Adin – Setiap individu mempunyai karakter yang berbeda-beda. Hampir setiap orang memiliki hal yang disukai atau tidak disukai, hal yang unik, bikin kagum orang lain, dan apapun yang menjadi bagian dari kepribadian dirinya.
Semua hal tersebut ialah penegasan-penegasan tentang “siapa dirinya”, baik dilakukan secara sadar atau tidak, yang dapat membuat hidup menjadi lebih menarik atau malah lebih sulit. Yang pasti setiap orang mempunyai hal-hal yang berbeda-beda.
Bila ditelaah secara ilmiah, dari mana sebetulnya kepribadian itu bermula, dan mengapa setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda? Selama 25 tahun terakhir, para psikolog mencari jawabannya dan mereka pun meyakini bahwa kepribadian seseorang senantiasa bergantung pada lima sifat dasar atau The Big Five, yakni penyesuaian, kesadaran, neurotisme (kestabilan emosi), ekstraversi (tipe kepribadian seseorang yang minatnya lebih mengarah ke alam luar dan fenomena sosial daripada terhadap dirinya dan pengalamannya sendiri), dan keterbukaan terhadap pengalaman.
Setiap orang mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda dan mempunyai kemungkinan yang sama tentang sesuatu yang baik dan jelek. Misalnya seorang preman sangat mungkin melakukan hal yang baik, sebagaimana mungkinnya seolah ustad melakukan hal yang tidak baik.
Tetapi pada kenyataannya kita sering terkaget-kaget, ketika melihat seorang preman atau sejenisnya yang berbuat baik di luar dugaan kita. Contohnya kejadian yang saya lihat dan alami.
Suatu pagi saya membeli bubur ke terminal. Duduk disamping saya orang yang saya anggap seorang anak punk dengan gaya yang khasnya. Walaupun pria dia memakai anting di kedua telinganya, tato menghias beberapa bagian tubuh. Saya dan dia bersamaan memperoleh pesanan bubur.
Saya langsung menyantap bubur tersebut. Sendok kedua bubur akan masuk ke mulut, saya berhenti karena malu. Terdengar si anak punk disamping saya membaca doa sebelum makan, sedangkan saya tidak. Disitu saya berpikir ternyata dia lebih baik daripada saya. Dia yang saya anggap sebagai anak punk yang jauh dari tata krama, ternyata mampu melakukan hal yang saya sendiri tidak melakukannya.
Begitu juga sebaliknya. Kita akan terkaget-kaget ketika melihat atau mendengar orang yang kita anggap mulia dan sebagainya ternyata melakukan hal yang diluar dugaan. Mungkin begitu yang dirasakan Jaksa pada persidangan Habib Riziq Shihab (HRS).
Jaksa terkejut ketika menyaksikan HRS sering mengeluarkan kata-kata yang menurut Jaksa terlalu kasar. Apalagi Jaksa mengetahui jika HRS disebut Imam Besar yang menurutnya sebutan yang begitu mulia dan tinggi. Sehingga Jaksa berani menyatakan bahwa sebutan Imam Besar terhadap HRS hanya isapan jempol belaka.
Pernyataan jaksa yang menyebut imam besar hanya isapan jempol itu disampaikan saat sidang replik. Jaksa menyampaikan Rizieq acap kali menyampaikan kata-kata yang tidak sehat dan emosional. Jaksa juga menilai Rizieq sembarangan menuding lewat pleidoi pada persidangan 10 Juni lalu.
“Sudah biasa berbohong, manuver jahat, ngotot, keras kepala, iblis mana yang merasuki, sangat jahat dan meresahkan, sebagaimana dalam pleidoi. Kebodohan dan kedunguan, serta kebatilan terhadap aturan dijadikan alat oligarki sebagaimana pada pleidoi,” kata jaksa saat itu.
HRS mengaku tak tersinggung jika jaksa meragukan sebutan imam besar itu. Namun dia khawatir umatnya menganggap pernyataan itu sebagai hinaan. Dia juga khawatir Pengadilan Negeri Jakarta Timur dikerumuni pendukungnya pada sidang vonis nanti. Dia mengatakan pernyataan jaksa itu bisa menimbulkan kebencian di kalangan pendukungnya.
Tanggapan HRS terhadap pernyataan Jaksa sangat halus, tapi dibalik itu tersimpan ancaman yang tajam sekaligus provokatif. Pengakuannya yang merasa tidak tersinggung sebenarnya sesuatu yang bagus menandakan orang yang murah hati dan tidak sombong.
Tapi pernyataan selanjutnya langsung mementahkan makna positif dibalik rasa tidak tersinggungnya. Dia khawatir pernyataan jaksa bisa menimbulkan kebencian di kalangan pendukungnya.
Pernyataan HRS ini seolah memerintahkan orang-orang yang mendukungnya untuk melakukan hal yang “dia takutkan”. Pernyataan yang tidak bisa diungkap langsung. Karena jika ditanyakan langsung apakah HRS memerintahkan pendukungnya untuk tersinggung dengan apa yang dikatakan Jaksa, tentu saja HRS akan menolak dan mengatakan “justru itu yang saya takutkan”. Pintar memang HRS ini sudah seperti para anggota dewan.
Seperti seorang kawan yang menagih hutang. Dia ngobrol bahwa dia lagi butuh uang banget. Ketika ditanya, “apakah kamu nagih hutang ke saya?” Dengan enteng di jawab, “Bukan, saya hanya bilang sedang butuh uang”.
Sama saja woy…
sumber: seword