MENGUBAH BATU BARA JADI BAHAN BAKAR MOBIL DAN LPG

Ada suatu pertanyaan yang muncul ketika kami belajar tentang sejarah sebuah negara untuk memenuhi kebutuhan energi mereka, baik kebutuhan energi untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, maupun kebutuhan energi untuk berperang dengan negara lain. Misalnya kalau kita amati, sewaktu terjadi perang dunia pertama dan kedua, negara-negara yang terlibat diketahui banyak yang tidak punya cadangan minyak dan gas yang cukup untuk menyuplai peralatan perang mereka.

Mari kita ambil contoh Jerman. Pada perang dunia pertama mereka terlibat perang dengan Rusia, Perancis dan Inggris. Pada perang dunia kedua Jerman terlibat perang dengan hampir seluruh negara Eropa, sehingga boleh dikatakan Jerman berkonflik dengan negara-negara diperbatasannya. Kalau begitu dari mana Jerman memenuhi suplai bahan bakar untuk peralatan perangnya?

Apakah mungkin BBM diselundupkan ke Jerman dari negara tetangga sehingga mereka mampu menghidupkan mesin-mesin perang mereka. Secara pasti tidak ada yang tahu, tapi dari literatur sejarah yang kami pelajari, Jerman kaya akan cadangan batu bara. Cadangan terbukti batu bara Jerman sekitar 36 milyar ton atau sekitar 3% dari total cadangan dunia. Kalau dibandingkan dengan negara lain maka Jerman ranking ke-7 untuk jumlah cadangan terbukti dibawah Amerika Serikat, Rusia, Australia, China, India dan Indonesia. Cadangan batu bara Jerman ini hampir sama dengan Indonesia.

Dalam perjalanannya, dengan budaya berinovasi dan kerja keras yang dimiliki bangsa Jerman, mereka kemudian mengembangkan teknologi Coal to Liquid (CTL) yang mengubah batu bara menjadi bahan bakar sintetik berupa gasoline untuk pesawat terbang dan kendaraan bermotor, gasoil (solar), lubricant oil dan waxes. Dengan teknologi CTL ini Jerman mampu memenuhi 90% kebutuhan bahan bakar pesawat pesawatnya dan 50% kebutuhan BBM-nya pada tahun 1940-an.

Apa itu teknologi CTL ? Mulai dikembangkan diawal abad 20 (sekitar tahun 1920 an) oleh Franz Fischer and Hans Tropsch sebagai inventornya dengan basis Indirect Coal Liquefaction (ICL) technology. Sehingga proses ini lebih dikenal dengan Fischer-Tropsch systesis (FT). Karena product yang dihasilkan lebih banyak ke solar dan lubricant maka kebutuhan gasoline tidak bisa terpenuhi. Untuk itu penemu lain Friedrich Bergus tertantang untuk menciptakan teknologi CTL lain dengan proses Direct Coal Liquefation (DCL) yang menghasilkan gasoline.

Dengan adanya dua teknologi ini maka berkibarlah Jerman sebagai negara yang mampu memenuhi kebutuhan energi mereka secara mandiri di Eropa. Apakah ini yang menjadi salah satu sebab Jerman ingin menguasai Eropa sehingga masuk ke dalam kancah perang dunia kedua? Patut diduga dengan penguasaan teknologi di bidang energi yang tidak dipunyai oleh negara lain, ditambah dengan sumber daya batu bara yang besar, membuat Jerman merasa bisa mengalahkan negara manapun pada waktu itu.

Jerman telah menunjukkan bahwa kekayaan sumber daya alam yang didukung penguasaan teknologi menjadikan mereka sebagai negara maju dan adidaya. Pertanyaannya, mungkinkah sebuah negara yang maju dengan menjadikan sumber daya alam yang melimpah yang mereka miliki kemudian dikembangkan dengan teknologi sehingga menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk seluruh alam?

Setelah Jerman menguasai teknologi CTL, negara mana lagi yang mencoba mempelajarinya? Apakah mereka berhasil dan kenapa?

Setelah kalah pada perang dunia kedua, pengembangan dan pengoperasion CTL technology yang menghasilkan gasoline, gasoil, lubrican dan waxes bagi Jerman harus dihentikan. Kesepakatan ini tertuang dalam the Postdam Conference pada bulan July – Agustus 1945 yang dihadiri oleh Soviet Union, UK dan US.

Pada tahun 1950 an, teknologi yang mengubah batubara menjadi bahan bakar ini dikembangkan lebih lanjut oleh Sasol, perusahaan pengolah batubara, minyak dan gas dari Afrika Selatan.

Beberapa alasan yang bisa kami pelajari dari pengembangan teknologi CTL ini di Afrika Selatan adalah pertama, tidak tersedia cadangan minyak yang bisa mengamankan kebutuhan energi dalam negeri mereka. Kedua, tersedianya cadangan batubara sekitar 10 milyar ton (ranking ke 12 di dunia). Ketiga, politik apartheid yang dijalankan sejak tahun 1948-1990 membuat negara ini diembargo oleh PBB.

Adanya embargo perdagangan itu membuat Afrika Selatan tidak bisa mendapatkan akses untuk membeli minyak dari negara lain. Untuk keluar dari situasi itu, Sasol, perusahaan energi di negara itu, akhirnya mampu memproduksi bahan bakar sintetik dengan teknologi CTL, walaupun dari segi keekonomian jauh lebih mahal daripada BBM. Sekitar 30% kebutuhan bahan bakar Afrika Selatan mampu dipenuhi oleh Sasol yang didukung penuh oleh kebijakan negara.

Sasol memilih untuk mengembangkan jenis Indirect Coal Liquefaction (ICL). Ada dua step utama yang harus dilalui untuk mendapatkan bahan bakar sintetik dari teknologi ICL. Step pertama, batubara diolah untuk menghasilkan gas carbon monoksida dan hydrogen. Kedua gas ini dinamakan dengan synthetic gas (syngas). Step kedua, syngas diolah menjadi solar, methanol atau DME (subsitusi LPG).

Berbeda dengan ICL, Direct Coal Liquefaction (DCL) hanya memerlukan satu step untuk mengubah batubara menjadi semi-coke sebagai produk utama, coal tar dan gasoline. Tergantung dari jenis hydrocarbon yang menjadi target produksi, proses DCL dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga pendekatan; pyrolysis, carbonization atau hydrogenation. Semi-coke dapat digunakan sebagai reduktor di smelter Nickel.

Dengan segala kontroversi dari politik apartheid, Sasol menjelma menjadi salah perusahaan petrochemical dan energi kelas dunia yang beroperasi di 30 negara. Bisnisnya tidak lagi terbatas pada Coal to Liquid tapi sudah berkembang ke Gas to Liquid (GTL). Salah satu tonggak sejarah bagi Sasol untuk menjadi perusahaan kelas dunia adalah dengan mulai membangun GTL plant di Ras Lafran Qatar pada tahun 2003. Di 2009, Sasol, Petronas, and Uzbekneftegaz memulai joint venture untuk membangun GTL plant di Uzbekistan.

GTL adalah proses refinery yang mengubah natural gas menjadi hydrocarbon cair seperti gasoline dan diesel. Prosesnya tidak jauh berbeda dengan Indirect Coal Liquefaction dengan rantai proses yang lebih pendek. Proyek GTL akan ekonomis apabila harga natural gas jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga crude oil dalam unit yang sama.

Negara negara yang kaya akan natural gas tapi tidak cukup punya produksi crude oil akan sangat terbantu dengan GTL plants ini. Kebutuhan diesel dan gasoline di negara tersebut akan tercukupi dengan adanya GTL plant. Kalau negara yang kaya crude oil dan juga natural gas, biasanya gas akan di proses menjadi LNG untuk di diekspor ke negara lain.

Dengan mencermati pengalaman Sasol yang sudah membangun GTL dan CTL, lalu mana yang lebih efisien dari kedua proses ini.

Kesungguhan dan dukungan pemerintah Afrika Selatan telah menjadikan Sasol sebagai perusahaan terdepan dalam pengembangan teknologi Gas to Liquid (GTL) dan Coal to Liquid (CTL). Selain Afrika Selatan, China sebagai negara dengan cadangan batubara nomor empat di dunia juga ikut mengembangkan teknologi CTL.

Untuk belajar teknologi CTL ini, kami berkesempatan datang ke salah satu CTL plant di China. Dari Shanghai kami harus naik pesawat lagi selama 2 jam menuju kota tujuan. Di kota ini kualitas udara tidak sebaik di Shanghai. Selain banyak PLTU dengan teknologi lama yang beroperasi, adanya CTL plant menghasilkan gas emisi yang cukup besar.

Dari kunjungan itu dan beberapa literatur yang kami pelajari, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar teknologi CTL bisa dikembangkan saat ini. Pertama keekonomian proyek. Studi yang dilakukan oleh Department of Energy Amerika pada tahun 2007 menyimpulkan bahwa CTL akan ekonomis jika harga minyak diatas $55/barrel.

Di tahun 2017 Sasol mengindikasikan tidak akan berinvestasi di CTL apabila harga minyak dibawah $80/barrel. Yang membedakan limit keekonomian antara studi tahun 2007 dan 2017 salah satunya adalah banyaknya persyaratan lingkungan yang harus mereka penuhi, sehingga berdampak pada investasi yang membengkak.

Kedua menyangkut ketersedian air. CTL memerlukan air yang cukup besar. Selain utk memproduksi hydrogen juga digunakan untuk water cooling. Selain itu air yang sudah digunakan juga harus dibangunkan saluran pembuangan yang mungkin panjang sekali.

Ketiga menyangkut emisi karbon dioksida. Di Amerika emisi gas buang ini harus diproses agar memenuhi persyaratan lingkungan misal dengan cara Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) yang biayanya mahal.

Keempat terkait harga batubara yang berfluktuasi yang tidak selalu mengikuti harga minyak (lihat tulisan kami di IG sebelumnya). Bisa jadi saat harga batubara naik, harga minyak malah turun. Ini mempersulit keekonomian proyek CTL.

Bagaimana dengan GTL? Seperti CTL, GTL juga punya tantangan tersendiri agar bisa diimplementasikan menjadi proyek yang menguntungkan. Tantangan yang utama berkaitan dengan harga gas dan harga crude oil. Tergantung dari besarnya plant yang dibangun dan teknologi yang dipilih, harga gas dan harga crude oil akan menentukan keekonomian proyek GTL. Tidak bisa hanya bergantung harga gas.

Ada studi yang mengatakan kalau harga dibawah $4/mmbtu maka proyek GTL akan ekonomis. Sebenarnya ini kurang tepat karena pada saat harga gas misalnya $4/mmbtu dan harga crude oil $40/bbl, kemungkinan besar proyek ini tidak akan ekonomis. Tapi kalau harga gas $4/mmbtu dan harga crude oil diatas $80/bbl maka proyek menjadi ekonomis.

Apa mungkin harga gas tidak mengikuti harga crude oil? Ini mungkin sekali tergantung kontraknya. Pada tahun 2017, Sasol juga mengindikasikan tidak akan berinvestasi di GTL kalau harga crude dibawah $80/bbl walaupun dengan harga gas yang murah sekali di Amerika Serikat (bisa dibawah $3/mmbtu).

Banyak hal yang mempengaruhi batas keekonomian dari proyek GTL ini. Selain harga gas dan crude oil, jenis teknologi dan kapasitas produksi juga mempengaruhi. Jenis teknologi akan menentukan besaran Capital Expenditure (Capex) dan Operating Expenditure (Opex).

Secara umum dapat disimpulkan teknologi CTL akan lebih mahal daripada GTL dan juga lebih banyak menghasilkan emisi gas buang yang merusak lingkungan. Tergantung dari cadangan sumber daya alam yang dipunyai sebuah negara, komitmen untuk memelihara lingkungan, tujuan pengembangan teknologi tersebut dan nilai keekonomian yang akan diraih. Semua itu akan mempengaruhi strategi sebuah negara dalam mengelola sumber daya alam mereka. Mari kita maju lewat teknologi yang ramah lingkungan dan berkolaborasi dengan ciptaan-Nya. Insyaa Allah.

By Arcandra Tahar & fb

This entry was posted in Berita, Informasi Penting. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *