MEDAN (Waspada): Sejumlah pengamat ekonomi Sumatera Utara menilai, data penduduk miskin yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) baik secara nasional maupun provinsi dinilai tidak fair (adil). Pasalnya, data ini tidak sesuai kenyataan hidup yang dialami masyarakat Indonesia. Selain itu, kriteria miskin di Indonesia berbeda dengan kriteria miskin yang ditetapkan PBB.
Pengamat ekonomi Sumut Prof. Aldwin Surya menilai, kriteria miskin yang ditetapkan BPS saat ini menjadi acuan di Indonesia. Namun kriteria tersebut berbeda dengan yang ditetapkan PBB. “PBB menyatakan, kriteria miskin adalah penduduk yang berpenghasilan AS$2 per hari. Sementara, di Indonesia hanya AS$1 per hari. Bila mengacu pada kriteria BPS, maka jumlah masyarakat miskin di Indonesia berkurang. Tapi bila menggunakan kriteria PBB, maka jumlah penduduk miskin Indonesia lebih besar lagi,” kata Aldwin Surya kepada Waspada, Kamis (3/1).
Berdasarkan kriteria BPS, lanjut Aldwin, penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah garis kemiskinan, dimana garis kemiskinan yang ditetapkan untuk daerah perkotaan adalah Rp270 ribu per kapita per bulan.
“Bila kriteria ini yang digunakan, jelas tidak fair. Sebab, penghasilan tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya saja. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya jelas tidak dapat terpenuhi,” ujarnya.
Dia menyebutkan, penetapan kriteria miskin di Indonesia tidak sesuai dengan kenyataan hidup yang dialami masyarakat Indonesia. Karena penetapan batas minimal untuk mendapatkan asupan makanan bergizi saja tidak cukup. Apalagi untuk pemenuhan pendidikan, makan, rumah layak huni dan kesehatan, tentu sangat tidak mencukupi.
Hal senada dikatakan pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Muhammad Ishak. Menurutnya, data yang dikeluarkan BPS tidak fair. Di Indonesia, banyak penduduk yang berpenghasilan Rp300.000 per kapita per bulan. Mereka termasuk kriteria tidak miskin. Padahal, dengan pendapatan tersebut, masyarakat tidak bisa berbuat apaapa.
“Dengan penghasilan Rp300.000 per kapita per bulan untuk saat ini, jelas masyarakat tidak bisa berbuat apaapa. Mereka hanya mampu memenuhi kebutuhan makan apa adanya. Bahkan makanan yang dikonsumsi tidak berkualitas,” ujarnya.
Menurut M. Ishak, seharusnya yang dilihat bukan hanya dari sisi pendapatan, tetapi juga jumlah anakanaknya yang bersekolah, jumlah kualitas makanan keluarga (empat sehat lima sempurna), aktivitas ekonomi keluarga, kontinuitas bekerja, aspek perumahan, serta kesehatan. “Jadi seharusnya, aspekaspek tersebut digunakan dalam menentukan indikator kemiskinan di Indonesia,” ujarnya.
M. Ishak menegaskan, ke depan pemerintah harus mengubah indikatorindikator kemiskinan yang selama ini digunakan. “Sahsah saja BPS menetapkan batas kriteria kemiskinan. Namun faktanya di lapangan, banyak masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya,” ujarnya.
Tidak Sesuai Realita
Sementara itu, data penduduk miskin yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) hanya mencapai 28,59 juta orang, mendapat sorotan dari pengamat sosial di Medan Arifin Saleh. Apalagi, BPS menyatakan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dari 29,13 juta (Maret 2012) menjadi 28,59 juta (September 2012).
Menurut Arifin, angka yang dikeluarkan itu tidak sesuai dengan realita di lapangan. “Sedih sekali saya melihat angka itu, karena tidak sesuai dengan realita yang ada,” kata Arifin Saleh.
Data yang dikeluarkan BPS ini, lanjutnya, jangan sampai ‘menyilaukan’ pemerintah karena dinilai berhasil menurunkan angka kemiskinan. “Jangan sampai pemerintah merasa puas dengan angka yang dikeluarkan BPS ini. Angkaangka ini menjebak dan saya rasa keluarnya angkaangka itu karena mendapat intervensi, seolaholah pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan,” sebutnya.
Kata dia, sebaiknya pemerintah tidak terlalu fokus menurunkan angka kemiskinan, namun harus lebih fokus kepada kualitas penduduk. “Saya rasa masyarakat yang tidak bisa melanjutkan sekolah sampai SMA serta tidak bisa membiayai perobatan sudah termasuk miskin,” ujarnya.
Sementara itu, Akademisi dari USU Prof. Badaruddin memiliki pendapat yang berbeda. Bahkan dia menilai pemerintah tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Padahal, program yang dibuat pemerintah cukup banyak seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Corporate Social Responsibility (CSR) dan usaha rakyat.
“Begitu banyak program dibuat pemerintah, namun penurunan jumlah penduduk miskin hanya sedikit. Ini berarti, program pemerintah itu tidak berhasil kalau penurunan kemiskinan sekitar 0,54 persen,” tuturnya.
Menurut Badaruddin, kegagalan program pemerintah itu dikarenakan implementasinya di lapangan tidak sesuai yang diharapkan. “Seperti program PNPM, bisa dialihkan dengan membuat program menumbuhkan ekonomi masyarakat. Selama ini, PNPM hanya berbentuk fisik. Kalau untuk daerah pedesaan, mungkin bangunan fisik itu bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian, tapi untuk perkotaan tidak,” ujarnya.(m41/h02)
sumber: waspadamedan