akhmad reza – “The problem with the world is that the intelligent people are full of doubts, while the stupid ones are full of confidence” –Charles Bukowski
Ada yang menarik dengan surat wasiat yang ditulis terduga teroris Zakiah Aini (25) yang menyerang Mabes Polri pada Rabu (31/3) lalu. Dalam surat wasiat tersebut tertulis,“Insya Allah amalan Zakiah akan membantu memberi syafaat kepada keluarga di akhirat.” Bayangkan, pelaku kekerasan, teror, meski tidak menimbulkan korban selain dirinya sendiri begitu yakin, bahkan sepenuhnya yakin dengan perbuatan yang dilakukannya tersebut. Seakan-akan perbuatan bodoh dan konyol yang ia lakukan akan mendapatkan ganjaran surga seperti yang diyakininya.
Maka kemudian kutipan kata-kata dari Charles Bukowski seperti penulis kutipkan di awal paragraf ini menjadi relevan. Masalah di dunia ini adalah orang-orang waras atau pintar penuh keraguan, sementara orang-orang bodoh sangat percaya diri dan yakin. Sejatinya, terorisme ada dalam setiap sejarah agama, ideologi dan kepercayaan apapun. Namun, jika kita melihat sejarah Islam, apa yang diyakini Zakiah sesungguhnya juga diyakini orang-orang seperti Abdurrahman bin Muljam.
Dengan keyakinan yang penuh, Abdurrahman bin Muljam menghunuskan pedangnya dan membacok Imam Ali bin Abi Thalib, KhulafaurRasyidin ke-4 pada saat itu sedang melaksanakan ibadah sholat subuh. Abdurrahman bin Muljam membacok kepala Imam Ali, sehingga beliau terluka parah dan beberapa hari kemudian wafat.
Abdurrahman bin Muljam sendiri berasal dari kelompok Khawarij. Kelompok sempalan yang gemar mengkafirkan dan menuduh sesat kepada saudaranya sendiri jika tidak sepaham. Khawarij zaman now menjelma dalam bentuk dan nama yang lain. Seperti pepatah “anggur yang sama dalam cawan yang berbeda.” Mereka adalah wahhabi ekstrem seperti ISIS, Al-Qaeda, Jama’ah Islamiyah dan lainnya.
Aksi-aksi terorisme tidak berdiri sendiri. Jika Donny Gahral Adian dalam artikelnya “Bahaya Laten Intoleransi” menyebut jarak antara intoleransi dan terorisme hanya setarikan napas (Kompas, 2 Juni 2018), maka terorisme bisa dikatakan anak kandung intoleransi. Terorisme tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir, hidup dan berkembang biak dalam rahim intoleransi.
Pertumbuhan media sosial yang begitu cepat, menjadikan virus intoleransi menyebar ke semua lini tanpa kecuali. Penyemaian dan persebaran bibit intoleransi dan paham radikal mendapat panggungnya lewat komunikasi jejaring seperti Whatsapp dan Telegram.
Ketergagapan menyaring informasi akibat information cascade dan budaya “What You See Is What You Get (dibaca wizziwig) WYSIWYG” telah memberi petunjuk bahwa mayoritas pengguna gadget tidak didukung nalar kritis dan pasokan informasi yang benar (28 januari 2017, tribunnews.com). Nah, dengan fenomena mutakhir seperti ini, maka tak aneh, penyebaran berita hoax, informasi sesat dicerna bulat-bulat tanpa proses penyaringan.
Begitu pula dengan ideologi radikalisme yang merupakan benih dari terorisme. Mereka masuk ke rumah-rumah, kamar anak kita hingga bangku sekolahan. Survey terakhir mengejutkan. Dilansir dari republika.co.id Sebanyak 39 persen mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia yang menjadi responden survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terindikasi tertarik pada paham radikal.
“Untuk itu perlu dilakukan antisipasi sejak dini agar tidak berlanjut pada terorisme,” kata Kepala Sub Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Andi Intang Dulung, di Padang, Rabu (26/7). “Hasil ini menguatkan dugaan bahwa generasi muda adalah target penyebaran radikalisme dan kampus rentan menjadi tempat penyebarannya,” ujarnya.
Menjadikan media sosial sebagai wadah penyuburan terorisme dikonfirmasi oleh pengamat terorisme, Ridlwan Habib. “Tidak semua teroris bekerja di lapangan, menyerang gereja, menyerang markas polisi,” kata Ridlwan Habib. “Ada juga sub-departemen dari jaringan teroris yang menyerang di media sosial, memainkan opini, memainkan isu sehingga masyarakat terbelah.”
Ridlwan menjelaskan bahwa memecah belah rakyat adalah salah satu tujuan teroris. Setelah itu, mereka akan melakukan serangan menggunakan pasukan bersenjata. Dia menjadikan Marawi sebagai contoh.
Dus, gerakan terorisme tidak terbatas pada aktor-aktor yang berada di lapangan. Mereka tidak saja aktif menebar teror, seperti bom bunuh diri, penyerangan pos polisi atau penyerangan terhadap tempat ibadah agama lainnya. Lebih dari itu, yang tak kalah berbahayanya adalah sel-sel teroris yang berada di dunia maya. Merekalah yang aktif menyebarkan berita serta informasi hoax. Merekalah yang sekarang sedang melakukan denial, atau penyanggahan. Menyebut bom di Gereja Katedral Makassar dan aksi di Mabes Polri sebagai pengalihan isu belaka.
Disadari atau tidak, maraknya fenomena intoleransi hingga terorisme adalah gejala pembajakan agama. Mereka selalu menisbahkan aksi yang mereka lakukan sebagai sebuah panggilan suci. Padahal, apa yang mereka pertontonkan bertolak belakang secara diametral dengan pesan otentik agama, yang mengajarkan kedamaian, cinta kasih dan toleransi. Masalahnya, siapapun bisa membajak agama demi keuntungannya sendiri atau seperti kata Shakespeare, “bahkan setan pun bisa mengutip kitab suci untuk kepentingannya.”
sumber: seword