Tulisan ini adalah salah satu dari lainnya mengenai Karo dan Keunikannya. Satu hal lain yang menarik dari kebiasaan Karo adalah menantu lelaki tidak boleh berbicara langsung dengan mertua perempuan dan sebaliknya. Ini merupakan sebuah kebiasaan yang secara umum masih terjaga. Peraturan ini mungkin tidak diketahui sejak kapan dimulai namun ini menjadi kebiasaan dalam kehidupan suku Karo. Walaupun dengan banyaknya kawin campur dengan suku lain hal ini mengalami pemudaran.
Seorang lelaki Karo yang mengawini anak perempuan dari sebuah keluarga Karo maka secara hukum yang tidak tertulis dalam kebiasaan hidup orang Karo menjadi enggan/sungkan untuk berbicara langsung dengan mertua perempuannya. Demikian juga menantu perempuan Karo yang dikawini oleh seorang lelaki Karo menjadi sungkan untuk berbicara langsung dengan mertua lelakinya.
Pada praktenya, jika seorang lelaki/perempuan ingin menyampaikan sesuatu kepada mertuanya lelaki/perempuan, harus ada orang ketiga sebagai perantara. Sebagai contoh dalam keluarga penulis, jika dalam sebuah mobil ada tiga orang yang ingin berangkat kesebuah pesta perkawinan, yang terdiri dari penulis, Bapak-penulis dan Nenek-penulis dari ibu penulis ( Mertua Perempuan dari Bapak penulis), maka jika ada pertanyaan dari Bapak penulis kepada Mertuanya, misalnya“ Jam berapa pesta itu dimulai?” maka Bapak akan sungkan bertanya langsung kepada Mertuanya, dan biasanya sesuai pengalaman penulis Bapak akan berkata Coba tanya Nenek mu, jam berapa pesta itu dimulai?. Dalam arti walaupun dalam mobil itu ada nenek, bapak dan penulis bersama maka dalamkebiasaan Karo tidak biasa menanyakan langsung kepada mertua wanita.
Dalam hal ini, walaupun tentunya jawaban dari mertua perempuan tidak lagi mengatakan Katakan kepada bapakmu bahwa pestanya pada jam 1130 misalnya. Karena sebagai yang lebih tua, mertua mengangap menantu lelaki sebagai anak dan mengapa menantu lelaki harus berbicara melalui orang ketiga adalah karena faktor penghormatan dan keseganan dalam bahasa Karo disebut KEHANGKAIAN/MEHANGKE.
Demikian juga dengan menantu perempuan dan mertua laki-laki. Artinya dalam berbagai kesempatan tidak diijinkan atau menjadi malu atau sungkan, jika hanya berdua bersama mertua. Itu adalah sebuah hal yang tidak wajar jika ada hanya mertua perempuan dan menantu laki-laki atau sebaliknya didalam suatu tempat sehingga dibutuhkan orang ketiga sebagai penyambung komunikasi misalnya anak atau orang lain.
Ada yang mengatakan hal ini untuk menjaga hal-hal yang tidak dinginkan, terjadinya penyelewengan antara menantu dan mertua, itu mungkin saja. Melihat struktur budaya karo yang akrab dan susunan rumah rumah siwaluh jabu (rumah dengan 8 keluarga) link maka mungkin ini merupakan salah satu kebiasaan yang dijaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Karo yang kaya dengan alamnya yang terbuka, awalnya banyak melakukan aktifitas diluar rumah seperti mandi dan mencuci baju disungai atau pancuran air yang terbuka/umum, juga memiliki lahan perladangan/perkebunan yang luas dan sepi, maka tradisi ini memungkinkan juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Uniknya kadang kala seorang menantu mendapatkan jodoh/dijodohkan oleh calon mertuanya perempuan atau laki-laki sendiri melalui keluarga, namun setelah menikah malah menantu tersebut tidak boleh berbicara dengan mertuanya.
Dalam bahasa Karo, bagi menantu lelaki memangil mertua perempuan MAMI (Tante)dan mertua lelaki MAMA (Paman), sedangkan menantu perempuan memangil mertua lelaki dipangil Bengkila (….) dan mertua perempuan Bibi (…). Menantu lelaki tidak dapat berbicara langsung dengan maminya dan menantu perempuan juga tidak dapat berbicara langsung dengan bengkilanya.
Suatu hal yang unik/aneh di keluarga penulis, kebetulan Istri penulis dan Mertuanya Bapak-penulis, bekerja di satu fakultas di salah satu PTN di Medan. Kebetulan rumah penulis dan bapak penulis adalah bersebelahan, namun walaupun ada kesempatan untuk dapat nebeng dengan mobil mertua, karena nilai budaya di atas membuat istri penulis harus pulang dengan angkot (misalnya, walaupun saat ini sdh bawa mobil masing-masing) dan tidak boleh bareng dengan mertua. Hahahaha ndak efektif juga ya, namun ini adalah kasus khusus dan perlu dicatat bahwa jauh lebih berharga menjaga nilai moral budaya ketimbang menjadi manusia yang asal-asalan.
Keunikan Karo ini mengambarkan bahwa masyarakat Karo adalah orang yang BERADAT dan hidup dibawah kekeluargaan yang terjaga sehingga diperlukan aturan main dan nilai-nilai moral yang perlu dijaga. Walaupun belakangan ini dengan berkembangnya hubungan antar suku dalam membentuk keluarga dan juga agama cendrung mengurangi kebiasaan ini. Nilai Agama misalnya telah dapat mewakili norma lokal tersebut, walaupun keluarga penulis dan penulis sendiri masih mengikuti nilai tradisional ini.(Bhtrg)
sumber : kompasiana