LEBIH DARI 1.000 ORANG MENINGGAL

Covid Indonesia: PPKM belum menekan kematian, lebih dari 1.000 orang meninggal per hari dan ‘trauma’ masyarakat karena sulitnya mencari rumah sakit

Lebih dari 1.000 orang meninggal dunia setiap harinya akibat Covid-19, meski Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sudah diterapkan selama sebulan dan akan diperpanjang hingga 9 Agustus di daerah-daerah tertentu.

Menurut data pemerintah, penambahan kasus Covid per hari menurun, tapi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui angka kematian masih tinggi.

Salah satu penyebabnya, menurut Budi, adalah terlambatnya mereka yang terinfeksi dibawa ke rumah sakit, selain capaian vaksinasi yang belum cukup membentuk kekebalan kelompok (herd immunity).

Menurut ahli kesehatan, pemerintah perlu memperbaiki komunikasi terkait urusan rumah sakit, agar mereka yang kondisinya kritis tidak dirawat secara mandiri, tapi di rumah sakit agar tak terlambat.

‘Awalnya dikira masuk angin’

Eni Sulistyowati, warga Sukoharjo, Jawa Tengah, tak bisa membendung tangis saat menceritakan bagaimana adik, adik ipar, dan ayahnya meninggal akibat covid-19 dua pekan lalu.

Awalnya, sekeluarga itu sakit, tapi hanya dirawat di rumah selama satu minggu.

“Setahu saya adik saya masuk angin, saya tanya gimana keadaannya? Dia jawab ‘sudah baik’. Saya tanya sesak nggak? Dia jawab, ‘nggak’.

“Kirain cuma masuk angin biasa… kok ke sini-ke sini semakin drop,” ujar Eni, sebagaimana dilaporkan wartawan Fajar Sodiq di Solo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Saat kemudian dibawa ke sebuah rumah sakit, saturasi adik iparnya sudah berada di angka 44, atau jauh dari patokan yang disebut pemerintah.

Kementerian Kesehatan sebelumnya meminta warga yang saturasinya di bawah 94 untuk segera ke rumah sakit.

Setelah mencari oksigen di lima rumah sakit dan gagal, adik ipar Eni berhasil dirawat di rumah sakit RSUD Dr Moewardi, tapi kondisinya sudah kritis sehingga tak tertolong dan meninggal dunia pada 21 Juli 2021.

Dua hari kemudian, giliran adiknya yang meninggal dunia.

“Belum sempat dibawa ke rumah sakit. Tadinya dibawa ke PKU (RS PKU Solo), tapi karena nggak ada oksigen, dibawa pulang. Baru mau dipasangkan oksigen sudah meninggal,” kata Eni sambil terisak.

Sehari kemudian, ayahnya yan sesak napas, juga meninggal dunia.

Sukoharjo adalah satu dari 20 kabupaten atau kota di Jawa dengan angka kematian yang tinggi, meski kebijakan pembatasan sosial, atau PPKM, sudah dijalankan selama satu bulan.

Terlambat dirawat

Terlambatnya pasien di bawa ke rumah sakit, sebagaimana dalam kasus keluarga Eni Sulistyowati, menjadi penyebab tingginya angka kematian.

Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan perihal itu dalam keterangan pers, Senin (02/08).

“Banyak pasien yang terlambat mendapatkan intervensi medis. Kita tanya ke banyak orang, memang banyak yang merasa mereka malu kalau mengakui mereka sakit Covid. Jadi mereka lebih baik diam dan diminta dirawat keluarganya,” kata Budi.

Salah satu hal yang memperparah kondisi pasien Covid, kata Budi, adalah mereka datang ke rumah sakit dalam keadaan saturasi oksigen yang sudah sangat rendah.

Angka kematian akibat Covid-19 masih berada di kisaran 1.500 atau lima kali lipat dibandingkan angka kematian di pertengahan Juni.

Angka kematian per hari sejak awal Juli terus di atas angka 1.000 dan bahkan pernah mencapai angka lebih dari 2.000 per 24 jam.

Sejak awal pandemi, lebih dari 97.000 orang Indonesia meninggal dunia akibat Covid-19, menurut data Kementerian Kesehatan.

Dari pertengahan Juli hingga akhir Juli, gerakan LaporCovid melaporkan lebih dari 2.800 orang meninggal dunia saat melakukan isolasi mandiri.

Masyarakat ‘trauma’

Menurut analisis Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Profesor Budi Haryanto, masih pula banyak masyarakat yang enggan mencari pertolongan ke rumah sakit karena “trauma”.

“Lebih kepada “trauma” karena mendapat kabar orang-orang yang kesulitan mencari RS, bahkan sampai 10 RS baru dapat dilayani. Hal-hal ini banyak beredar di medsos.

“Mereka yang tidak punya sarana untuk membawa pasien ke sana-sini jadi berpikir, ‘mending di rumah saja dan diobati sendiri’. Ternyata ketika ada perburukan, pontang panting dan terlambat,” ujar Budi.

Sejumlah daerah kini telah mencatat penurunan tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit (BOR), maka menurut Budi Haryanto, pemerintah perlu mensosialisasikan dengan lebih baik hal itu ke masyarakat.

Di Jakarta, misalnya, BOR RS rujukan Covid turun ke angka 56%, setelah sebelumnya sempat mencapai di atas 80%.

Menurut Budi, dengan sosialisasi yang masif, mereka yang terkena covid dan kondisinya terus menurun dapat dirawat dengan baik di rumah sakit.

Budi Haryanto juga sependapat dengan keputusan pemerintah untuk melanjutkan pembatasan karena menurutnya penurunan kasus covid 19 belum signifikan.

Angka kasus covid di Indonesia pernah menurun hingga 4,000, tapi per Senin (02/08), angka Covid masih lima kali lipat di atasnya, yakni di angka 20.000.

Sementara, ‘angka reproduksi’ atau yang biasa di sebut R, masih bertengger di angka 1,2 hingga 1,5 menurut data pemerintah.

Kasus Covid dianggap bisa dikendalikan jika R di bawah angkat 1.

Menurut Budi Haryanto, jika pembatasan direlaksasi tanpa pengawasan ketat, ‘kasus dapat naik dalam waktu tiga sampai lima hari’, ujarnya.

Pemerintah mengumumkan akan memperpanjang PPKM hingga 9 Agustus di sejumlah daerah.

Isolasi terpusat

Dalam keterangan pers Senin (02/08), Luhut Binsar Pandjaitan sebagai koordinator PPKM Jawa-Bali, mengatakan pemerintah akan meningkatkan layanan isolasi terpusat sebagai salah satu cara menekan angka kematian.

“Fasilitas isolasi terpusat ini dilengkapi dokter, perawat, obat-obatan, oksigen dan konsumsi pasien sudah kami siapkan 49.000 tempat tidur di Pulau Jawa dan Bali,” kata Luhut.

Di Kota Surabaya, Jawa Timur, salah satu kota yang masih mencatat angka kematian tinggi selama PPKM, pemerintah daerah juga menggalakan isolasi terpusat, sebagaimana dijelaskan Febriaditya Prajatara, Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya.

“Jadi ketika ada warga yang mengalami sakit COVID, baik itu di tes PCR maupun antigen, meskipun itu terindikasi, diharapkan untuk bisa melaksanakan isolasi terpusat.

“Baik itu di Rumah Sehat ataupun di Asrama Haji, hotel yang dikerjasamakan dengan Pemerintah Kota Surabaya, maupun di rumah sakit,” ujarnya kepada wartawan Roni Fauzan untuk BBC News Indonesia.

Ia mengatakan dengan isolasi terpusat, mata rantai penyebaran covid kluster keluarga juga bisa terputus dan kondisi pasien lebih terpantau.

“Kalau di Rumah Sehat (tempat isolasi terpusat) ini nantinya akan ditangani, akan dimonitor bagaimana sih saturasi oksigennya? Kondisinya hari ini seperti apa? Itu termonitor.

“Lha kalau solasi mandiri, terus kemudian rumahnya tidak memungkinkan, ini kan bisa sangat berbahaya. Janganlah berusaha untuk memaksa isolasi mandiri,” ujarnya.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita, Informasi Kesehatan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *