OLIMPIADE TOKYO: BAGAIMANA SAINS DAN TEKNOLOGI MEMBANTU LALU ZOHRI DAN BANYAK SPRINTER BERLARI 100 METER DI BAWAH 10 DETIK

Jumlah pelari 100 meter yang menembus waktu di bawah 10 detik bertambah dengan cepat dan tidak lagi didominasi negara AS dan Jamaika. Teknologi dan pengetahuan olahraga memiliki peran.

Pada Olimpiade 2012 di London lalu, mata penonton tertuju pada gerak kaki Usain Bolt yang melesat “terbang” di lintasan 100 meter -memecahkan rekor dunia dengan catatan waktu 9,63 detik.

“Itu adalah salah satu balapan terbaik yang pernah ada,” jelas Steve Haake, Profesor Teknik Olahraga di Universitas Sheffield Hallam Inggris.

Tapi Haake tidak melontarkan pujian itu untuk Bolt.

Pujian itu diberikan kepada kinerja keseluruhan tim: tujuh dari delapan atlet yang ambil bagian dalam final itu mencapai garis finis dalam waktu kurang dari 10 detik – sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dipecahkan untuk pertama kalinya pada tahun 1968, finis di bawah 10 detik atau “sub-10” tetap menjadi pencapaian besar bagi seorang sprinter: lencana kehormatan yang membedakan mereka dari rekan-rekan mereka.

Impian untuk menembus garis finis di bawah 10 detik juga menjadi target sprinter Indonesia, Lalu Muhammad Zohri.

Bahkan, juara Dunia Atletik U-20 2018 di Finlandia itu mengincar status sebagai sprinter pertama Indonesia yang berlari di bawah 10 detik dalam Olimpiade Tokyo ini. Lalu Zohri akan tampil di nomor 100 meter putra pada Sabtu (31/7).

Catatan waktu terbaik Zohri adalah 10,03 detik yang diciptakan di seri Golden Grand Prix Osaka 2019.

Untuk bisa berlari 100 meter di bawah 10 detik jelas tidak gampang–walau jumlah pelari yang melewati waktu “sub-10” detik itu telah bertambah dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Data dari World Athletics, badan pengatur olahraga, menunjukkan bahwa dalam empat dekade antara 1968 dan 2008, hanya 67 atlet yang berhasil menembus batas.

Tapi hanya dalam waktu 10 tahun berikutnya, terdapat 70 sprinter lainnya yang bergabung dengan klub di bawah 10 detik itu.

Dan dalam dua tahun terakhir hingga awal Juli 2021, terdapat 17 pria lagi yang masuk klub “sub-10” pertama mereka. Penghalang setara untuk perempuan – 11 detik – juga semakin sering dipecahkan.

Final 100 meter putra di London 2012, di mana tujuh dari delapan finalis berlari di bawah 10 detik.

Apa yang sedang terjadi?

Para ilmuwan seperti Haake percaya kemajuan itu adalah kombinasi dari faktor-faktor yang dimulai dengan meningkatnya partisipasi dalam olahraga itu di seluruh dunia.

Kemudian disusul oleh akses metode pelatihan yang membaik.

“Lebih banyak atlet di seluruh dunia sekarang mendapat manfaat dari pelatihan khusus dan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga untuk meningkatkan peluang mereka berlari lebih cepat,” tambah Haake.

Buktinya adalah sprinter “sub-10” telah berkembang melampaui kekuatan yang biasanya didominasi oleh AS, Jamaika, dan negara-negara seperti Inggris Raya dan Kanada – yang semuanya telah memenangkan setidaknya satu medali emas Olimpiade di 100 meter putra.

Dalam lomba 100 meter putri, penghalang 11 detik juga lebih sering dipecahkan.

Nigeria, misalnya, berbagi dengan Inggris Raya dalam jumlah atlet terbanyak ketiga yang telah berlari di bawah 10 detik dengan 10 sprinter.

Kemudian, muncul pula para pendatang baru seperti Jepang, Turki, China dan Afrika Selatan, negara-negara yang kurang terkenal dengan atlet larinya.

Hasil serupa juga terjadi di nomor 100 meter putri. Batasan waktu 11 detik pertama kali dipatahkan pada tahun 1973 oleh sprinter Jerman Timur Renate Stecher.

Pada tahun 2011, muncul 67 atlet yang telah memecahkan waktu itu.

Sepuluh tahun kemudian, totalnya menjadi 115 sprinter yang di antaranya berasal dari negara-negara dengan tradisi yang kurang dalam kompetisi tersebut.

Sepatu, lintasan, dan ilmu olahraga

Teknologi memiliki peran penting : sprinter hari ini berlari dengan sepatu yang lebih ringan – model terbaru dapat memiliki berat kurang dari 150 gram.

Alas kaki hari ini juga dibuat dengan bahan yang sangat berbeda. Salah satu contohnya adalah kolaborasi antara sepatu merek Puma dari Jerman dan tim Formula Satu Mercedes, yang menghasilkan sepatu sprint dengan sol yang terbuat dari serat karbon – bahan yang sama yang digunakan untuk mendesain mobil beberapa pembalap juara dunia Lewis Hamilton.

Lintasan lari juga telah berkembang pesat sejak atlet-atlet elite masa lampau berlari di permukaan tanah liat atau rumput dalam kompetisi.

Lintasan sintetis pertama kali digunakan dalam Olimpiade tahun 1968 di Meksiko, menawarkan perlindungan lebih pada sendi atlet dan memberikan efek loncatan yang akan menghasilkan waktu lebih cepat.

Pada pertandingan yang sama itulah sprinter AS Jim Hines menjadi manusia pertama yang melesat di trek sepanjang 100 meter dengan waktu 9,95 detik.

Dorongan untuk menciptakan lintasan yang menunjang sprinter berlari lebih cepat terus berkembang, seperti menggunakan butiran karet vulkanisir yang kini tengah dipertimbangkan.

Pada Olimpiade Beijing 2008, pembuat permukaan trek dari Italia Mondo merayakan lima rekor dunia yang tercipta di atas trek yang dipasoknya untuk kompetisi atletik, hampir sama seperti yang dilakukan para pelari.

Selain memberikan sarana penunjang, sains juga berperan dalam nutrisi dan pelatihan para atlet.

Pelari hari ini dapat dianalisis secara menyeluruh, dan penyesuaian dilakukan pada teknik dan waktu reaksi.

Penelitian bahkan telah mengidentifikasi otot mana yang lebih penting bagi sprinter untuk berhasil.

Oktober lalu, tim ilmuwan dari Loughborough University, lembaga terkemuka dalam studi ilmu olahraga, menemukan bahwa gluteus maximus (otot yang membentuk bagian bawah) adalah kunci bagi atlet untuk mencapai kecepatan tertinggi di lintasan.

“Kami sekarang memiliki pengetahuan bahwa ada distribusi otot yang sangat spesifik pada sprinter elit,” kata Sam Allen, ahli biomekanik yang mengambil bagian dalam penelitian itu.

“Jadi, kita akan segera melihat sprinter bekerja secara khusus pada pengembangan itu.”

Apakah ada pengaruh hambatan psikologis?

Dalam sebuah wawancara untuk surat kabar Jepang The Asahi Shimbun pada tanggal 9 Juli, sprinter lokal Ryota Yamagata tidak ragu-ragu untuk memuji lari “sub-10 detik” 100 meter-nya sebulan sebelumnya, sebagai “karya para ilmuwan selama 20 tahun terakhir”.

Tidak ada sprinter Jepang yang menembus batas 10 detik hingga 2017. Sejak itu, Yamagata dan tiga rekan senegaranya telah melakukannya.

Tampaknya juga perluasan peraih “sub-10” detik dalam hal jumlah dan keragaman membuat penghalang tidak terlalu menakutkan bagi para atlet sekarang.

Pelari cepat China Bingtian Su percaya bahwa penghalang 10 detik terutama dipengaruhi oleh tantangan psikologis.

Demikian pendapat Bingtian Su dari China, yang pada tahun 2015 menjadi pria kelahiran Asia pertama yang berlari 100 meter di bawah 10 detik.

“Saya pikir penghalang itu lebih bersifat psikologis daripada fisik,” katanya pada 2019.
Dominasi medali

Jelas, kemajuan-kemajuan tersebut bukanlah jaminan otomatis untuk berhasil mengalahkan penghalang 10 detik.

Sampai saat ini, misalnya, banyak negara, termasuk India, dan bahkan seluruh benua (Amerika Selatan) masih belum menghasilkan “sub-10” di 100 meter putra atau sprinter “sub-11” di perlombaan putri.

Memang, perluasan “klub sub-10” tidak terlalu mengganggu keseimbangan persaingan dalam hal perebutan medali.
Peraih medali emas Elaine Thompson dari Jamaika merangkul peraih medali perak Tori Bowie dari AS (kanan) setelah Final 100m putri Olimpiade Rio 2016.

Baik di nomor putra maupun putri, sprinter AS dan Jamaika masih secara sistematis mendominasi podium dalam perlombaan Olimpiade dan Kejuaraan Dunia sejak 1980-an.

Dalam acara putra misalnya, pelari cepat pria terakhir di luar negara-negara ini yang memenangkan emas Olimpiade adalah Donovan Bailey dari Kanada, di Olimpiade Atlanta 1996.

Di nomor putri, kemenangan sprinter Belarusia, Yuilya Nestsiarenka di Olimpiade Athena 2004 merupakan kejutan besar karena atlet AS telah memenangkan perlombaan di lima Olimpiade sebelumnya – Jamaika telah memenangkan tiga edisi berikutnya.

Terlihatnya tidak mungkin terjadi perubahan signifikan para juara di Olimpiade Tokyo, meskipun mereka menjadi yang pertama setelah pensiun Bolt: sprinter-sprinter dari AS memiliki empat dari lima waktu tercepat di 100 meter putra pada tahun 2021.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *