COVID-19: CERITA KAUM MILENIAL AUSTRALIA YABG ‘INGIN SEKALI’ DIVAKSIN

Apa barang yang sedang ‘hot’ dan sangat dicari anak-anak muda di Australia saat ini? Bukan sepatu Yeezy atau iPhone – tapi vaksin covid, kalau bisa yang buatan Pfizer.

Tapi bagi kebanyakan kaum milenial, vaksin itu masih mustahil didapat sekarang dan ini yang bikin cemas, karena menyangkut masa depan mereka.

Australia sudah empat bulan menggelar program vaksinasi, namun sebagian besar warga berusia di bawah 40 tahun masih belum bisa menerimanya.

Pemerintah negeri kanguru itu masih memprioritaskan vaksinasi untuk kaum usia lanjut maupun yang rentan.

Prosesnya pun tidak mulus, terhalang oleh masalah persediaan, pengiriman yang tidak tepat waktu dan juga kekhawatiran akan vaksin AstraZeneca.

Awal pekan ini di Sydney, BBC memantau antrean panjang di luar pusat vaksinasi yang tampaknya diikuti banyak kalangan milenial, berusia antara 25 hingga 40 tahun.

Sebagian dari kelompok usia itu bisa dapat vaksin karena mereka masuk daftar “petugas garis depan.” Mereka mendapat keistimewaan untuk lebih dulu divaksin.

Julia Bald, seorang penulis musik berusia 28 tahun, melangkah keluar dari klinik dengan rasa senang setelah disuntik.

“Saya pikir semua orang lagi mati-matian untuk mendapatkannya,” kata dia kepada BBC, dengan merujuk kepada teman-temannya.

“Kamu tahu nggak meme yang klasik itu?” ujarnya merujuk pada kutipan dari komedian Eric Andre saat berupaya menerobos pagar. “Semua orang seperti: Biarkan aku masuk! Biarkan aku masuk dong! Saya kepingin dapat sekarang!”

Kebalikan dari rasa puas diri

Bagi banyak kaum milenial, vaksin dianggap pelindung bagi orang tua mereka, memungkinkan mereka untuk jalan-jalan dan langkah menuju normal baru.

Antusiasme banyak orang muda Australia ternyata sangat berkebalikan dengan generasi orang tua mereka – justru banyak yang masih ragu-ragu untuk divaksin dan ini masalah besar, kata para pakar.

Sejak Mei, warga berusia 50 tahun ke atas diperbolehkan terima vaksin dengan AstraZeneca. Namun, banyak yang enggan setelah dengar kabar soal risiko besar akan kasus pembekuan darah setelah menerima vaksin itu.

Keraguan ini yang menyebabkan banyak warga lanjut usia Australia membatalkan jadwal vaksinasi mereka atau menolak disuntik begitu tahu bahwa itulah satu-satunya vaksin yang tersedia di klinik.

Kini, alternatifnya hanya Pfizer, yang sayangnya tidak banyak persediaannya.

Mengingat infeksi covid tergolong sangat rendah di Australia, pemerintah meminta agar kaum muda bersabar hingga persediaan Pfizer atau vaksin jenis mRNA lainnya tercukupi.

Australia menganjurkan vaksin Pfizer untuk warga berusia di bawah 50 tahun.

Sarah Martin, 36 tahun, mulai melancarkan petisi agar kaum muda mendapat akses yang sama setelah dia mendapat vaksin di suatu klinik yang nyaris kosong beberapa pekan lalu.

“Tidak ada antrean saat itu di pusat vaksinasi massal, jadi saya memohon untuk mendapatkannya dan saya beruntung,” ujarnya. Petisi itu memuat slogan “Tidak perlu menyerobot kalau memang tidak ada antrean!” dan telah mendapat hampir 4.000 dukungan.

Bukan ‘prioritas’

Lonjakan kasus yang sudah cukup mengancam di Melbourne membuat banyak kaum muda – tanpa ada pilihan untuk divaksin – merasa rentan dan kecewa.

Munculnya kluster penularan membuat kota terbesar kedua di Australia itu, bersama negara bagian Victoria, menerapkan karantina wilayah atau lockdown. Sudah empat kali karantina wilayah diterapkan sejak pandemi tahun lalu.

Hingga kini baru 2% rakyat Australia yang divaksin. Banyak warga yang kesal karena lagi-lagi harus terkurung di rumah saat vaksin sudah tersedia di penjuru dunia dalam tujuh bulan terakhir.

Perasaan itu begitu kuat mendera kalangan milenial, yang rutin membaca di media sosial bahwa teman-teman mereka di Inggris dan AS sudah kembali beraktivitas setelah divaksin.

Aashna Pillai, 29 tahun, merasa bahwa generasinya yang dapat nomor urut paling belakang untuk divaksinasi kian menebalkan perasaan bahwa mereka dibiarkan tanpa dukungan.

Dia telah melakukan empat pekerjaan yang berbeda dalam setahun terakhir untuk menyambung hidup.

“Generasi kami dilihatnya seperti, ‘Oh, masih muda ini, pasti sembuh dari Covid, pasti baik-baik saja’, jadi kami tidak masuk dalam daftar prioritas,” ujarnya.

Namun, bagi Pillai, dengan lagi-lagi diterapkannya lockdown – ketimbang vaksinasi sebagai jalan keluar mengatasi pandemi – sama saja menghambat kaum muda.

Banyak kaum muda Australia yang merasa kehilangan waktu setahun karena lockdown dan pembatasan lainnya.

Padahal, menurutnya, kebijakan yang diambil saat ini sangat menentukan bagi kehidupan beberapa puluh tahun mendatang. Segala peluang bisa jadi hilang – baik itu impian pindah ke luar negeri atau merasa percaya diri untuk memulai karier baru.

“Untuk hal ini, saya jadi bertanya-tanya, apakah saya memilih untuk berkeluarga atau kembali ke universitas? Saya sudah melewatkan satu tahun penuh dan penundaan vaksin ini menyebabkan kemunduran baru.”

Ungkapan Pillai ini juga serupa dengan sejumlah pakar yang menyerukan agar vaksinasi kini harus terbuka bagi segala usia, mengingat rendahnya minat warga yang lebih tua untuk divaksin. Bila dosisnya cukup, kenapa kaum muda masih harus menunggu, tanya mereka.

Kurangnya kejelasan

Yang membuat kaum muda Australia makin resah adalah kurangnya transparansi seputar program vaksinasi covid.

Para milenial tidak tahu kapan program vaksinasi dibuka untuk untuk mereka, atau berapa banyak dosis Pfizer yang sudah tersedia.

Di tahap ini, pemerintah Australia baru bisa menjanjikan bahwa semua warga dewasa setidaknya sudah menerima dosis pertama vaksin di akhir tahun ini.

Tidak sampai 20 persen rakyat Australia yang sudah menerima dosis pertama saat ini, bandingkan dengan di AS yang sudah 67% dan 75% yang di Inggris.

“Saya terkejut akan kurangnya informasi,” kata Bald. “Tampaknya lebih sering terdengar omongan dari mulut ke mulut ketimbang pemberitahuan resmi dari pemerintah.”

Kaum milenial merasa mereka dibiarkan mencari informasi lewat “kabar burung” ketimbang dari sumber resmi. Dan ini sifatnya untung-untungan.

BBC telah mengonfirmasi beberapa contoh di mana lokasi-lokasi vaksinasi memberi suntikan kepada siapa saja yang datang karena sayang banyak dosis akan kedaluwarsa bila tidak dipakai.

Situasi seperti ini dialami oleh milenial yang bisa divaksin walau tidak masuk daftar karena kebetulan sedang mengantar orang tua mereka atau warga yang masuk daftar di lokasi vaksinasi.

Tarun, 31 tahun, kepada BBC mengaku tidak tahu kalau tidak masuk daftar penerima. Tapi saat dia datang ke klinik vaksinasi, perawat di sana tetap memberinya vaksin.

“Saya pikir wajar saat petugasnya bilang, ‘Karena kamu sudah di sini, kamu bisa disuntik.’ Karena pada akhirnya itu tujuan mereka bukan?” ujarnya.

“Kita ingin semuanya dapat vaksin dan bila ada yang tidak datang, dan ada yang menggantikan, kita pasti akan membolehkan.”

Namun aturan-aturan yang tidak jelas itu malah meresahkan banyak warga. Ada yang khawatir tidak dapat vaksin – terutama saat muncul kabar mereka yang sudah divaksin bakal diperbolehkan jalan-jalan.

“Saya kepingin sekali dapat vaksin,” kata Pillai.

“Saya sudah berada di titik menentukan dalam hidup di mana saya benar-benar dipaksa untuk berdiam diri di rumah karena tidak divaksin.

“Dan kalau pemerintah bilang, saya akhirnya bisa dapat vaksin dalam setahun – itu akan menjadi satu tahun lagi di mana saya tidak bisa maju-maju, di mana saya mengejar ketinggalan.”
sumber: bbc

This entry was posted in Berita, Informasi Kesehatan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *