Tanah Air saat ini, yang melibatkan partai-partai besar: PDIP dan Gerindra.
Beberapa waktu lalu santer dugaan bahwa antara Megawati Soekarnoputri dan PDIP pada satu pihak, sedang mengalami kerenggangan atau ketegangan dengan Presiden Jokowi. Kondisi ini jelas mengkhawatirkan.
Sebab apabila PDIP benar-benar menjaga jarak dari Jokowi, maka ibaratnya Jokowi jadi sendirian. Sendirian di tengah-tengah intaian oposisi yang bagaikan serigala buas, sangat membahayakan posisi Jokowi.
Indikasi bahwa partai pengusung ingin meninggalkan Jokowi, tampak ketika dua kader Banteng secara terbuka mengkritik strategi pemerintah dalam menangani pandemi. Terasa sekali kritikan itu dibuat-buat atau dicari-cari, sebab memang sudah tidak relevan lagi bicara soal lockdown untuk mengatasi pandemi yang sudah berlangsung dua tahun.
Apalagi dikatakan bahwa Jokowi tidak memberlakukan lockdown, bisa digolongkan sebagai melanggar UU tentang Kekarantinaan Kesehatan. Rasanya mengerikan, jika sudah mulai dikait-kaitkan dengan “melanggar UU”.
Dan gayung bersambut. Ada oknum kader partai oposisi — antara dalam konsisi sakaw atau mabuk — memuji narasi dari oknum Banteng itu sebagai tanda-tanda mulai sadar atau siuman.
Besar dugaan, kader-kader Banteng itu bicara bukan atas dasar pemikirannya sendiri, namun sudah berkonsultasi dengan sang pimpinan. Maka dari situlah mulai merebak anggapan di publik bahwa Jokowi hendak ditinggal secara perlahan.
Gara-gara anggapan ini, simpatisan dan pendukung Jokowi mulai bereaksi keras. Bermunculanlah kecaman atau cemoohan terhadap PDIP, termasuk akan meninggalkan PDIP apabila Jokowi dibiarkan. Yang lebih mengemuka adalah ajakan atau imbauan untuk mengguremkan partai pemenang pemilu itu pada 2024 nanti.
Kita tidak tahu, apakah gara-gara reaksi keras para Jokower itu yang membuat perubahan terjadi dengan cepat? Atau mungkin karena PPKM di bawah koordinasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mulai memperlihatkan hasil yang cukup baik?
Sebab jangan lupa, ketika seorang kader Banteng menyalahkan Jokowi karena tidak memberlakukan lockdown sejak awal, dalam waktu yang bersamaan, seorang koleganya malah menyasar LBP selaku komandan PPKM.
Menjelang perayaan HUT RI ke-76, tampak penurunan grafik covid-19 di berbagai daerah. Bahkan kini DKI Jakarta sudah masuk zona hijau? Artinya PPKM di bawah kendali LBP memang bekerja dengan baik, dibantu aparat TNI dan Polri yang turut melakukan vaksinasi terhadap masyarakat, termasuk di DKI Jakarta.
Di lain sisi, kebekuan antara PDIP dan Jokowi terasa mulai mencair tatkala Megawati Soekarnoputri mengaku sedih jika Jokowi dihina.
“Coba lihat Pak Jokowi. Saya suka nangis lho. Beliau itu sampai kurus. Kurus kenapa. Mikir kita. Mikir rakyat. Masak masih ada yang mengatakan Jokowi kodoklah. Orang itu benar-benar tidak punya moral. Pengecut, saya bilang,” kata Megawati dalam acara peletakan batu pertama pembangunan perlindungan kawasan suci Pura Besakih, Bali, , Rabu (18/8/2021).
Kemudian pada saat acara ramah tamah Presiden Jokowi dengan anggota Paskibraka purnatugas, ikut hadir Megawati selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Megawati mengusulkan agar Purna Paskibraka Indonesia menjadi Duta Pancasila.
Hubungan antara Megawati dan Jokowi yang tampak akrab, pastilah menular pada partai politiknya. Simpatisan pasti menyambutnya dengan lega dan syukur. Sebaliknya para oposisi dan musuh-musuh negara pasti gigit jari, dan kecewa berkeping-keping.
Tapi tak ada asap tanpa api. Relasi antara Megawati-PDIP dan Jokowi yang membaik secara “mendadak” itu pastilah memiliki latar belakang atau penyebab. Politik itu penuh dengan deal atau kesepakatan. Lalu apa kira-kira kesepakatan yang telah terjalin antara Megawati dan Jokowi?
Jika memang ada, tentu tidak bisa dilepaskan dari perhelatan nasional 2024 nanti. Sepertinya, tekad Megawati untuk memajukan sang putri, Puan Maharani, tidak bisa dihalangi lagi. Jika melihat realita, posisi yang tepat untuk ketua DPR RI ini adalah cawapres untuk kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai capres.
Prabowo Subianto adalah orangnya. Selain punya elektabilitas baik — meski bersaing ketat dengan Ganjar Pranowo — Prabowo adalah ketum Gerindra. Jika Prabowo disandingkan dengan Puan, di atas kertas memang unggul, namun dengan catatan pendukung Ganjar dan Jokowi turut mendukung.
Apabila pendukung Ganjar ngambek posisi Prabowo – Puan akan sulit. Namun jika Jokowi mengarahkan simpatisannya untuk mendukung Prabowo – Puan, maka kans pasangan ini akan terbuka lebar. Jadi, dalam hal ini kartu Jokowi sangat strategis, bahkan menjadi penentu.
Sadar akan hal itulah yang kemungkinan besar membuat kubu Megawati kembali merekatkan hubungan dengan Jokowi. Sinyalemen ini semakin kuat ketika Presiden Jokowi mengajak Prabowo meresmikain proyek jalan tol ke Kalimantan Timur beberapa hari lalu.
Di Kalimantan, Jokowi dan rombongan meninjau lokasi ibu kota baru. Selama ini Prabowo memang mendukung soal pemindahan ibu kota ini ke Kalimantan. Tapi proyek ibu kota baru ini terancam “mangkrak” di era Jokowi gara-gara segala daya digunakan untuk mengatasi pandemi. Artinya, rencana pindah secara bertahap mulai 2024, harus dilupakan.
Diajaknya Prabowo ke bakal ibu kota baru ini, menurut beberapa pihak merupakan isyarat keras bahwa mantan pangkostrad ini dipercaya Jokowi untuk meneruskan proyek tersebut? Memang masih terlalu dini untuk memastikannya. Namun dinamika politik terbaru, yang melibatkan Megawati – Jokowi – Prabowo, meniscayakan hal tersebut.
sumber: seword