Pencopotan dua pejabat TNI di Papua setelah beredarnya sebuah video yang menunjukkan anggota TNI Angkatan Udara (AU) menginjak kepala seorang warga Merauke, disebut tak cukup dan perlu ditindaklanjuti dengan sidang yang transparan.
Komnas HAM Papua melihat peristiwa penginjakan kepala itu mirip dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, ketika leher seorang warga kulit hitam George Floyd ditekan dengan lutut oleh polisi, sehingga memicu gelombang protes Black Lives Matter.
Namun, pihak TNI AU mengatakan dua kasus tersebut “jauh berbeda”.
Sejauh ini, tindakan melanggar hukum yang dilakukan anggota TNI kerap diselesaikan melalui pengadilan militer, yang menurut Komnas HAM Papua, dalam kasus tertentu, “putusannya tak mewakili rasa keadilan masyarakat”.
Menurut catatan lembaga Kontras, setidaknya 16 kasus dugaan pelanggaran HAM, yang terdiri dari penyiksaan, penembakan, hingga salah tangkap, yang diduga dilakukan aparat keamanan, telah terjadi di tanah Papua pada tahun 2021.
‘Pertanggungjawaban’
Dua pejabat TNI di Papua, yakni Komandan Pangkalan Udara Johanes Abraham Dimara dan Komandan Satuan Polisi Militer dicopot, setelah beredar video yang menunjukkan seorang orang anggota Angkatan Udara menginjak kepala seorang laki-laki penyandang disabilitas di sebuah trotoar di Merauke.
Satu orang lainnya menindih badan laki-laki itu dengan lututnya.
Pencopotan itu dikonfirmasi oleh Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau), Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, hari Rabu (28/07).
“Penggantian ini adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kejadian tersebut. Komandan satuan bertanggung jawab terhadap pembinaan anggotanya dan perlu diketahui penanganan perkara ini terus masih berlangsung dan kedua pelaku sudah kami tahan,” ujar Fadjar Prasetyo.
Panglima TNI Hadi Tjahjanto sebelumnya mengatakan kedua pejabat itu perlu dicopot karena mereka tak bisa membina anggota.
“Karena mereka tidak bisa membina anggotanya. Kenapa tidak peka, memperlakukan disabilitas seperti itu. Itu yang membuat saya marah,” ujar Hadi dalam keterangan tertulis.
Mirip kasus George Floyd?
Kepala kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey, menyebut perlu diberikan sanksi setimpal.
Menurutnya, apa yang terjadi itu mirip dengan peristiwa di Amerika Serikat, saat seorang warga kulit hitam bernama George Floyd, ditekan lehernya dengan lutut seorang polisi sampai meninggal, meski dalam kasus di Papua korban tak sampai meninggal dunia.
Peristiwa di AS itu menyebabkan gelombang protes Black Lives Matter atau nyawa orang kulit hitam penting di Amerika Serikat dan sejumlah negara.
“Tindakannya sama itu … dia dihentikan dan kepalanya diinjak. Ini sama persis dan ingat simbol sepatu militer itu kan simbol penyiksaan dan itu akan menjadi ingatan dalam masyarakat Papua yang lama dan sulit hilang,” ujar Frits.
Namun, dua kasus itu berbeda, kata Kadispenau, Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah.
“Apa yang terjadi di AS tidak sama atau jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Merauke. Kasus yang terjadi di Merauke murni kasus insidental yang berujung tindakan kekerasan oleh dua oknum prajurit TNI AU,” ujarnya.
Ia menjelaskan kronologi kasus tersebut.
Menurut Indan Buldansyah, kejadian diawali dengan upaya dari anggota TNI AU untuk melerai pertikaian antara warga Merauke dengan penjual bubur ayam di daerah tersebut.
“Niat baik tersebut, ternyata berujung dengan tidak baik, karena dua oknum anggota kita melakukan tindakan yang berlebihan/tindakan kekerasan saat mengamankan saudara Steven [korban]
“Akibat tindakan ini, korban mengalami luka lecet pada dahi dan setelah itu dua oknum anggota TNI AU tersebut menyuruh korban pulang ke rumahnya.”
Setelah kejadian itu terungkap, Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, menyatakan permohonan maaf hingga memecat pejabat TNI yang membawahi kedua orang tersebut.
Kedua anggota terlibat pun langsung ditahan denan proses hukum yang masih berjalan hingga saat ini.
Dengan kronologi seperti itu, Indan Buldansyah mengatakan kasus itu sangat berbeda dengan kasus yang menyebabkan George Floyd meninggal dunia.
Sejumlah pihak menyamakan kasus George Floyd dengan yang terjadi di Papua. Namun, hal itu disebut tak sama oleh pihak TNI.
George Floyd, pria kulit hitam berusia 46 tahun, meninggal setelah ditangkap oleh polisi di luar sebuah toko di Minneapolis, Minnesota, karena dugaan memakai uang palsu.
Rekaman penangkapan pada tanggal 25 Mei lalu menunjukkan seorang perwira polisi kulit putih, Derek Chauvin, berlutut di leher Floyd, membuatnya terhimpit dan meninggal dunia.
‘Rasa keadilan masyarakat’
Terlepas dari itu Kepala kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey, berharap peradilan yang akan dilakukan memenuhi rasa keadilan masyarakat karena menurutnya, peristiwa itu membuat “luka bangsa” Papua.
“Supaya bisa mengobati, perlu hukuman setimpal dan harus mengobati rasa keadilan… bagaimana mengobati kebencian orang Papua karena peristiwa itu akan jadi bahan kampanye dimana-mana.
“Dan itu yang dipojokkan bukan pelaku tapi institusi TNI dan bangsa Indonesia,” ujarnya.
Frits berkaca pada kasus dua tahun silam saat seorang prajurit TNI terbukti bersalah melakukan penembakan terhadap pendemo di Distrik Fayit, Asmat, yang tak puas dengan hasil pemilu caleg.
Empat orang meninggal dunia dan satu orang luka berat karena tembakan itu.
Pelaku, yakni Serka Fajar, dihukum kurang dari dua tahun dikurangi masa tahanan.
Dari putusan yang diunggah Mahkamah Agung, Serka Fajar tidak dikenai pidana tambahan berupa pemecatan dari militer.
Hal ini lah yang menurut Frits “tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat”.
Pada kasus lain, yakni ujaran rasialisme pada mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019, aparat TNI yang telibat dihukum dua bulan melalui persidangan militer.
Sebagai perbandingan, tujuh demonstran yang turut dalam demo menentang rasialisme pada tahun itu, beberapa dijatuhi hukuman 10 hingga 11 bulan penjara.
Desakan peradilan terbuka
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, peneliti KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan), Rivanlee Anandar, mengatakan pemecatan pejabat TNI saja tak cukup dan ia berharap persidangan terhadap tersangka kasus penginjakan kepala warga Papua dapat dilakukan seterbuka mungkin.
Ia berharap yang digunakan adalah peradilan umum karena menurut dia, mekanisme peradilan militer yang seringkali tertutup.
“Dorongan kami adalah selesaikan kasus ini ke ranah peradilan umum supaya presedennya muncul bahwa [aparat] tidak bisa semena-mena untuk mengambil langkah kepada masyarakat sipil, dalam hal apa pun, karena ada peraturan yang membatasi gerak mereka kepada warga sipil.
“Hal ini juga menjadi sanksi yang tegas nantinya jika dilaksanakan secara transparan dan akuntabel di dalam rekam jejak penegakan hukum kita,” ujar Rivanlee.
Menurut catatan Kontras, setidaknya 16 kasus dugaan pelanggaran HAM, yang terdiri dari penyiksaan, penembakan, hingga salah tangkap, yang diduga dilakukan aparat keamanan, telah terjadi di tanah Papua pada tahun 2021.
Sementara, pihak TNI/Polri berulang kali mengatakan, keberadaan mereka di Papua adalah untuk melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, yang mereka sebut sebagai “kelompok teroris.”
Kabidpeninter Puspen TNI, Kolonel Laut (P) Djawara Whimbo mengatakan seluruh anggota TNI telah diminta bekerja secara tegas dan humanis dalam setiap tugas yang mereka emban.
Di Papua khususnya, Djawara Whimbo mengeklaim, tugas TNI adalah untuk mendukung kepolisian menjaga keamanan dan melakukan sejumlah tugas sosial.
sumber: seword