BELASAN ANAK DISELAMATKAN DARI TPPO SEKSUAL, PROSES HUKUM DITUNGGU

VOA — Tujuh belas anak korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan tujuan seksual, berhasil diselamatkan pada 16 Juni 2021 melalui kerja sama berbagai pihak. Hingga saat ini, seluruh pihak masih menunggu proses hukum terhadap pelaku.

Desakan upaya hukum itu, antara lain disampaikan Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan HAM, Padma Indonesia. Ketika dihubungi VOA terkait kasus ini, Gabriel menceritakan kasus TPPO yang melibatkan 17 anak itu terjadi di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur.

“Kami mendukung Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, mendesak Polda NTT segera memproses hukum, pelaku kejahatan ini dengan menggunakan UU TPPO bukan UU Ketenagakerjaan,” kata Gabriel yang mengulang penekanan, pentingnya menggunakan dasar hukum UU TPPO.

Selain itu, Padma Indonesia yang masuk dalam Jaringan Nasional Anti TPPO dan Zero Human Trafficking Networking juga berharap para korban mendapatkan rehabilitasi sosial dan program reintegrasi. Dengan upaya itu, terbuka kemungkinan para korban yang semuanya berasal dari Jawa Barat, menjadi aktor yang turut mengkampayekan pencegahan TPPO, khusunya dengan tujuan eksploitasi seksual. Kasus di Maumere, NTT, ini juga harus menjadi perhatian terhadap indikasi kasus-kasus serupa di seluruh Tanah Air.

“Harapan kami, Kapolri tidak main-main dalam urusan penegakan hukum TPPO, yaitu hanya tajam ke bawah ke para pelaku seperti sopir dan perekrut lapangan. Tetapi juga harus tajam ke atas, terhadap aktor intelektual yang bemain dalam jaringan TPPO ini dengan tujuan seksual,” tambah Gabriel, kepada VOA, Minggu (22/8).

Kekhawatiran ini layak dimunculkan, kata Gabriel, karena mereka punya catatan kasus yang mandek. Dalam kasus TPPO dengan modus pengantin pesanan di Kalimantan Barat yang sudah dibongkar dua tahun lalu, upaya hukumnya tidak jelas sampai sekarang. Baik Polda Metro Jaya maupun Polda Kalimantan Barat, belum serius menangani kasus tersebut.

Ada Korban yang Hamil

Terungkapnya kasus TPPO di Maumere berawal dari penggerebekan tempat hiburan malam pada 15 Juni 2021 di Maumere, Kabupaten Sikka. Dalam operasi tersebut, Tim Penyidik Polda NTT mengamankan 17 anak perempuan berusia 14 – 17 tahun, dari sejumlah tempat hiburan malam. Para korban kemudian diamankan di asrama milik Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores, di Maumere.

Tidak mudah untuk menangani para korban, seperti diceritakan Asisten Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Robert Parlindungan Sitinjak. Menurutnya, empat korban sempat melarikan diri dari asrama, meski kemudian setelah dilakukan pencarian, diketahui mereka telah kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat.

“Akhirnya, hanya 13 anak yang kembali ke Jakarta yang selanjutnya kini mendapatkan penanganan di Balai Handayani, Kemensos,” Robert dalam pernyataan resmi Kemen PPPA, Jumat, 20 Agustus 2021.

Robert menambahkan, kondisi korban saat ditemukan sangat memprihatinkan. Mereka menerima perlakuan buruk saat bekerja, bahkan ada dua anak dalam keadaan hamil. Meski begitu, teryata proses hukum kasus TPPO anak di Maumere ini tidak berjalan, karena tidak ada satupun penetapan tersangka, oleh Penyidik Polda NTT.

Persoalan ini, lanjut Robert, sempat ditanyakan beberapa pihak kepada Polda NTT saat Rapat Koordinasi. Rapat itu sendiri diikuti Kementerian PPPA, Kementerian Sosial, KPAI, LPSK, Bareskrim Polri, Dinas PPA Provinsi NTT, Dinas PPA Sikka, Pekerja Sosial St. Monica TRUK-F Maumere, dan lembaga IOM Indonesia. Pembahasan Penanganan kasus eksploitasi 17 anak di Maumere sendiri dilakukan pada 16 Juli 2021.

Selain 17 anak di Maumere, ada empat anak korban TPPA yang juga diselamatkan Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan TPPO dari Fakfak, Papua Barat. Anak korban TPPO di kedua kota itu, kini menjalani pemulihan di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK), Handayani, Jakarta.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kementerian PPPA Rafail Walangitan memastikan seluruh anak berasal dari Jawa Barat.

“Terhadap kasus TPPO di Papua Barat, info awalnya kami terima dari media. Mengingat tidak ada gugus tugas di Papua, maka saya berkoordinasi dengan unit TPPO Bareskrim Polri,” kata Rafail.

Saat ini, korban masih mendapatkan rehabilitasi sosial, keberlanjutan pemeriksaan kesehatan, dan juga persiapan pemberdayaan berdasarkan minat keterampilan kerja.

“Semoga juga nanti bisa ditindaklanjuti untuk tracing family yang akan ditangani oleh Pekerja Sosial di daerah untuk menganalisa risiko, assesment kepada keluarga, dan juga harapan yang sama untuk mempersiapkan pemberdayaan bagi para korban,” lanjut Rafail.

Kemen PPPA mengakui, tantangan menghapuskan TPPO semakin berat di masa pandemi COVID-19. Pandemi telah membuat kemiskinan meningkat, sedangkan kemiskinan sendiri merupakan salah satu akar masalah TPPO. [ns/ah]
sumber: voa

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *