PASANGAN BEDA AGAMA CEMAS SETELAH MUNCUL PERATURAN BARUDI INDIA – ‘MEREKA BILANG CINTA ITU BUTA, TAPI JUSTRU KEBENCIAN YANG BUTA’

Sebuah peraturan kontroversial anti-pindah agama yang baru digulirkan dapat mengkriminalisasi cinta beda agama di India. Hal ini telah membuat gelisah pasangan beda agama di negara itu, seperti yang dialami sejoli Hindu-Muslim.

Sekarang, mereka menghadapi pertentangan bukan hanya dari keluarga, tapi juga dari pemerintah di India.

Pintu besi terbuka tipis, hanya cukup bagi seorang perempuan untuk mengintip. Dia tampak sangat ketakutan.

Ayesha dan pasangannya, Santosh (bukan nama sebenarnya) sedang dalam persembunyian. “Orang tua saya datang mencari saya, dan mereka ada di luar sana entah di mana,” kata Ayesha. “Kami takut. Kami lebih baik berada di dalam.”

Pasangan yang sama-sama berusia 29 tahun itu kabur dari rumah mereka di negara bagian barat Gujarat. Sekarang, mereka tinggal di rumah aman – bangunan dua lantai yang mencolok – di Delhi. Selain mereka, ada juga pasangan yang bersembunyi berasal dari negara bagian Uttar Pradesh di utara India.

Pada November 2020, Uttar Pradesh menjadi negara bagian pertama yang meloloskan Peraturan (Ordonansi) atas Larangan Pindah Agama secara Tidak Sah – yang melarang pindah agama dengan paksaan, cara curang, atau pernikahan.

Regulasi ini adalah tanggapan dari kelompok sayap-kanan Hindu, yang disebut sebagai “jihad cinta”, sebuah terminologi Islamophobia yang berlandaskan teori konspirasi tanpa dasar. Mereka menuduh pria Muslim mencari perempuan Hindu agar jatuh cinta, dengan tujuan utama membuat mereka pindah agama menjadi Islam.

Santosh dan Ayesha sudah berpasangan secara sembunyi-sembuyi selama 13 tahun.

Aturan ini menjadi dasar atas banyak kasus dan penangkapan di Uttar Pradesh, negara bagian yang dikuasai oleh Bharatiya Janata Party (BJP), partai nasionalis Hindu di India. Madhya Pradesh, negara bagian lainnya yang dikuasai BJP, juga meloloskan aturan sejenis. Di Gujarat, aturan ini masih dalam pertimbangan.

Jadi, pasangan beda agama sekarang kabur dari negara-negara bagian itu untuk menikah di tempat yang mereka anggap “aman,” seperti di Delhi.

Pernikahan beda agama di India terdaftar di bawah Undang Undang Pernikahan Khusus, yang mewajibkan adanya pemberitahuan selama 30 hari sebelumnya. Tapi pasangan beda agama hidup dalam ketakutan aksi balas dendam berlatar belakang agama. Ditambah lagi, dengan adanya Undang Undang terbaru yang mengincar pernikahan semacam ini.

Itu menjadi kendala baru bagi Ayesha dan Santosh yang sudah menjalin hubungan asmara selama 13 tahun.

Mereka bertemu di kampus di Gujarat pada 2009. Santosh belajar tentang Gujarati, dan Ayesha adalah mahasiswi bidang ekonomi.

“Kami bersama di kelas bahasa Hindi biasa,” kata Ayesha. Mereka kemudian berteman, dan semakin dekat. Dua tahun kemudian, Ayesha akhirnya bertanya pada Santosh apakah mencintai dirinya, dan menanyakan Santosh: kalau benar-benar cinta, kenapa dia tak mau mengakuinya?

Santosh mencintai Ayesha, tapi dia juga tahu bahwa jalan cintanya akan sulit di Gujarat, negara bagian di mana ketegangan komunal semakin dalam.

Mereka termasuk kelas menengah. Ayah Ayesha menjalankan bisnis UMKM lokal, dan Ayesha dulunya seorang guru sekolah. Ayah Santosh adalah juru tulis di sebuah kampus, di mana Santosh bekerja di bagian memasukkan data. Dia juga pekerja lepas sebagai fotografer.

Tapi Ayesha adalah Muslim dan Santosh seorang Dalit (kelompok yang diasingkan), kasta terendah dalam hirarki Hindu.

Keduanya mengenang peristiwa 2002 silam, di mana lebih dari 1.000 orang, kebanyakan Muslim, tewas dalam kerusuhan. Peristiwa ini terjadi setelah sebuah kereta di Gujarat terbakar dan menewaskan 60 peziarah Hindu.

Kelompok Muslim disalahkan atas pembakaran kereta tersebut. Itu merupakan salah satu momentum terburuk terkait dengan kekerasan agama di India.

Ayesha dan Santosh, yang tumbuh dan besar di bawah bayang-bayang konflik agama, sangat menyadari konsekuensi cinta yang dianggap di luar batas.

“Di Gujarat, menjadi pasangan beda agama adalah masalah besar,” kata Santosh. “Kamu tak bisa bertemu, tak bisa ngobrol, kamu tak bisa melakukan apa pun.”

Tapi mereka jalan terus. Santosh mengatakan pada Ayesha bahwa sekalinya dia mulai menjalin hubungan, dia akan mempertahankannya sampai akhir.

Setelah lulus dari kampus pada 2012, mereka jarang sekali bertemu – tapi mereka akan bertemu dengan perencanaan yang matang. Mereka akan bertemu di tempat umum, jadi ini tidak akan mengundang kecurigaan. Dan pertemuan itu dibuat singkat.

“Kami akan bertemu dengan lilitan kain di wajah kami,” kata Santosh.

Sisanya, mereka tetap terus berkomunikasi melalui sambungan telepon.

“Kami sama-sama menyimpan nomor dengan nama palsu, atau dengan menggunakan telepon lainnya,” katanya. Sejak keluarga Ayesha memantau telepon yang masuk, Santosh sering kali menirukan suara perempuan ketika menelepon Ayesha.

Saat orang tua Santosh mengetahui hubungan anaknya itu dengan seorang Muslim, mereka memutuskan untuk segera menikahi Santosh dengan perempuan lain. Mereka memaksanya untuk menikah dengan seorang perempuan pada akhir November lalu.

“Saya sangat tertekan selama berhari-hari. Saya tak bisa berbicara pada Ayesha karena keluarganya juga sudah tahu saat itu,” katanya.

Ayah dan kakak Ayesha juga menekan untuk menikah juga dengan lelaki lain.

Akhirnya, Santosh dan Ayesha berusaha untuk menikah di Gujarat – mereka membubuhi tanda tangan untuk mendaftarkan pernikahan di bawah Undang Undang Perkawinan Khusus. Tapi petugas yang melihat dokumen Ayesha, langsung mengadu ke ayahnya.

Santosh membayar seorang pengacara 25,000 rupees, setara Rp5 juta, untuk mendaftarkan pernikahan mereka, tapi pengacara itu menarik diri.

“Tak ada pejabat yang mau membantu. Tak ada pengacara yang akan menangani kasus kami. Mereka mengatakan ini kasus pernikahan beda agama dan ini berbahaya untuk mereka. Mereka mengatakan pada kami untuk tidak melakukannya,” katanya. “Mungkin, ada kelompok (sayap-kanan) main hakim sendiri di pengadilan.”

Waktu terus bergulir. Pasangan beda agama ini memutuskan untuk lari. “Saya ingin bersama Ayesha. Kami tak punya pilihan lain,” kata Santosh.

22 Januari, mereka tiba di Delhi dengan harapan bisa menikah.

Mereka mengatakan, satu jam perjalanan pesawat menuju Delhi adalah pertama kalinya mereka bisa bersama dengan waktu lama setelah menjalin hubungan 13 tahun.

Saat tiba, mereka mencari kantor Dhanak, kelompok yang mengelola rumah aman. Mereka memberi tahu orang tua masing-masing dan kantor polisi bahwa mereka berada di Delhi. Mereka pindah ke rumah aman pada 29 Januari.

Dhanak memfasilitasi pasangan beda agama. Pendirinya, Asif Iqbal, mengatakan mereka telah menerima banyak telepon dari pasangan yang ingin menikah sejak Undang Undang anti-konversi disahkan di Uttar Pradesh.

“Santosh itu menangis waktu menelpon,” kata Iqbal.

Kebanyakan pasangan kehilangan pekerjaan selama berada dalam pelarian. Santosh dan Ayesha sedang mencari pekerjaan. Mereka khawatir dan takut, tapi mengatakan saling percaya dapat membuat selalu bersama.

“Cinta itu pengorbanan,” kata Ayesha.

Sekarang, mereka punya tempat untuk tinggal dan tetap bersama satu sama lain.

“Mereka bilang cinta itu buta, tapi justru kebencian yang buta,” kata Santosh.

Semua ilustrasi dibuat oleh Gopal Shoonya

sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *