TNI AD HAPUS TES KEPERAWANAN PRAJURIT PEREMPUAN: KOMNAS ANTI KEKERASAN MINTA BUKTI, ‘KALAU SERIUS MANA KEPUTUSAN RESMINYA’

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mendesak Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Andika Perkasa, menerbitkan aturan resmi yang menghapuskan tes selaput dara atau keperawanan yang digunakan untuk merekrut calon prajurit perempuan.

Tes yang diatur dalam Keputusan Panglima TNI Nomor 920 Tahun 2020 dikritik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak perempuan dan tidak relevan digunakan untuk menentukan standar moralitas seseorang.

Menanggapi isu ini, Markas Besar TNI menolak memberikan pernyataan, namun Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat mengatakan, “aturan lisan sama kuatnya dengan aturan tertulis dan penghapusan tes keperawanan sudah dilaksanakan tahun ini”.

‘Tes keperawanan’ dengan dua jari bagi korban perkosaan dilarang pengadilan Pakistan, disebut ‘penghinaan dan tidak ilmiah’

Tes keperawanan: Prosedur ‘tes dua jari’ yang dipertanyakan dan berujung pada usulan RUU larangan

‘Tes keperawanan’ yang kontroversial ditawarkan sejumlah klinik di Inggris

Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jenderal TNI Andika Perkasa, menyatakan pemeriksaan himen atau selaput dara sebagai salah satu rangkaian tes kesehatan bagi calon prajurit perempuan telah ditiadakan pada tahun ini.

Namun pemeriksaan pada bagian luar alat kelamin dan abdomen masih dilakukan.

Keputusan itu dikeluarkan merujuk pada evaluasi proses rekrutmen TNI AD pada Mei silam.

“Sekarang tidak ada lagi pemeriksaan inspeksi vagina dan serviks. Tapi pemeriksaan genitalia luar, abdomen, tetap,” ujar Andika Perkasa dalam keterangan pers yang disampaikan lewat video, Rabu (11/08).

Tes keperawanan dalam Keputusan Panglima TNI Nomor 920 Tahun 2020 disebut sebagai tes himen atau selaput dara sebelumnya dikecam kelompok pegiat hak asasi manusia, termasuk Komnas Perempuan.

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengatakan keberadaan tes itu menjadi perhatian dunia internasional dan kerap ditanyakan dalam pertemuan Komite CEDAW di PBB yang bertujuan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.

Alimatul menagih Jenderal TNI Andika Perkasa agar membuat aturan resmi.

“Kalau kami berharap jika betul serius, keputusan nomor berapa? Tahun berapa? Sehingga bisa kami gunakan sebagai rujukan dan referensi yang diikuti. Tidak hanya TNI Angkatan Darat, tapi TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara,” imbuh Alimatul kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (12/08).

Menurut Alimatul, tes yang memeriksa selaput dara calon prajurit perempuan itu tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengukur moral seseorang ataupun kesetiaan terhadap bangsa dan negara.

Selain dianggap “tidak adil” lantaran hanya diberlakukan kepada calon prajut perempuan, namun juga mengakibatkan trauma.

“Kalau dihubungkan dengan moral, kenapa cuma untuk perempuan? Memang laki-laki enggak ada persoalan dengan moralitas? Kan enggak fair. Apakah moralitas hanya diukur dengan persoalan itu?” sambungnya.

“Dampak tes itu luar biasa. Ada traumatis meski sebentar. Ada namanya keadaan syok atau freeze ketika terjadi kekerasan seksual, termasuk misal ada seseorang dites. Itu kan mengagetkan sehingga perlu dihapus supaya kader-kader perempuan mempunyai kepercayaan diri untuk mendaftar.”

Bagi Alimatul, penilaian soal moral bisa dilakukan lewat tes wawasan kebangsaan ataupun menambahkan pengetahuan tentang humanisme sehingga “tidak berlaku kejam”.

Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia, Prantara Santosa, menolak memberi tanggapan.

Tapi Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Tatang Subarna, mengatakan aturan itu belum ditindaklanjuti dengan membuat peraturan resmi namun sudah dilaksanakan tahun ini.

“Aturan lisan sama kuatnya dengan aturan tertulis,” tutur Tatang Sabarna kepada BBC News Indonesia melalui pesan singkat WhatsApp, Kamis (12/08).

“Ini kewenangan bukan kewenangannya dari Mabes TNI, tapi kewenangan tataran pembinaan yaitu KASAD.”

‘Kita masih menggunakan adat ketimuran’

Namun demikian Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Julius Widjojono, berkata lembaganya masih menerapkan tes selaput dara dalam menjaring “pemuda dan pemudi terbaik”.

Tes yang ia sebut sebagai “tes kehamilan dan kandungan” tersebut, jelasnya, masuk dalam salah satu metode pengetesan kesehatan yang meliputi fisik dan mental. Selain ada pula psikotes serta kebugaran jasmani.

“Tidak ada istilah tes keperawanan. Tapi tes kehamilan dan kandungan, karena berkaitan dengan latihan berat dan moralitas,” ucap Julius kepada BBC News Indonesia, Kamis (12/08).

“Kalau ada robekan [selaput dara] kita tanya, tapi dikaitkan dengan… oh dia ada kecenderungan berperilaku seks menyimpang. Kan ketahuan dari deteksi. Ya enggak akan kami terima karena masih banyak yang antre.”

“Jadi ketika diketahui ada perbedaan atau suatu yang tidak lazim dalam ukuran remaja, misalnya [robek] karena senam atau hobi naik kuda, akan didalami dalam tes lain.”

Sementara bagi laki-laki, “tes moralitas” dilakukan dengan melihat rekam jejak kesehatan latar belakang kesehatan.

“Ketika dia ketahuan kena [penyakit] gonore berarti kan hobinya jajan. Masak kita terima?”

Ia juga mengatakan pedoman WHO pada tahun 2014 yang menyatakan tes keperawanan tidak memiliki validitas ilmiah sebagai “referensi Barat”.

“WHO itu masih menggunakan referensi Barat, kita masih menggunakan referensi timur. Adat ketimuran.”

Mengapa TNI masih menerapkan tes keperawanan?

Tes himen atau selaput dara tertuang di salah satu poin dalam Keputusan Panglima TNI Nomor 920 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan dan Uji Kesehatan di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia.

Tes himen dibagi menjadi dua; meliputi kelainan kongenital hymen imperforata dan ruptur hymen (bagi yang belum menikah).

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai tes ini masih dipertahankan karena TNI ingin menerapkan standar kesehatan dan moral yang tinggi bagi kadernya.

Kendati menurutnya tes itu “tidak relevan dengan standar yang ingin diterapkan” dan “menjadi bias antara argumentasi sains dan moral”.

“Karena ada banyak hal yang bisa dipakai untuk mengukur standar moral,” jelas Khairul Fahmi kepada BBC News Indonesia.

“Misalnya mereka bisa menggunakan profiling terhadap calon prajurit melihat sejarah keluarga, pergaulan, dan ada perangkat lain yang bekerja semacam intelijen untuk melakukan profiling itu.”

Dalam dunia kemiliteran, sambung Fahmi, aspek moral tetap dibutuhkan dalam situasi perang. Sebab mereka harus memiliki rasa solidaritas yang kuat dan komitmen terhadap tujuan operasi.

Alasan lain karena tubuh TNI masih bergelut pada persoalan yang “didominasi oleh masalah kenakalan prajurit”.

Pengamatannya negara selain Indonesia yang masih menerapkan tes serupa adalah Malaysia dan negara-negara lain di Asia serta Timur Tengah.

“Terutama yang punya riwayar konflik di dalam negeri. Dia akan berupaya menerapkan standar perilaku yang tinggi untuk mencegah perpecahan di tubuh militer.”
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *