‘SAYA HAMPIR JADI TERORIS’: KISAH PEREMPUAN YANG ‘DICUCI OTAK’ AGAR BERGABUNG KELOMPOK ISLAM EKSTREM

Yunita menuliskan pengalamannya di laman Facebook yang diberi judul ‘Saya hampir jadi teroris’ tidak lama setelah serangan bom bunuh diri di tiga gereja dan kantor polisi di Surabaya yang melibatkan sejumlah perempuan yang membawa anak-anaknya.

“Anak-anak muda mesti lebih waspada. Mereka mengincar anak-anak muda. Penampilan mereka biasa saja, tidak mencurigakan,” ungkap Yunita dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Kamis (17/05).

Pada kalimat pertama kesaksiannya, Yunita mengaku memberanikan diri untuk mengungkapkan pengalamannya sebagai bentuk kepedulian.

“Karena saya peduli, jadi saya mau berbagi cerita 12 tahun yang lalu,” Yunita mengawali kesaksiannya.

Dengan alasan yang sama, sejumlah pengguna media sosial lainnya dalam waktu hampir bersamaan juga membuat kesaksian yang relatif sama – pernah dibujuk oleh orang-orang yang menawarkan ideologi kekerasan atas nama Islam.

Sebelumnya, seorang pria bernama Ahmad Faiz Zainuddin, kelahiran 1977, mengaku berhasil menolak bujukan untuk bergabung kelompok Islam radikal.
‘Perempuan itu enggak pakai jilbab’

Pada 2006, saat sibuk menyelesaikan tugas skripsi di sebuah perguruan tinggi di Bandung dan dalam perjalanan ke kampus, Yunita dihampiri seorang perempuan yang mengaku lulusan SMA dan meminta tolong dicarikan pondokan atau indekos.

Kebetulan tempat indekosnya ada kamar kosong, Yunita lantas mengajak perempuan itu ke pondokannya. “Dia enggak pakai jilbab dan awalnya penampilannya tidak mencurigakan,” ungkapnya.

Tiba di lokasi pondokan, perempuan itu menolak bertemu pemilik pondokan dan justru minta minum dan duduk di dalam kamar Yunita. Di sinilah Yunita mulai berpikir “agak aneh” melihat perangai tamunya.

“Suka baca alquran ya?” Sang tamu bertanya pada Yunita saat melihat Alquran dalam kondisi terbuka di meja belajarnya. Yunita mengiyakan dan mengaku “sedang belajar tafsir Alquran”.

Tidak lama kemudian, perempuan itu meneruskan pertanyaannya: “Boleh enggak saya ajak teman saya ke sini, kita belajar bareng tentang tafsir Alquran?” Yunita, yang masih penasaran, mengiyakan.

‘Sangat sopan sekali’

Sesuai janji, perempuan itu mengajak rekannya seorang perempuan berjilbab – yang usianya sekitar 22-23 tahun – ke kamar kos Yunita.

“Ngomongnya tertata banget, duduknya pun sangat sopan sekali,” ungkap Yunita menggambarkan sosok tamunya itu.
wajah dan buku

Di hadapannya, perempuan berjilbab itu meminta Yunita membuka Alquran dan diminta membacakan sejumlah ayat. Menurutnya, sang tamu tidak memberi kesempatannya untuk bertanya.

“Pokoknya, kalau disimpulkan, harus jihad segala macam… Intinya kalau ada orang kafir, bunuhlah. Seolah-olah menyuruh saya seperti itu,” papar Yunita.

Dia mengaku kaget dan seperti kehilangan kata-kata saat menyimak ucapan sang tamu tersebut. “Masak sih kayak gitu… Dalam batin, saya tetap ada penolakan. Masak sih kayak gitu.”

‘Ibu saya kaget, dan menduga saya akan dibaiat Negara Islam Indonesia (NII)’

Pijar Anugerah, wartawan BBC News Indonesia

Ketika saya di kelas tiga SMA, sekitar tahun 2008, saya dekat dengan seorang alumni yang menjadi pembina di kegiatan ekstrakulikuler (ekskul) Kelompok Ilmiah Remaja. Kakak kelas ini telah menjadi mahasiswa di sebuah universitas terkemuka di Bandung.

Di luar kegiatan ekskul, ia menawarkan saya dan beberapa kawan sekelas untuk bimbingan belajar gratis menjelang Ujian Nasional (UN). Saya pun menyanggupi. Kami pun beberapa kali mengadakan sesi belajar di masjid dekat sekolah setelah salat zuhur.

Pada suatu hari, kebetulan hanya saya yang hadir, ia mengajak saya untuk belajar di tempat lain. Dengan membonceng motornya, saya dibawa ke sebuah rumah di daerah yang cukup jauh dari sekolah. Di rumah itu saya diperkenalkan dengan seorang laki-laki berkacamata, yang tidak terkesan bisa mengajari saya materi UN.

Dan memang, saya menyadari tak lama kemudian, bahwa saya tidak diajak ke sana untuk bimbingan belajar. Laki-laki berkacamata itu mengajak saya ‘kajian’ tentang Islam.

Ia berusaha menggoyahkan anggapan tentang Islam yang saya pegang selama ini. Caranya, dengan mengajukan rangkaian pertanyaan untuk mengarahkan saya ke kesimpulan yang ia inginkan.

Misalnya, ia bertanya: “Kamu Muslim bukan?” Saya pun menjawab iya. Kemudian ia bertanya lagi, “Apa buktinya kalau kamu Muslim?”

Untuk menjadi seorang Muslim, katanya, seseorang harus mengucapkan dua kalimat syahadat; dan karena saya dilahirkan di keluarga Muslim dan dibesarkan sebagai Muslim, saya tak pernah mengucapkan syahadat dengan disaksikan orang lain seperti orang-orang non-Muslim yang hendak pindah agama.

Saya pun ditawari untuk mengucapkan syahadat dengan disaksikan oleh mereka. Saya pun ragu, dan berkata ingin memikirkannya terlebih dahulu. Si laki-laki berkacamata dan si kakak kelas terus membujuk saya. Tapi akhirnya mereka menyerah. Saya diantar pulang tanpa sempat belajar apapun tentang materi UN.

Di rumah, saya menceritakan pengalaman tersebut ke Ibu saya. Ibu pun kaget, dan langsung menyuruh saya untuk menjauh dari orang-orang itu. Ibu menduga saya hampir dibaiat untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII), kelompok yang merupakan cikal bakal Jamaah Islamiyah.

Terduga teroris yang menyerang Mapolda Riau pada hari Rabu (16/05) disebut adalah anggota NII.

Kebetulan, Ibu biasa mendengarkan ceramah Ustad Aam Amirudin di radio OZ setiap pagi. Dari beliaulah Ibu mengetahui tentang cara perekrutan NII, yang disebutnya sebagai kelompok yang eksklusif dan membolehkan anggotanya untuk melakukan kejahatan selama demi kepentingan kelompok.

Setelah itu, saya sempat ditelepon dan diajak kembali untuk ikut ‘kajian’ dua-tiga kali. Saya terus menolak, dan kemudian mereka berhenti menghubungi saya.

Saya pun lulus UN dan, uniknya, masuk universitas yang sama dengan kakak kelas yang pertama kali mengajak saya ikut ‘kajian’ itu. Kami bahkan melakukan penelitian di laboratorium yang sama. Hubungan kami tetap baik, meskipun tidak begitu dekat, dan ia tak pernah menyinggung lagi soal kajian selama kami di kampus.

Namun dua tahun kemudian, saya mengetahui kalau ia ternyata mencoba merekrut beberapa adik angkatan saya. Kali ini modusnya adalah bimbingan tes TOEFL dan lokakarya teknik penginderaan jauh atau GIS. Saya pun segera memperingatkan adik-adik angkatan.

Tapi sikap mereka tampaknya lebih santai. Mereka memanfaatkan kesempatan untuk les gratis, tanpa bergabung dengan kelompok manapun.

Pertemuan yang berlangsung tidak sampai satu jam itu akhirnya berakhir, “tanpa ada basa-basi,” ujar Yunita mencoba mengingat lagi kejadian itu.

Merasa penasaran, Yunita tidak menolak saat ditanya apakah dirinya tidak keberatan untuk melanjutkan belajar tafsir Alquran di tempat kos sang tamu tersebut.

‘Pintu dan jendela ditutup rapat’

Keesokan harinya, Yunita dijemput untuk melanjutkan belajar tafsir Alquran di tempat pondokan perempuan yang memberikan materi “jihad” kepadanya.

Yunita mencoba mengingat lagi lokasi pondokannya yang disebutnya “agak masuk ke dalam dan jauh dari keramaian”.

“Nah, saya yang kaget itu kamarnya sama-sekali tidak ada barang. Jadi cuma ada lemari berukuran sedang dan tikar,” ungkap Yunita.

Dia kemudian duduk di ruangan itu, dan sambungnya, pintu serta jendelanya ditutup rapat oleh salah-seorang perempuan itu.
“Gordinnya juga ditutup.”

Dalam momen inilah, Yunita mengaku mulai takut (“saya takutnya diculik,” akunya, mengenang). “Tapi karena masih penasaran, saya coba ikuti.”

Di ruangan berukuran tiga kali tiga meter itulah, perempuan berjilbab itu kemudian mengeluarkan papan tulis yang semula disimpan di balik lemari.

“Tidak ada Alquran di ruangan itu,” ungkap Yunita.

Kemudian perempuan itu menggambar mobil, dengan sejumlah penumpang di dalamnya, yang kemudian jatuh ke jurang. “Dia sistematis sekali menjelaskannya.”

“Kalau pengemudinya salah mengendarai mobilnya dan masuk ke jurang, maka semua penumpangnya ikut mati jatuh ke dalam jurang.”

Yunita melanjutkan: “Dia menggambarkan sebuah negara kalau pemimpinnya salah, pemimpinnya enggak sesuai dengan (tafsirnya atas) apa yang ada di Alquran itu, yang kemarin dia bicarakan itu, kita akan salah jalan juga.”

Di hadapan Yunita, perempuan itu juga menggambar buah apel dalam kulkas. Dia menggambar satu buah apel busuk dan beberapa buah apel yang segar.

“Apel-apel lain yang bersih, ikutan busuk juga karena ada satu apel busuk. Intinya, apel busuk harus disingkirkan.”

Dalam laman Facebooknya, Yunita menjelaskan bahwa simbol apel busuk itu berarti “itulah jika masih berteman dengan orang kafir dan tidak sepaham dengan kita”, seperti diutarakan sang perempuan tersebut di hadapannya.

Ada beberapa materi lainnya yang disampaikan, tetapi Yunita mengaku lupa.
Dimintai sumbangan Rp400 ribu

Lebih lanjut Yunita mengungkapkan bahwa sang perempuan itu kemudian menjelaskan bahwa untuk misi mendirikan “negara baru untuk Allah” diperlukan dana.

“Intinya sodaqoh (atau sumbangan), dan sodaqoh awalnya sebesar Rp 400 ribu,” kata Yunita menirukan ucapan perempuan tersebut. Uang itu diminta diserahkan esok harinya.

Yunita mengaku saat hendak menanyakan kenapa sumbangannya sebesar Rp400 ribu, perempuan itu berkata: “Karena dengan pengorbananmu, maka Allah akan tahu sampai mana pengorbananmu untuk Nya.”

Belum sempat bertanya, perempuan itu membombadirnya dengan kalimat: “Saya tahu kamu masih mahasiswa, jadi belum tahu cari uang sebesar itu.”

Perempuan itu kemudian menceritakan pengalamannya: “Saya di awal pun menjual telepon genggam saya untuk sodaqoh Rp400 ribu.”

Dalam Facebooknya, Yunita menulis bahwa dirinya dibolehkan berbohong kepada orang tuanya. “Bahkan ketika kamu berbohong meminta uang ke orang tua atau menjual telepon genggammu adalah sebuah pengorbanan untuk Allah…”
Merasa dicuci otak

Mendengarkan apa yang diutarakan perempuan itu, Yunita mulai melihat ada keanehan. “Masak saya diminta berbohong. Bukankah berbohong itu berdosa?” Tapi Yunita mengaku tidak ingin terlihat seperti menolak ajakan itu.

Di akhir pertemuan, Yunita diminta tidak menceritakan hasil pertemuan itu kepada siapapun.
salat

“Jujur saja, saya cukup merasa dibrainwash (dicuci otak) untuk mengikuti perkataannya, sampai saya enggak berani ngomong ke teman terdekat,” katanya. Kebetulan sebagian besar teman-temannya di kampus adalah non Muslim.

Selain diminta menyumbangkan uang Rp400 ribu, Yunita diminta mengenakan jilbab putih, kemeja putih serta celana bahan hitam pada esok harinya.

“Saya diajak janjian naik kereta api ke Cimahi, sambil bawa uang Rp400 ribu, dan mengenakan jilbab,” ungkapnya.

Mendapat pencerahan: ‘Modus NII’

Mendengarkan suara hatinya, Yunita kemudian memutuskan mencari orang yang dianggapnya memahami masalah keislaman. Hal ini kemudian mengantarnya ke yayasan Darut Tauhid di kawasan Geger Kalong, Bandung.

Di masjid yayasan itu, Yunita mengaku menemui dan berkenalan dua mahasiswi berhijab panjang. “Singkat cerita, mereka adalah penyelamat saya,” ungkapnya.

Dia kemudian menceritakan pengalamannya tersebut. “Mereka yang bercerita bahwa modus seperti itu dilakukan oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII).”

Mereka kemudian menasihati agar Yunita tidak mengikuti lagi pertemuan dengan orang-orang tersebut.

“NII berusaha mencuci otak anak-anak muda, banyak di antara mereka yang hilang, meninggalkan keluarga demi membangun NII, menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang,” ungkapnya menirukan keterangan dua mahasiswa tersebut.

‘Karena saya peduli’

Yunita mengaku saat itu langsung percaya dengan keterangan mereka. “Saya langsung sadar.” Yunita kemudian memutuskan untuk tidak memenuhi perjanjian pertemuan di Cimahi.

Suatu saat, dia berpapasan dengan peremuan yang mengaku lulusan SMA yang meminta tolong dicarikan pondokan tersebut. “Dia berjilbab dan pura-pura tidak melihat saya.”

Yunita mengaku selalu teringat kembali peristiwa itu setiap muncul kasus-kasus kekerasan atas nama agama, termasuk serangan bom bunuh diri di Surabaya.

Dia kemudian menjelaskan motifnya berbagi pengalaman tersebut di media sosial. “Karena saya peduli, jadi saya mau berbagi cerita 12 tahun yang lalu,” tegasnya.

Dia juga mengharapkan pengalamannya ini bisa diketahui anak-anak muda sehingga “lebih waspada” dan “berhati-hati”.

“Mereka mengincar anak-anak muda yang sedang cari jati diri. Saya harap mereka lebih waspada.”
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *