COVID-19 : SATU DARI DELAPAN PASIEN DI INDONESIA ADALAH ANAK ANAK, ORANG TUA DIANGGAP ‘MEMBUAT ANAK BERISIKO’

Satu dari delapan pasien Covid-19 di Indonesia adalah anak-anak. Angka infeksi dan kematian anak usia 0-18 tahun pun meningkat seiring lonjakan kasus secara umum.

Itu sebab Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Pulungan, mewanti-wanti pemerintah daerah hingga pusat beserta Satgas Covid-19 untuk menyadari bahwa anak dan balita punya risiko infeksi virus corona yang sama dengan orang dewasa.

Menyusul kenaikan kasus Covid-19 pada anak, IDAI merekomendasikan peningkatan tracing dan testing pada anak, pemetaan data Covid-19 khusus anak, dan menyarankan penundaan pembelajaran tatap muka.

Namun Kementerian Kesehatan berkeras tetap pada SKB pembelajaran tatap muka secara terbatas, seraya tak henti mengingatkan para orang tua untuk taat protokol kesehatan dan tak membiarkan anak-anak berkegiatan di luar rumah.

Was-was anak bakal terpapar Covid

Sendy, seorang ibu berusia 33 tahun, sudah was-was anaknya bakal ikut terpapar Covid-19. Sebab saat itu, pada Mei 2021, ibu satu anak yang juga pegawai di perusahaan swasta di DKI Jakarta tersebut terinfeksi virus corona.

Ia telah menerima vaksinasi dua kali dosis. Sehari-hari pun sebenarnya Sendy termasuk yang menjalani sistem bekerja dari rumah atau work from home (WFH).

Tapi rupanya hari itu tes swab PCR menunjukkan ia dan suaminya terinfeksi virus corona.

“Tapi syukurnya anak saya dan kedua orangtua yang tinggal bersama saya, negatif,” ungkap Sendy kepada Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (20/06).

Kekhawatiran tak pelak tetap membayangi ibu muda dengan anak usia 13 bulan tersebut.

Isolasi mandiri langsung dilakukan. Ia dan suaminya untuk sementara tinggal terpisah dari anak dan orang tua mereka.

“Karena saya masih menyusui, kalau ibu sudah divaksin itu kan antibodinya menurun ke anaknya. Saya juga sudah divaksin dosis kedua selesai, April lalu. Jadi mudah-mudahan bisa memberikan antibodi ke anak saya,” tutur dia lagi.

Angka infeksi Covid-19 pada anak-anak di Indonesia merangkak naik seiring lonjakan kasus secara umum.

Data Satgas Penanganan Covid-19 per Minggu (20/06) menunjukkan 12,5% dari total kasus positif merupakan anak usia 0-18 tahun. Artinya dari total 1.989.909 kasus sebanyak 248.739 di antaranya adalah anak-anak dan balita.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Bhakti Pulungan memaparkan tingkat kematian atau case fatality rate pada anak terkonfirmasi Covid-19 tergolong tinggi yakni mencapai 3-5%.

Ia membandingkan kondisi anak di Indonesia dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura.

“Data kita banyak yang meninggal itu karena sistem kita banyak keterlambatan. Jadi bukan hanya sistem pelayanan kesehatan yang tidak baik, tetapi orang banyak juga yang tidak mau anaknya di-swab. Jadi banyak juga denial,” ungkap Aman kepada Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (20/06).

Minta tunda sekolah tatap muka

Kecemasan itu tak tunggal dirasakan Sendy, orang tua lain di berbagai daerah merasakan hal serupa.

Malika (40), ibu satu anak yang tinggal di DKI Jakarta ini belum sekalipun mengizinkan anaknya untuk ke luar rumah. Termasuk untuk mengikuti pembelajaran tatap muka.

“Sekarang sih khawatir, lebih-lebih lagi ya. Karena kabarnya kasus anak yang kena Covid-19 makin banyak di Jakarta. Dulu-dulu kan kita nggak mikir nih, ah anak-anak imunnya mah masih bagus tinggal dijaga aja,” tutur Malika.

“Sekarang enggak lagi bisa bilang gitu. Apalagi vaksin yang kita tahu kan baru buat yang di atas 18 tahun. Dia pilek dikit aja saya jadi parno (paranoid) kadang-kadang, apa saya kurang jaga kebersihan atau gimana,” imbuh ibu dari anak usia delapan tahun tersebut.

Itu sebab dia meminta pemerintah mempertimbangkan penundaan sekolah tatap muka.

Pendapat serupa diungkapkan orangtua lain, Novaeny (35). Sekalipun sekolah anaknya di Yogyakarta memberi pilihan untuk pembelajaran tatap muka, orangtua siswa masih menolak.

“Para orang tua murid di kelas anakku itu hampir 100% belum setuju untuk masuk tatap muka. Jadi kemungkinan akan protes kalau akan ada tatap muka,” ungkap ibu dengan anak usia 14 tahun tersebut.

“Karena kan kita enggak tahu juga gimana kalau anak ketemu teman-temannya. Walaupun sudah diedukasi prokes, tetap yang namanya anak-anak, kan kita juga nggak bisa mantau,” imbuh dia lagi.

‘Orang tua yang sebenarnya membuat anak berisiko’

Rekomendasi penundaan pembelajaran sekolah tatap muka juga disampaikan Ketua IDAI, Dokter Aman Bhakti Pulungan, mengingat angka positivity rate yang kembali melonjak.

“Kalau saya rasa untuk saat ini kita daring dulu harusnya. Walaupun awalnya kami merekomendasi kalau positvity rate di bawah 5% [sekolah bisa dibuka] tapi sekarang positivity rate tinggi sekali,” tutur Aman.

“Sekarang bisa enggak kita positivity rate di bawah 5%? Kan enggak mungkin,” ucap dia lagi menyangsikan.

Kendati mengakui angka anak terpapar Covid-19 tahun ini secara nasional lebih tinggi dibanding sebelumnya menyusul lonjakan kasus, pemerintah tetap akan melanjutkan pembelajaran tatap muka untuk daerah tertentu.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung di Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan kebijakan masih merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri terkait pembelajaran tatap muka secara terbatas dengan pelbagai ketentuan.

Lagipula, menurut dia, orangtua pun sebetulnya dibebaskan untuk memilih apakah hendak mengikutkan anak menjalani pembelajaran tatap muka atau tetap secara daring.

Dia meyakinkan pembelajaran tatap muka tetap bisa ditempuh secara terbatas di daerah tertentu sesuai syarat dan ketentuan yang diatur SKB.

Beberapa di antaranya misalnya guru dan tenaga pendidik sudah divaksinasi, menerapkan protokol kesehatan, menyiapkan sarana dan prasarana pencegahan Covid-19 hingga, mengatur skema rotasi jadwal pembelajaran juga kapasitas ruangan.

Menurut Nadia, pangkal soal melonjaknya penularan pada anak tak lepas dari peran sebagian orangtua yang abai protokol kesehatan. Bahkan kata dia, pada beberapa momen, orangtua justru menempatkan anak pada risiko tertular Covid-19.

“Karena banyak orangtua mengajak anaknya liburan dan ke mal,” tukas Nadia.

“Sekarang belum PTM (Pembelajaran Tatap Muka) saja anak-anak sudah terpapar. Di sisi lain bilang enggak boleh PTM. Tapi lihatlah orangtua, kenapa anak-anak bisa terpapar? Orang tua melakukan berbagai risiko terhadap anaknya,” imbuh dia lagi.

Senada dengan IDAI, Kementerian Kesehatan menekankan orang tua untuk membatasi kegiatan anak ke luar rumah.

“Menurut saya, kalau sekarang anak-anak itu meninggal dan anak-anak itu lebih banyak sakit, itu adalah kesalahan orang tuanya. Sudah jelas anak-anak tidak boleh keluar,” kata Nadia lagi.

‘Ancaman Long Covid-19 pada Anak’

Ketua IDAI Aman Bhakti Pulungan mengamini salah satu faktor meningkatnya kasus Covid-19 pada anak lantaran sebagian orang tua tak patuh protokol kesehatan.

Namun dia juga mengingatkan pemerintah, angka testing dan tracing Covid-19 pada anak di Indonesia pun masih rendah.

“Idealnya perlakuan antara balita dan anak-anak harusnya sama dengan orang dewasa. Risiko anak dan dewasa terpapar itu sama, yang meninggal juga banyak kan untuk anak,” kata Aman lagi.

Merujuk data Satgas Penanganan Covid-19, persentase angka kematian anak-anak tercatat 1,2% dari total 54.662 kasus meninggal hingga Minggu (20/06).

Itu artinya ada 656 anak-anak dan balita yang meninggal terpapar Covid-19 sejak kasus pertama diumumkan Maret 2020.

Tak hanya itu, Aman menilai melonjaknya kasus Covid-19 pada anak-anak ini harus menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan rumah sakit untuk menyiapkan ruang perawatan khusus.

“Kalau kasusnya 12,5% maka minimal 10% dari itu. Jangan sampai sudah parah baru dirawat. Dokter anak kan ada di mana-mana,” tutur dia.

Merespons soal ruang khusus perawatan untuk anak, menurut Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan, masing-masing rumah sakit telah mengalokasikan kamar untuk pasien anak. Hanya saja, kapasitas persentasi ditentukan masih-masing rumah sakit dan pemerintah daerah.

Hal lain ihwal kasus Covid-19 pada anak ini, yang tak kalah penting menurut Aman adalah pemerintah harus segera memperbaiki data secara menyeluruh.

“Dashboard data anak itu harus ada sesegera mungkin dan buatlah data sesuai kelompok umur anak itu di setiap provinsi. Kapan sih seluruh Pemda, seluruh dinkes, dan seluruh Satgas provinsi ini sadar bahwa anak ini bisa Covid-19,” kata dia.

Pendataan dan pemetaan kasus itu jadi penting untuk mengetahui dampak lanjutan atau jangka panjang terhadap Covid-19. Sebab, Aman mengungkapkan, sudah ada laporan temuan kasus long Covid-19 pada anak di Indonesia.

“Outcome-nya pada anak ini tidak hanya kematian, tapi gejala persisten. Selain MISC (Multisystem Inflammatory Syndrome in Children). Itu MISC tidak di semua negara, kita salah satu yang banyak,” terang dia.

Aman lantas mengutip laporan kasus dari Italia yang menunjukkan 52,7% anak mengalami long Covid-19 setelah empat bulan. Beberapa gejala yang tercatat di antaranya insomnia, fatigue, nyeri otot, nyeri sendi hingga, masalah pernapasan.

Laporan lain yang ia kutip adalah dari Swedia, pada pasien usia 9-15 tahun. Kelompok ini mengalami long Covid setelah enam hingga delapam bulan terinfeksi.

Gejala yang dialami anak-anak itu juga hampir sama di antaranya kelelahan, sering sesak, kesulitan konsentrasi dan kesulitan kembali ke sekolah.

“Kalau ditanya bagaimana di Indonesia? Terus terang saya enggak berani ngomong dulu karena datanya enggak cukup. Tapi kami sudah dapat beberapa kasus yang seperti itu, itu yang diperiksa, karena di Jakarta diperiksa,” ungkap Aman.

Itu sebab dia menekankan pentingnya pengumpulan data kasus Covid-19 dan peningkatan tracing serta testing pada anak.

“Jadi sebetulnya, jangan dianggap anak itu harus dibiarkan. Walaupun dia OTG, tetap kita harus tahu bahwa dia pernah [Covid-19], baik anak-anak atau dewasa. Data ini paling penting bagi kita,”

Antisipasi yang tak matang dan kebijakan yang tak berbasis sains hanya akan memperburuk kondisi anak-anak dan balita di tengah pandemi Covid-19.

Yang terjadi menurut Aman bukan saja banyaknya kasus kematian dan angka kesakitan melainkan juga dampak ikutan Covid-19 bagi anak-anak.

“Ketika anak-anak ini positif kan mental health-nya akan terganggu. Jangankan dia positif, keluarganya positif saja dia terganggu secara mental dan long Covid-19 pada anak itu kan sudah terjadi,” tutur dia mengingatkan.

“Dan yang berikutnya adalah meninggal. Dan angka kasus dan kematian [ada anak] akan meningkat,” pungkas Aman.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita, Informasi Kesehatan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *