DI BALIK KERAMAH-TAMAHAN MALAYSIA, SALAH SATU NEGARA PALING TOLERAN DI ASIA

Sebagai penduduk baru Kuala Lumpur, kata Malaysia pertama yang saya pelajari adalah “lah “.

Setiap kali saya menggunakannya dalam percakapan, baik penduduk lokal maupun ekspatriat berseru kegirangan, “Anda telah menjadi orang Malaysia secepat ini!”

Untuk itu, suara singkat dan sederhana yang digunakan sebagai kata imbuhan dalam percakapan sehari-hari merangkum kemudahan dan kehangatan yang direngkuh oleh semua orang di Malaysia dalam tiap lapisan masyarakatnya.

Memang, meskipun diyakini berasal dari bahasa mandarin dialek Kanton atau Hokkien, lah digunakan paling umum dalam apa yang dikenal sebagai Manglish – Bahasa Inggris Malaysia – sebuah patois yang menyenangkan dari bahasa Inggris formal dengan sedikit bahasa Melayu, bahasa nasional negara itu.

Lah ditambahkan ke akhir kalimat untuk melembutkan atau memperkuat pernyataan, untuk menyatakan pendapat yang tegas, untuk menawarkan permintaan maaf yang malu-malu atau untuk menyiratkan bahwa sesuatu telah dikatakan dengan bercanda.

Tapi yang paling penting adalah kata itu merupakan penyeimbang yang hebat, digunakan oleh hampir semua orang, dengan mulus menembus batasan bahasa, ras dan agama di Malaysia.

Saya mendengarnya di pusat perbelanjaan ber-AC dan di pasar makanan segar yang terik, diucapkan oleh tua dan muda.

Dan ketika saya melihat lah di akhir kalimat apa pun – bahkan yang menyampaikan kemarahan, kekecewaan, atau penolakan – saya tahu maksud pembicara dengan baik.

Malaysia adalah salah satu negara paling ramah dan toleran di kawasan Asia Tenggara.

Semua ini untuk mengatakan bahwa saya telah menemukan keramahan Malaysia itu sendiri sama ramahnya dengan kata Manglish ini.

Sementara kelompok etnis mayoritas di negara ini adalah Melayu, juga dikenal sebagai Bumiputera (berarti “pribumi”), hampir 25% dari populasinya adalah Tionghoa, sementara India Malaysia, kebanyakan dari negara bagian Tamil Nadu di India Selatan, berjumlah 8%.

Sementara Malaysia umumnya tetap di bawah radar, dibayangi oleh tetangganya yang mewah – pusat komersial Singapura dan surga turis Thailand – ia adalah salah satu negara paling ramah dan toleran di kawasan Asia Tenggara.

Di negara itu, tiga komunitas etnis utamanya telah hidup dalam harmoni untuk sebagian besar waktu. beberapa dekade.

Belakangan, muncul momok rasisme yang ditujukan kepada pendatang, tetapi kasus-kasus seperti itu relatif masih sedikit dan jarang terjadi.

Yang menyatukan mereka bukan hanya rasa cinta tanah air, tapi semangat muhibbah.

Para pendatang dapat terus-menerus menemukan hal baru yang unik di Kuala Lumpur.

Dalam bahasa Arab, asal dari kata itu, muhibbah (juga muhibah) berarti cinta atau niat baik.

Dr Kamar Oniah Kamaruzaman, ulama dan guru besar ilmu agama, menjelaskan muhibbah di Malaysia adalah tentang kebersamaan, atau “pengertian, kepedulian, empati dan kekeluargaan”.

Ketika Malaysia merdeka dari Inggris pada tahun 1957, para pemimpin memutuskan untuk mengadopsi muhibbah sebagai semangat pemersatu negara baru ini, untuk memastikan tidak ada ketegangan antara berbagai kelompok etnis dan agama.

Misalnya, meskipun negara tersebut secara resmi menjadi negara Islam, setiap orang berhak mengikuti keyakinan agamanya dan juga berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

Bahkan sekarang, saya melihat artikel surat kabar lokal di mana para politisi menyebut kata ini sebagai pengingat untuk melanjutkan hidup berdampingan secara damai.

“Warung mamak kami adalah contoh sempurna dari muhibbah,” kata Salwah Shukor, seorang warga Kuala Lumpur, menjelaskan bagaimana hampir semua orang makan di restoran makanan segar yang dikelola oleh Muslim dari India Selatan, yang menyajikan makanan halal murah untuk memuaskan selera yang beragam.

Keragaman budaya di Kuala Lumpur berdampak pada sajian kuliner yang muncul di kota tersebut.

Ada persahabatan yang terjalin dengan mudah antara pelanggan mamak, meskipun selera makanan mereka adalah hidangan lokal Melayu dengan saus Cina, atau dosa India Selatan yang panas mendesis (disebut thosai di sini) dengan chutney kelapa di sampingnya.

Dibesarkan dengan teman keluarga India dan teman sekelas Tionghoa di sekolah, Shukor menegaskan bahwa tidak mungkin untuk tetap terisolasi dalam komunitas sendiri di Malaysia.

“Tiga komunitas memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, kami telah belajar menggunakannya untuk keuntungan kolektif kami dan kami semua menjadi lebih baik sebagai gabungan dari semua bagian,” katanya.

Memang, Kamaruzaman menegaskan bahwa muhibbah bukan berarti toleransi: “Bertoleransi bukanlah perasaan yang menyenangkan, itu merendahkan. Muhibbah adalah lawan dari toleransi, artinya penerimaan.”

Ia juga mengutip warung mamak sebagai contoh, dengan mengatakan, “Anda dapat menemukan nasi lemak di sana (hidangan nasi goreng Melayu), serta roti canai ( roti pipih dan hidangan kari asal India) dan cendol (hidangan penutup khas Asia Tenggara dengan santan, jelly dan es serut) – tidak ada yang mempertanyakan dari mana makanan ini atau itu berasal, India atau China? Semuanya adalah masakan Melayu sekarang.”

Penulis dan akademisi Dipika Mukherjee, yang tumbuh di Malaysia dan saat ini tinggal di AS, menegaskan bahwa pengalamannya selama ini adalah tentang merangkul berbagai identitasnya.

“Saya bisa memakai celana pendek dan berjalan ke [warung] mamak untuk sarapan, dan kemudian naik bus memakai sari untuk mengunjungi keluarga India saya – bagaimanapun juga, tidak ada yang akan melihat saya dengan aneh seperti saya sedang mengenakan kostum.

“Di sini, di AS, setiap orang harus dihomogenkan menjadi satu identitas kulit putih, mengenakan dan makan seperti yang dilakukan orang lain, tetapi tidak demikian di Malaysia.”

Meskipun Malaysia secara resmi adalah negara Islam, setiap orang memiliki hak untuk mengikuti keyakinan agamanya

Muhibbah Malaysia juga berarti bahwa kalender festival negara itu ada sepanjang tahun, dimulai dengan perayaan Tahun Baru Imlek tepat di awal tahun; Hari Raya atau Ramadhan di tengah-tengah; dan Deepavali (nama lain untuk Diwali, festival cahaya) di bulan-bulan berikutnya.

Dan yang mengejutkan saya, masih ada ruang untuk Natal dengan jalan-jalan utama dan pusat perbelanjaan yang dihiasi dengan dekorasi gemerlap dan bahkan salju palsu.

Manifestasi lain dari multikulturalisme ini adalah “open house” yang dipertahankan warga Malaysia selama festival, di mana makanan dan minuman (non-alkohol, jika Anda di rumah warga Muslim) disajikan setiap malam untuk menyambut teman, kerabat, dan bahkan orang asing.

“Dulu hanya orang Melayu yang merayakan Hari Raya dengan open house, tetapi banyak orang India sekarang melakukannya di Deepavali, dan kadang-kadang bahkan orang Tionghoa untuk tahun baru mereka,” kata Shukor.

Tidak mengherankan, jalanan dipenuhi dengan bahasa resmi Melayu serta Mandarin, Hokkien, Kanton dan Hainan, dan Tamil, Hindi, Gujarati dan Punjabi, di antara bahasa-bahasa India lainnya.

Faktanya, teman-teman Malaysia saya sangat bangga dengan konsep unik yang disebut Bahasa Rojak, yang berarti campuran bahasa (mengambil dari nama rujak, salad buah lokal dengan tekstur dan rasa yang sering kali kontras),sering kali menggunakan frasa Melayu atau “Aiyyo!” dalam bahasa Tamil di tengah percakapan bahasa Inggris.

Bahasa Rojak muncul pada awal abad ke-15, seperti halnya konsep muhibbah itu sendiri.

Mukherjee menjelaskan bahwa Malaka (dan kota pelabuhan lain seperti Kedah) merupakan pusat perdagangan penting di jalur rempah-rempah, dan demi perdagangan, pemerintah daerah selalu menerima bahasa dan budaya baru.

“Secara tradisional, jalur migrasi tidak pernah diawasi dengan cara yang sama seperti kota-kota besar, dan di Malaka juga, masyarakat mudah berbaur, misalnya, melalui transaksi bisnis dan bahkan pernikahan,” katanya.

Bahasa percakapan pidgin yang diadopsi oleh pedagang untuk berkomunikasi satu sama lain tetap hidup sebagai peralihan kode yang mudah di antara orang Malaysia.

Tambahkan ke perkawinan antar komunitas ini, dan DNA multikultural kontemporer Malaysia telah dibuat.

Malaka, yang pernah menjadi pusat perdagangan penting di jalur rempah-rempah, memiliki sejarah merangkul bahasa dan budaya baru

Bersamaan dengan sikap penerimaan ini, Malaysia juga menawarkan atraksi ekonomi seperti perumahan dan perawatan kesehatan yang terjangkau, menjadikannya salah satu tujuan pensiun pilihan utama di seluruh dunia, sehingga semakin memperdalam multikulturalisme negara tersebut.

Tentu saja, tidak ada tempat yang sempurna sepanjang waktu. Apa yang dimulai pada 1980-an sebagai tindakan afirmatif untuk Bumiputera sekarang menjadi situasi yang sulit, dengan ideologi sayap kanan supremasi Melayu (dikenal sebagai Ketuanan Melayu ) sesekali muncul.

Namun, itu sebagian besar tetap merupakan sikap bermotif politik untuk memenangkan kepercayaan mayoritas komunitas Melayu.

Apa yang telah saya lihat sejak saya pindah ke sini adalah penerimaan terhadap kelemahan atau keunikan orang lain dengan senyum manis dan geleng kepala yang memanjakan.

Shukor mengatakan kepada saya, dengan bertele-tele, “Teman sekelas Tionghoa saya memaksa saya untuk menjadi kompetitif, karena mereka selalu bertujuan untuk menjadi yang teratas; dan pada saat yang sama, dari teman-teman Tamil saya, saya belajar untuk rileks dan bersantai.”

Dan untuk mencerminkan sikap santai orang Malaysia, Bahasa Melayu berpadu dengan kata-kata dalam bahasa Inggris yang disederhanakan menjadi bentuk fonetik paling dasar – minit untuk menit, biskut untuk biskuit, mesej untuk pesan, motosikal untuk sepeda motor, dan sebagainya.

Lagi pula, mengapa memperumit hal-hal ketika pilihan yang lebih mudah tersedia? Di Malaysia, muhibbah adalah bahan yang menyatukan komponen individu menjadi komposit yang menarik dan ramah.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *