KERAJAAN BUGIS VS KERAJAAN HARU.

‘Mengapa orang Karo tidak tertarik menelusuri jejak Kerajaan Haru/Karo?

Mengapa suku² nusantara lainnya berlomba² menjaga dan membangun kembali jejak peradaban leluhurnya?

Generasiku saja kesulitan menelusuri jejak sejarah peradaban leluhurku. Bagaimanakah kira² nasibnya pada generasi anak cucuku kelak? Akankah sejarah Haru/Karo akan (dibiarkan) hilang ditelan zaman? (Leo Tarigan)’

Kemarin penjelajahan Kami sampai di Kota Palopo. Kami mencapai kota ini setelah menempuh perjalanan darat dari kota Makassar selama kurang lebih 8 jam perjalanan. Jarak tempuhnya sekitar 380 km, melintasi jalur Trans Sulawesi yang terkenal itu. Badan memang lelah, tapi semangat menjelajah tetap membuncah. Lewat tengah malam baru Kami tiba di Kota Palopo, kota yang katanya adalah kota terbersih di Sulawesi Selatan. Dan memang sepanjang jalan yang kami lintasi, kota ini memang terlihar sangat bersih, dan lumayan rapi. Padahal besarnya sepertinya tak jauh beda dengan kota di kampung Kami. Tapi kalau soal kebersihan, sebaiknya nggak usah dibandingkan lah. Bikin sakit hati saja. 😀😀

Objek jelajah kami kali ini adalah Istana Kedatuan Luwu di Kota Palopo. Mungkin tak banyak diantara kawan2 yang pernah mendengar istana ini, dengan sejarahnya yang lumayan sudah tua. Kedatuan Luwu (juga dieja Luwuq, Wareq, Luwok, Luwu’) adalah kerajaan Bugis tertua, dan dari sinilah asal muasal kerajaan-kerajaan Bugis lainnya yang terkenal itu, seperti kerajaan Gowa, kerajaan Tallo, kerajaan Makassar, kerajaan Soppeng, dll. Kerajaan Luwu juga disebutkan dalam kitab Kakawin Nagarakretagama, teks pada abad ke-14 sebagai daerah di bawah pengaruh kerajaan Majapahit bersama Lombok Mirah (Lombok), Bantayan (Bantaeng) dan Udamakatraya (Kepulauan Talaud) dan pulau-pulau disekitarnya pada periode Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M). Kesimpulan yang bisa petik dari fakta ini ialah, bila Majapahit memuat cerita soal kerajaan ini pada waktu itu, itu berrarti kerajaan ini cukup berpengaruh pada jamannya, sehingga Majapahit menganggap perlu memperhatikannya. Itu artinya kerajaan ini sudah cukup lama berdiri, sebab tidak mungkin sebuah kerajaan bisa langsung kuat ketika baru saja berdiri.

Kalau Anda ingat nama Sultan Hassanudin, seorang Raja Gowa yang terkenal gigih melawan Belanda. Dia adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Kisah perlawanannya terhadap Belanda sudah banyak dituliskan dalam buku2 pelajaran sejarah di sekolah2 di Indonesia. Nah, kedatuan Luwu adalah leluhur Kesultanan Gowa (Kesultanan Makassar) dimana Sultan Hassanudin adalah salah satu rajanya. Fakta sejarah ini yang kurang banyak diketahui orang. Termasuk Saya sebelumnya.

Menjejakkan kaki di depan istana kedatuan yang sejarahnya sudah berumur hampir 1.000 tahun mau tak mau membuatku tertegun. Orang Bugis ternyata masih sangat memelihara warisan sejarah dan budaya leluhurnya. Hampir 1.000 tahun namun jejaknya masih belum pudar. Anak cucu orang Bugis masih bisa melihat dengan jelas jejak sejarah peradaban kaum mereka. Betapa beruntungnya.

Disini, pada jarak yang terpisah ribuan kilometer dari kampungku di Sumatera Utara sana, Saya seperti terperosok dalam sebuah kesedihan. Kaumku juga sebenarnya punya sejarah peradaban yang tak kalah hebat dari sejarah kerajaan2 tua lainnya di Indonesia. Kerajaan Haru, kerajaan leluhur orang Karo, juga pernah dicatat dalam sejarah Majapahit, dan buku2 sejarah yang seumur dengannya. Nama kerajaan Haru ini disebutkan dalam kitab tua bernama Pararaton (tahun 1336) yang ditulis dalam teks Jawa Pertengahan. Salah satu bgaian dalam teks ini kemudian kita kenal dengan sebutan Sumpah Palapa, yaitu sumpah maha patih paling hebat dari Kerajaan Majapahit, yang bernama Gajah Mada. Semua anak Indonesia yang pernah sekolah pasti pernah mendengar Sumpah Palapa. Termasuk anak2 orang Karo. Tapi jangankan anaknya, bapak ibu anak2 sekolah itu sendiripun mungkin tak pernah paham makna sumpah yang amat terkenal itu. Apalagi mengkaitkannya dengan sejarah dirinya sendiri. Sepertinya masih jauh panggang dari api bila mengharapkan hal tersebut.

Sumpah itu sendiri berbunyi demikian dalam bahasa aslinya:

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, RING HARU, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”

Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti:

“Saya, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.

Adapun arti dari nama2 kerajaan yang disebutkan Gajah Mada dalam sumpahnya itu adalah:

Gurun = Pulau Gorom, Seram Bagian Timur
Seran = Seram
Tañjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Kal-Bar.
Haru = Kerajaan Aru Sumatera Utara (Karo)
Pahang = Pahang, Malaysia
Dompo = sebuah daerah di pulau Sumbawa
Bali = Bali
Sunda = Kerajaan Sunda
Palembang = Palembang atau Sriwijaya
Tumasik = Singapura

Sampai mati Gajah Mada tak pernah tercatat berhasil mengalahkan Kerajaan Haru.

Sebuah kitab tua lainnya yang menjadi rujukan sejarah mengenai kerajaan Haru, yang berjudul Suma Oriental, menyebutkan bahwa kerajaan Haru merupakan kerajaan yang kuat, Penguasa Terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru (Haru) yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.

Dalam kitab Sulalatus Salatin, Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota China dan Kota Rantang, sekitar wilayah kota Medan sekarang.

Kerajaan Haru juga disebutkan dalam catatan Mendes Pinto (tahun 1539), yang menyatakan adanya masyarakat ‘Aru (Haru) di pesisir Timur Laut Sumatra.

Bahkan sejarah kerajaan Tiongkok kuno.mencatat dengan detil bahwa pada tahun 1412, Laksamana Cheng Ho, salah satu panglima perang kerajaan Tiongkok dari dinasti Ming pernah datang mengunjungi kerajaan Haru. Laksamana ini membawa serta 27.000 prajuritnya, dengan kapal2 perang yang jumlahnya ratusan. Bahkan tercatat pula disana bahwa pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru. Kalau kerajaan Haru cuma kerajaan kecil, kerajaan kampung, atau kerajaan abal2, tidaklah mungkin seorang laksamana sebesar Cheng Ho memperhatikannya dengan begitu istimewa.

Kisah kepahlawanan suku Karo juga tidak kalah epiknya dengan kisah heroisme suku2 lainnya, termasuk bula dibandingkan dengan kisah kepahlawanan Sultan Hassanudin dari Kerajaan Gowa, yang merupakan penerus kedatuan Luwu, yang istananya kami kunjungi ini. Mungkin tak banyak orang Karo yang tahu bahwa perang terlama melawan penjajahan di Indonesia adalah perang Sunggal. Perang ini dipicu dan diplimpin oleh Raja Urung Serbanyaman (Urung Sunggal) beserta adiknya. Raja (Datu) Sunggal ini bernama Datuk Badiuzzaman Johan Sri Indera Surbakti dan Datuk Alang Muhammad Bahar Johan Sri Indera Surbakti. Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan keturunan ke-7 dari Sesser Surbakti yang asal-usulnya adalah dari Telun Kulu, Tanah Karo. Sedangkan Datuk Alang Muhammad adalah adik Datuk Badiuzzaman.

Perang sunggal ini berlangsung selama 32 tahun. Lebih lama dari perang Aceh yang 31 tahun, lebih lama dari perang Diponegoro, lebih lama dari perang Paderi yang dipimpin oleh Imam Bonjol. BAHKAN SEBENARNYA, PERANG SUNGGAL TERMASUK SALAH SATU PERANG TERLAMA DI MUKA BUMI. Kalau Anda kurang yakin periksalah daftar perang2 terlama di dunia, dan bandingkanlah jangka waktu setiap perang tersebut. Bukankah seharusnya orang Karo berbangga dengan sejarahnya ini?

Mengapa Saya terjebak dalam kesedihan ketika berada di istana orang, yang letaknya nun jauh dari kampung sana? KARENA SEBAGAI PUTRA KARO NYARIS TAK ADA TEMPAT BAGIKU UNTUK MELIHAT DAN MENGAGUMI JEJAK SEJARAH KERAJAAN HARU YANG HEBAT ITU. Saya hanya membaca kisah2nya dari berbagai kitab, tapi nyaris tak pernah melihat bukti fisik kejayaan leluhurku. Inilah perbedaannya kaumku dengan saudara2ku orang Jawa, orang Sunda, orang Bali, orang Banten, orang Bugis, orang Aceh, orang Nias, dan lain2. Mereka, ketika membicarakan sejarah peradaban leluhur mereka, mereka bisa menunjukkan bukti2 fisiknya. Ada tempat yang bisa mereka kunjungi. Mereka juga bisa mengajak kita kesana menyaksikan kehebatan keluhur mereka dahulu. Ada jejak sejarah leluhur mereka berupa candi, istana, makam, dan lain2nya yang bisa ditunjukkan keoada kita sebagai bukti nyata sejarah kaum mereka. LALU ORANG KARO, KEMANAKAH KITA BISA PERGI UNTUK MELIHAT JEJAK KEJAYAAN LELUHUR KITA? Padahal sejarawan2 terkenal yang bukan orang Karo justru punya catatan akan kehebatan peradaban leluhur kita. Kemanakah kita bisa mengajak sahabat2 kita dari suku dan bangsa lain agar mereka juga bisa melihat jejak kehebatan leluhur kita?

Disini, di kampung orang ini, Aku ingin marah! Sangat ingin melampiaskan kemarahanku. Tapi kepada siapa? Pemerintah daerah? Apakah mereka akan perduli kepadaku? Saudara sekaumku? Para orang tua pendahuluku? Apakah akan ada artinya?

Akhirnya penjelajahan ini cuma bisa menyisakan pertanyaan saja. Masih adakah saudara2ku YANG MENGAKU SEBAGAI ORANG KARO yang cukup perduli? Adakah diantara mereka yang mau diajak berbagi rasa dan berbagi cerita soal sejarah leluhur kita? Aku ingin sekali berbuat sesuatu, walau entah apa Aku tak tahu. Agar generasi Karo kelak bisa melihat kembali jejak sejarah kehebatan nenek moyang mereka.

fb Leo Tarigan

This entry was posted in Berita, Berita dan Informasi Utk Takasima, Cerita (Turi - Turin), Informasi Untuk Kab. Karo, Taneh Karo Simalem. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *