TERDAMPAK PPKM, BEGINI NASIB PORTER DAN PEDAGANG DI STASIUN YOGYAKARTA

Merdeka.com – Sore itu, tak banyak penumpang yang naik turun di Stasiun Yogyakarta. Alunan musik dari lagu “Sepasang Mata Bola” hanya sesekali sayup-sayup terdengar. Alunan musik tersebut jadi lagu penyambut kedatangan kereta api di stasiun itu.

Hanya KRL Commuter Line dari Solo yang datang sore itu. Kereta api antar kota yang sehari-hari datang atau sekedar singgah di stasiun seakan hilang entah ke mana. Suasana Stasiun Yogyakarta sore itu begitu hening. Ruko-ruko tempat pedagang berjualan di dalam stasiun hampir semuanya tutup.

Di sudut ujung stasiun, empat orang porter tampak bercengkrama dalam keheningan. Saat Merdeka.com menghampiri mereka dan menanyakan kondisi mereka di masa PPKM darurat ini, keempat porter itu menerima dengan ramah.

“Jelas kami terdampak banget (saat PPKM ini). Kan kereta sepi,” ujar Samto (60), satu dari empat porter yang sedang berkumpul itu.

Samto bercerita, ia jadi porter di Stasiun Yogyakarta sejak 2012. Sebelumnya ia bekerja sebagai pedagang asongan di dalam stasiun. Namun sejak Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI) dipegang oleh Ignasius Jonan, pedagang asongan tak boleh lagi berjualan di dalam stasiun.

“Waktu itu kami dikasih solusi mau kerja di cleaning service atau porter. Saya milih jadi porter,” cerita Samto saat Merdeka.com menemuinya Kamis (12/8) sore.

Dampak PPKM Bagi Para Porter

Seperti pada stasiun-stasiun besar lain di Indonesia, para porter di Stasiun Yogyakarta bekerja dengan membantu penumpang membawa barang bawaan mereka untuk naik atau turun dari kereta api. Kemudian, penumpang memberi upah atas jasa mereka.

Kebijakan dari pihak stasiun sendiri menetapkan standar seorang porter boleh meminta upah atas jasanya pada penumpang asal tak lebih dari Rp20 ribu. Walau mencari nafkah di lingkungan stasiun, namun tak ada gaji tetap yang diberikan PT KAI pada mereka. Pendapatan mereka murni dari pemberian upah dari penumpang.

“Kalau penumpang memberi lebih dari Rp20 ribu itu namanya baru rezeki. Tapi penumpang yang ngasih kurang dari itu juga ada,” kata Samto.

Samto mengatakan, pendapatan harian dari seorang porter tidaklah menentu. Biasanya dalam sehari ia bisa memperoleh Rp100 ribu, terkadang bisa lebih banyak atau lebih sedikit. Tapi di masa pandemi COVID-19 pendapatannya menurun drastis. Bahkan terkadang ia tidak mendapat upah sama sekali.

Di masa PPKM ini, para porter semakin sering tidak memperoleh upah sama sekali karena banyak kereta api yang tidak jalan. Padahal dalam hari-hari biasa ada lebih dari 50 kereta api antar kota yang melayani naik turun penumpang di stasiun itu.

“Kereta api yang berangkat dari sini saja cuma KA Taksaka. Itu saja baru kemarin jalan. Kalau (PPKM) diperpanjang mungkin nggak jalan lagi. Pernah waktu masuk kami kira jalan tapi ternyata nggak jalan,” kata Sabar (48), porter lain dalam tongkrongan itu.

Bantuan dari KAI

Sabar mengatakan, pada hari-hari biasa jumlah porter di Stasiun Yogyakarta mencapai hampir 100 orang. Jumlah itu terbagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 50 orang. Tapi sore itu, hanya terlihat mereka berempat yang tergabung dalam satu tim. Sementara sisanya memilih untuk tidak berangkat.

“Banyak porter yang nggak datang. Apalagi kita masuk sini juga bayar parkir. Jadi dari rumah itu kita harus bawa uang setidaknya untuk parkir. Iya kalau nanti dapat upah, kalau tidak gimana?” keluh Sabar.

Sabar mengatakan, sebenarnya sudah banyak bantuan yang ia terima sebagai porter di Stasiun Yogyakarta. Tak hanya dari KAI, bantuan itu datang dari berbagai pihak.

“Porter di sini banyak menerima bantuan dari luar. Ada dari maskapai pesawat, dari hotel, ada juga dari perorangan. Bantuan itu diberikan lewat pihak stasiun. Tapi biasanya kalau dari perorangan yang diberi yang kelihatan saja,” ungkap Sabar.

Dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp pada Sabtu (14/8), Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Supriyanto membenarkan hal itu. Sejak awal pandemi sudah banyak bantuan yang diberikan untuk para porter yang bekerja di wilayah DAOP 6 Yogyakarta, baik dari KAI sendiri maupun pihak luar. Bantuan itu bentuknya bermacam-macam mulai dari sembako, masker, dan lain sebagainya.

Kisah Pedagang di Stasiun Yogyakarta

Ida (48), seorang penjaga ruko, tampak sibuk menggerakkan jemari di atas layar gawainya. Saat Merdeka.com mampir di warungnya untuk membeli minuman botol sembari menanyakan soal dagangannya hari itu, ia mengeluh atas sepinya pembeli.

“Ini saya jualan dari pagi tadi jam 8 sampai sekarang baru dapat Rp25 ribu,” keluh Ida.

Berdasarkan pengamatan Merdeka.com, deretan ruko yang berada di area dalam stasiun sore itu, hanya ruko Ida yang buka. Ida mengatakan, pendapatan rukonya menurun drastis selama pandemi ini. Padahal sebelum pandemi, dalam sehari ruko yang ia jaga mampu meraup pendapatan kotor hingga Rp300-500 ribu tergantung hari.

“Saya di sini cuma karyawan. Kadang saya kasihan sama juragannya sering tombok, pendapatan di sini masih dibagi untuk bayar karyawan,” kata Ida.

Pada Merdeka.com, Ida menunjukkan layar gawainya bahwa sedari tadi ia mengisi waktu dengan bermain game menyusun balok. Ia mengeluhkan sepinya penumpang kereta api selama pandemi ini.

Apalagi untuk naik kereta api saja penumpang harus melengkapi sejumlah persyaratan seperti surat vaksin untuk kereta api jarak jauh dan surat keterangan dari perusahaan untuk KA Prameks maupun Commuter Line. Kondisi tersebut baru ia jumpai sejak mulai menjaga ruko di stasiun itu tahun 2000.

“Sepi pol. Ini yang beli sama yang jual itu nggak ada, Mas. Tapi pokoknya jalani saja. Yang namanya cari uang itu memang nggak mudah,” jawabnya ketika ditanyai tentang kondisi yang harus ia hadapi di masa PPKM ini.(mdk/shr)
sumber: merdeka

This entry was posted in Berita, Informasi Kesehatan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *