SKB DUA MENTERI SOAL PENDIRIAN RUMAH IBADAH

Kementerian Agama buka peluang ‘revisi’ SKB dua menteri soal pendirian rumah ibadah yang disebut pegiat HAM ‘kerap menjegal kelompok minoritas memperoleh hak beribadah’

Kementerian Agama membuka peluang untuk merevisi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pendirian Rumah Ibadah karena disebut beberapa pihak sebagai “masalah laten” pembangunan gereja di sejumlah berbagai wilayah.

Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) mencatat sepanjang tahun 2015 – 2018, ada 51 gereja yang tidak mengantongi izin pendirian rumah ibadah lantaran tersandung rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan “sikap pejabat daerah yang mbalelo”.

LSM Setara Institute memandang Peraturan Bersama Menteri tahun 2006 tersebut harus dicabut karena “kerap menjegal kelompok minoritas memperoleh hak beribadah”.

Direktur Urusan Agama Kristen Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen di Kementerian Agama, Jannus Pangaribuan, mengatakan pihaknya telah memerintahkan kantor wilayah provinsi di seluruh Indonesia untuk melakukan pendataan terkait “rumah ibadah Kristen yang selama ini terkendala perizinan maupun gangguan lainnya”.

Surat permintaan ini, katanya, dilakukan sebagai bagian dari rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk mengkaji regulasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Untuk mengkaji aturan itu, pihaknya bakal menyerahkan data di lapangan untuk dianalisa apakah peraturan yang lahir di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut masih layak dipertahankan atau tidak.

Jika dianggap tidak lagi relevan dan aspiratif, maka akan “disempurnakan”.

“Kalau kira-kira kita pandang masih relevan ya tentu tak harus merevisi tapi kalau memang kita pandang tidak lagi memenuhi, ya baiknya direvisi,” ujar Jannus Pangaribuan kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (31/01).

“Intinya adalah kajian ini untuk mencari solusi yang terbaik,” sambungnya.

Jannus melanjutkan, pendataan sudah dilakukan sejak Kamis (28/01) dan bersifat internal.

Tapi jika kanwil setempat membutuhkan tambahan informasi terkait persoalan di lapangan maka dibolehkan berkomunikasi dengan pihak lain seperti PGI atau MUI.

Namun demikian sampai kapan pendataan dan kajian dirampungkan, ia tak memberi tenggat waktu.

“Lebih cepat lebih baik. Kita tidak muluk-muluk, ini urusan yang berkenaan dengan agama, kita coba lakukan yang terbaik tidak dengan pembatasan waktu,” imbuhnya.

‘Masalah laten’

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Jacky Manuputty, bercerita permintaan kepada Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk mengkaji Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 sempat disinggung dalam Sidang Tahunan PGI pada Senin (25/01) lalu.

Di situ Yaqut bersedia mengkaji agar tidak lagi mempersulit. Kendati Ketua Umum GP Ansor ini menyebut aturan pendirian rumah ibadah tetap diperlukan.

Jacky menilai Peraturan Bersama Menteri ini harus segera diubah karena menjadi “masalah laten” lantaran tak ada pengawasan di lapangan dan multitafsir.

Catatan PGI sejak tahun 2015 hingga 2018 ada 51 gereja ditolak keberadaannya gara-gara tak mengantongi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Ini karena komposisi FKUB di daerah tidak mencerminkan kesetaraan sehingga keputusannya selalu berat sebelah ke kelompok mayoritas penolak.

“Kewenangan FKUB sangat luas walau sifat relasinya konsultatif. Tapi selama ini fokus kerjanya terlalu besar dalam pemberian rekomendasi izin pendirian rumah ibadah. Sementara peran yang lebih signifikan yakni menjadi forum dialog antaragama sangat kurang,” ujar Jacky.

Usul agar direvisi

Karena itulah PGI mengusulkan kepada Kementerian Agama agar merevisi kewenangan FKUB dengan menyerahkan sepenuhnya keputusan pemberian izin ke tangan pemerintah yakni kanwil agama di kabupaten/kota.

“Persetujuan (izin pendirian rumah ibadah) harus dipegang pemerintah. Ini tanggung jawab pemerintah tidak boleh diambil alih oleh lembaga-lembaga non-pemerintah. Karena selama ini tumpang tindih antara FKUB dan kanwil.”

Hal lain yang menjadi persoalan di lapangan, katanya, sikap pemerintah daerah yang “mbalelo” terhadap ketentuan yang tertuang dalam peraturan bersama ini.

Di mana pemerintah daerah seharusnya memfasilitasi suatu penganut agama menggunakan rumah ibadah sementara jika dukungan masyarakat sekitar belum terpenuhi.

“Jika sudah ada 90 penganut agama tapi dukungan masyarakat belum memenuhi maka pemda wajib fasilitasi. Tapi dalam banyak kasus ketentuan ini tidak pernah dijalankan.”

Pembangkangan lainnya, kepala daerah enggan menerbitkan IMB rumah ibadah padahal bangunan ibadat tersebut sudah ada sebelum adanya Peraturan Menteri Bersama.

“Ketentuan ini banyak dilanggar seperti kasus gereja di Kabupaten Aceh Singkil contoh pelanggaran ketentuan ini.”

Itu mengapa ia meminta agar revisi Peraturan Menteri Bersama ini memasukkan peran lembaga Ombudsman sebagai pengawas di lapangan. Tujuannya agar pembangkangan serupa tak terulang.

“Kemudian kepastikan hukum jika Peraturan Bersama Menteri tidak dilakukan. Ini dibutuhkan karena tidak ada sanksi sehingga pejabat mbalelo sesuka dia. Ini harus diatur lagi,” pungkasnya.

Diminta disusun ulang

Peneliti Setara Institute, Halili Hasan, menilai Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 harus dicabut karena “kerap menjegal kelompok minoritas memperoleh hak beribadah”.

Tapi lebih dari itu, aturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan hak kepada setiap warga negara untuk memperoleh hak beragama dan berkeyakinan.

Sebab penolakan rumah ibadah, katanya, tidak hanya menimpa umat Kristiani tapi agama lain yang minoritas di suatu wilayah.

“Misalnya syarat 90 orang penganut agama dan 60 dukungan masyarakat sekitar, itu berat untuk kelompok super minoritas. Ini menimpa semua minoritas semisal Muslim di daerah-daerah yang mayoritas non-muslim atau sebaliknya,” jelas Halili Hasan kepada BBC News Indonesia.

“Sementara konstitusi menjamin hak perorangan, sehingga satu orang punya hak konstitusional yang dijamin oleh hukum untuk beribadah.”

Menurut Halili, pemerintah harus menyusun ulang aturan pendirian rumah ibadah yang lebih detail dan mengikat sehingga tidak disalahartikan oleh kepala daerah maupun kelompok intoleran.

Bentuknya, kata dia, bisa berupa Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah.

Di situ, ia mengusulkan agar syarat minimal 90 orang penganut agama dan 60 dukungan masyarakat sekitar dihapus.

“Syarat itu tak perlu dipertahankan. Dengan menyatakan alasan bahwa syarat itu untuk meminimalisir konflik, itu mengada-ada. Karena jika ada konflik, negara harus hadir. Sementara kalau belum ada pelanggaran hukum, ngapain negara mempersulit?” imbuhnya.

Kemudian keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) difokuskan sebagai wadah yang dialog dan mediasi jika ada penolakan dari kelompok tertentu. Bukan lagi sebagai pemberi rekomendasi.

Karena itu orang-orang yang masuk dalam FKUB harus kompeten dan memiliki wawasan toleransi.

Pengamatannya selama ini, perawakilan FKUB dari agama Islam ada yang berlatar belakang organisasi dari Front Pembela Islam (FPI).

“Komposisi FKUB harus menggambarkan pluralitas. Jadi tidak bisa proporsional, kalau begitu hanya perpanjangan tangan mayoritas.”

“Dan harus dimasukkan juga perwakilan dari kelompok penghayat kepercayaan karena keberadaan mereka sudah diakui negara.”

Hal lain yang mesti dimasukkan adanya sanksi bagi “pengganggu kerukunan umat beragama”.

Poin ini menurutnya penting karena hukum pidana “sulit menjerat kelompok intoleran dan justru mengintimidasi korban persekusi”.

“Kelompok-kelompok yang tidak berorganisasi ini kan banyak dan selalu berganti jubah di tiap daerah,” katanya.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *