RUMAH KACA: PEMIKUL MAYAT

Oleh: Hujan Tarigan
Dimuat di Rumah Kaca, Rakyat Merdeka Online, Minggu, 20 Mei 2012 , 08:49:00 WIB

LELAKI itu terbaring kaku. Dia tersenyum seperti sedang tertidur. Sementara, terlihat beberapa ekor lalat terbang berseliweran di atas kepalanya. Dia dibaringkan di sana, di atas sebuah dipan bambu di dalam tenda ala kadarnya. Dia seperti tengah berdiri di sebuah padang yang hijau. Sambil mengirup udara surga yang semerbak wanginya. Dia mendengar suara-suara burung berkicau, gesekan ranting pohon-pohon perdu dan nyanyian anak gembala yang duduk di atas kuda tanpa pelana. Lelaki itu begitu takjub dengan pemandangan ini. Seumur hidupnya dia begitu memimpikan sebuah tempat di mana dia akan berdiri di atas sebuah padang hijau dan hanya ditemani oleh suara-suara surga yang tak henti-henti memuji dan memuja kedamaian semesta.

Lelaki itu terbaring di sana. Di dalam keheningan dan kedamaian. Menghadap pada ritus arca purbakala. Tangannya dilipat di atas dada. Dia mati tapi tidak terlihat seperti mati. Dia tidur, tapi seperti terlihat sedang berdiri. Lelaki yang sudah menjadi mayat itu tengah bercerita kepada orang-orang yang secara bergelombang mendatangi tenda tempat jasadnya dibaringkan.

“Inilah, Saiman! Pemberani yang sudah membeli mimpinya!” tunjuk seseorang. Berjejal orang-orang melongokkan kepalanya menerobos ke dalam tenda. Mereka ingin melihat langsung jasad agung yang telah dibawa Karto singgah ke kampung mereka.

“Benar ini Saiman?” tanya seorang perempuan renta. Karto mengangguk.

“Luar biasa! Tak kubayangkan sebelumnya jasadnya begitu mulia.”

Hari semakin siang, orang semakin ramai berdatangan.

“Lelaki yang tengah terbaring ini sedang menunggu anda semua! Dia sedang menunggu reaksi saudara-saudara! Apakah kematiannya begitu sia-sia?” tanya Karto kepada gelombang massa yang terus berjejal di sekitar tenda.

“Tidak!” serempak mereka menjawab tantangan Karto.

“Suatu malam dia datang ke tanahnya sendiri. Dan di sana, centeng-centeng tuan kebun itu telah memperlakukannya sebagai pencuri. Dia dikepung, dihalau dan dihujani pukulan. Dia dipaksa untuk melepaskan tanahnya dengan harga murah! Lelaki ini berjuang untuk setiap tanahnya. Baginya tanah bukan hanya tempat bercocok tanam. Tanah adalah filosofi perjuangan, ” teriak Karto sambil terus meninju udara yang gersang. Orang-orang menyambut setiap kalimat yang keluar dari mulut Karto dengan teriakan perlawanan.

“Karena tanah adalah warisan nenek moyang yang harus kita sampaikan kepada generasi yang akan datang!” ujar Karto separuh menangis.

“Hidup Saiman! Hidup Saiman! Hancurkan Tuan Kebun! Usir mereka! Bakar!” gemuruh perlawanan bertebaran di angkasa.

Karto masuk ke dalam tenda. Dan kemudian keluar dengan membawa sebuah topi. Ini adalah ritual terakhir dari setiap kunjungannya ke kampung-kampung yang dia singgahi. Dalam persinggahannya kali itu, ritual pun kembali dia lakukan.

“Jadi, berapa orang yang akan pergi melawan centeng-centeng Tuan Kebun?” tanya dia sambil memegang topi caping milik Saiman. Agak ragu, namun akhirnya satu dua orang menunjuk langit dengan jarinya.

“Saya.”

“Saya juga.”

“Saya ikut.”

Karto mengulum senyum. Di sodorkannya topi caping yang dipegangnya kepada yang hadir siang itu di depan tendanya.

“Untuk menghadapi teknologi senjata centeng-centeng itu, kita harus memiliki teknologi yg sama. Ulurkan sumbangan Anda, sebagai tanda Anda bersimpati pada cita cita Saiman,” ujarnya. Rakyat yang sudah resah akibat agitasi dan cerita Karto langsung menyerbunya. Berlomba-lomba menyerahkan uang sumbangan ala kadarnya. Dan begitulah, setiap kampung yang disinggahi Saiman, selalu ada saja yang sedia menjadi peserta karnavalnya.

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan bangkai Saiman benar-benar sudah memprihatinkan. Perutnya sudah pecah. Belatung sudah menyantap sisa-sisa peninggalannya. Namun begitu, Saiman tidak terlihat seperti mayat. Dia terlihat seperti sebuah maha karya perupa ternama. Matanya yang sudah tak berkelopak terus memandangi padang hijau, tempat dia berdiri mendengarkan suara-suara surga.

“Apa yang bisa membuat kami percaya, kalau mayat ini adalah mayat Saiman?” tanya kepala kampung ketika rombongan Karto singgah di kampung kami. Lelaki itu memeriksa detil mayat yang dibaringkan di atas sebuah dipan bambu di dalam tenda.

“Tak ada,” bisik Karto.

“Nah kalau tidak ada, sebaiknya tuan pergi tinggalkan kampung kami ini. Jangan menambah kegelisahan kami lagi. Kami sudah cukup susah. Tolong jangan menambahnya,” pinta kepala kampung kami.

“Aku tak bisa meyakinkan anda semua bahwa mayat ini adalah mayat Saiman. Tapi, coba kemari, coba mendekatlah. Mayat ini akan berkisah kepadamu tentang suatu hal,” bujuk Karto. Sambil memegangi hidungnya dan menahan mual, kepala kampung itu tampak ragu-ragu masuk ke dalam tenda.

“Lebih dekat lagi dan tatap bola matanya yang sudah tak ada itu,” pinta Karto. Kepala kampung terhipnotis kata-kata Karto. Dan ketika ditatapnya sepasang mata bolong itu, sontak dia melepaskan semua rasa mualnya ke udara yang dipenuhi seliweran lalat. Tangannya menyentuh pipi Saiman yang masih hangat.

Kepala Kampung itu tengah berada di suatu tempat. Matanya mengedar. Suara-suara ajaib yang hanya bisa muncul di dalam mimpinya lamat-lamat terdengar. Dia melihat sekelilingnya, dia melihat tanah yang dipijaknya. Suara gesekan daun perdu dan alunan seruling anak gembala di atas kuda tanpa pelana telah mengagetkannya. Kepala kampung itu terpukau, ketika Saiman menghampirinya.

“Inilah tanah kita, Ketua,” bisik mayat itu.

“Berdiri di atasnya seperti sedang berjalan di dalam mimpi, bukan?” ujar Saiman. Kepala Kampung tak bisa menjawab apa-apa. Dia tengah berhadapan dengan sepotong semangat yang masih melekat di dirinya sendiri.

“Inilah asal kita. Dan di sinilah kita akan mengakhiri segala keputusasaan kita,” Saiman membungkuk dan mencabut sejumput rumput.

“Coba cium ini, betapa harumnya rumput-rumput ini. Dengarkanlah kesaksian mereka,” kata Saiman mengulurkan sejumput rumput yang masih basah oleh sisa-sisa embun itu. ketua kampung menyambutnya dan membaui sejumput rumput itu.

“Tanah ini memang bukan milik kita. Tapi tanah ini memiliki kita. Kita berdiri di atasnya, kita membagi apa yang tumbuh di atasnya. Kita mengolahnya bersama-sama. Tak ada yang berkuasa. Karena tanahlah yang sesungguhnya berkuasa. Berterima kasihlah kepada tanah. Usirlah setiap individu yang mencoba menguasainya. Karena itulah sebaik-baiknya pengabdian,” bisik Saiman.

Kepala kampung seperti disambar petir di siang bolong. Dia melihat mayat yang sudah busuk di hadapannya. Matanya terbelalak. Mayat itu tengah melempar senyum ke arahnya. Kemudian dengan perlahan, Kepala Kampung itu mencium jemari Saiman yang dipenuhi belatung.

“Bagaimana, Ketua. Kau sudah bertemu dengan dia?”

Kepala Kampung memegang kepalanya sendiri.

“Tak pernah kumelihat seorang pemuda dengan sepasang mata yang mampu membakarku,” bisik dia sambil tergopoh gopoh meninggalkan tenda dan menemui orang orang yang berdesakan di luar.

“Aku bersaksi, bahwa mayat yang terbaring di sana adalah betul betul mayat seorang yang agung!” ujar dia yang kemudian disambut dengan sorak sorai kebahagiaan warga kampung kami.

Dan ketika ritual terakhir dari pidato Karto akan dimulai, sekelompok peserta yang sudah mengiringi jenasah Saiman singgah ke kampung-kampung itu mulai mengedarkan topi caping Saiman dan mengutip sumbangan, kepala kampung tiba-tiba memtong. Dan berdiri di hadapan Karto.

(ii)

Aktifitas Karto dan pengikutnya yang membawa serta mayat Saiman berkunjung ke kampung-kampung sungguh telah membuat resah para tuan kebun. Mereka tidak pernah menyangka bahwa gerakan Karto yang awalnya hanya meminta pembelaan ternyata saat ini malah mendapat dukungan.

Merka yang tadinya menertawakan Karto kini mulai ketakutan. Riak-riak sudah berkumpul menjadi ombak. Dan ombak siap menampar karang yang cadas. Maka, untuk kesekian kalinya, para tuan kebun itu menggelar pertemuan.

“Kita sudah menetralisir keadaan beberapa kampung. Gerombolan pengacau sudah bisa dipadamkan,”

“Tidak, kita gagal! Kita tidak bisa memadamkan api yang menyala di dalam mereka. Sejak awal sudah kukatakan, bahwa Karto itu lebih berbahaya dari Saiman!”

“Tidak kita sudah benar, kita sudah membunuh Saiman. Mestinya, untuk menangkap Karto dan menggantungnya bukan masalah yang serius. Kita hanya terlambat mengantisipasi!”

“Aku tak mau rugi lagi. Aku sudah kehilangan banyak uang dan jagoanku untuk memadamkan pemberontakan itu. Coba kalau sejak awal kalian semua mendengar saranku, pasti keadaan tak begini parah!”

“Iya, tapi mereka petani! Mereka tak memerlukan uang sogokan. Bagaimana mungkin kita bisa membujuk mereka? Mereka lebih baik mati melawan daripada hidup kaya tapi di bawah kekuasaan kita?”

“Edan, kalian semua priyayi cengeng! Menghadapi persoalan gampang begini kok saling tuding-tudingan? Panik?”

“Eh, Meneer, kau jaga mulutmu ya? Kau pikir kau sudah hebat karena sekolah di Amerika? Aku juga sekolah di luar negeri. Urusan tanah begini, urusan aku. Aku Profesor di bidang ini,”

“Tuan alumni Osaka, aku tahu kau ini profesor agraria, tapi ini urusan politik. Meski aku setingkat di bawahmu gelarnya, tapi aku menguasai ini. Memang betul kataku, kalian ini priyayi cengeng! Penjudi yang tak siap kalah!”

“Eh, Meneer, kita bukan tak siap kalah. Kita hanya sedang pusing dengan gerakan gerombolan yang tak memiliki jasad ini,”

“Ah, pengecut! Kalian semua takut sama hantu. Untuk apa jauh jauh kalian menimba ilmu dan berkuasa, kalau masih takut dengan hantu Saiman?”

“Sabar tuan-tuan kebun yang terhormat. Kita di sini duduk untuk menjawab persoalan bukan menambah persoalan” ujar seorang tuan kebun yang tak sekolah namun punya sederet ijasah di rumahnya.

“Apa solusimu, Doctor Honoris Causa?”

“Kau tak mungkin bisa menang melawan hantu. Tapi aku punya cara untuk melembagakan hantu-hantu itu…”

“Ah, sinting kau,”

“Justru, kita memang harus sinting untuk menghadapi orang sinting. Dengarkan kataku. Perang ini bisa kita padamkan dalam satu malam, tapi untuk memenangkannya, butuh waktu yang lama. Apakah kalian tertarik untuk mendengarku lebih lanjut?”

“Baiklah, aku mendengarmu,”

“Bagus. Jadi begini. Aku mendapat kabar dari orangku. Bahwa saat ini kafillah Karto tengah bermalam di sebuah kampung. Kita bisa saja membunuhnya dan membunuh si Saiman untuk kedua kalinya. Tapi kita tak bisa membunuh semua petani di sana. Atau semua petani di lembah ini. Untuk apa kita berkuasa kalau tak ada yang kita kuasai, benar bukan? Hahahaha…”

Para tuan kebun kemudian mendengar dengan seksama solusi yang dikeluarkan Tuan Kebun Doctor Honir Causa itu “Karto dan pengikutnya harus kita padamkan malam ini, tapi petani-petani itu…”

“Mereka harus ikut Karto ke nereka!”

“Jangan konservatif begitu, kawan. Coba kau bayangkan kalau semua pengikut Karto itu ikut ke neraka dan mereka menggalang kekuatan di sana? Apa itu namanya tidak membuat masalah baru? Hehehehe…”

“Jadi bagaimana?”

“Biarkan petani-petani itu hidup. Mereka adalah aset kita. Dan sebagai aset yang berharga, kita akan menghargai mereka dengan mendirikan sebuah sekolah,”

“Sebuah sekolah? Untuk petani miskin dan bau itu?”

“Ya… sebuah sekolah yang akan membantu mereka berpikir menjadi orang modern. Industrialis kecil. Memotong tepa selira dan mengikis spirit holopis kuntul baris,”

“Ah… mana ada petani yang individual!”

“Loh, ngawur kamu. Individual itu adalah sifat dasar setiap orang. Orang membutuhkan kelompok dan hidup bersosial karena mereka merasa tak semua kebutuhannya bisa didapat dengan sendirian. Itu tuntutan keadaan. Dan setelah tuntutan itu terpenuhi, maka orang akan kembali bersemedi dan mengacuhkan segala macam yang terjadi di sekitarnya, betul tidak?”

Para tuan kebun tersentak. Mereka saling melempar pandang. “Apa yang mau kau katakan sebenarnya, kawan?”

“Hehehe, jangan masukkan dalam hati. Kita berkumpul di sini dengan satu tujuan. Dan tujuan itulah yang mempertemukan kita. Tujuan kita bukanlah transaski seks satu malam. Tujuan kita adalah tujuan abadi. Sampai di sini, kalian tak perlu kuatir denganku. Karena aku tak kuatir pada kalian,”

“Kata-katamu manis, tapi aku merasakan durinya menusuk tulang igaku,”

“Hahahaha. Itu masalahmu. Kalau kau menganggap bukan bagian dari tujuan ini, sampaikan keberatanmu dan belajarlah menjadi tuan kebun yang mandiri. Silakan keluar dari kongsi,”

Tuan Kebun jebolan Universitas Osaka pun bangkit dari duduknya. Dia tak pernah merasa seterhina ini. Dengan sigap dan kepala tegak dia berlalu meninggalkan ruangan pertemuan.

“Sayonara!”

Tuan Kebun Doctor Honoris Causa mengangguk pelan dan menyunggingkan bibirnya.

“Ada lagi yang mau menyusul?”

Pertanyaan itu dijawab dengan diam oleh beberapa Tuan Kebun yang hadir di sana. Mereka duduk manis dan seperti menyimak instruksi lebih lanjut. “Ternyata memang ada baiknya kita mendisiplan organisasi kita sendiri sebelum kita melakukan invasi, heh?” bisiknya pelan.

(iii)

Kampung kami adalah sebuah perdikan awalnya. Namun sejak Tuan Kebun itu datang dan memerintah, kami terpaksa bekerja banting tulang untuk memenuhi upeti yang harus kami bayarkan.

Pada mulanya mereka masuk dengan sopan. Mereka menawarkan pestisida, pupuk dan mesin genset serta beberapa unit traktor. Namun belakangan mereka mulai mengatur harga. Kami semakin tak berdaya ketika suatu hari kami melihat traktor traktor kami tak bisa beroperasi karena solar habis dan tak lagi mengalir ke kampung kami. Sementara kerbau dan sapi sudah kami potong dan kami jual kepada mereka. Sekarang kami mengandalkan cangkul. Dan untuk panen yang kami harapkan, kami harus sisihkan untuk melepaskan diri kami dari belitan utang. Banyak yang tak sanggup dan akhirnya memilih menjadi buruh di tanahnya sendiri. Dan begitulah keadaannya, saat ini aku pun menjadi buruh di atas tanahku sendiri.

Namun agaknya, malam itu adalah malam yang diberkahi. Rombongan pemikul mayat Saiman itu singgah dan memberikan sebuah mimpi yang pasti. Mereka berjanji akan membantu kami keluar dari krisis panjang yang sudah membuat kami hampir kehilangan keyakinan bahkan terhadap diri sendiri.

Karto si agitator itu kembali menyebar benih dan menyiram jiwa kami yang kosong. Sementara Saiman, meski kini dia hanya onggokan daging berbelatung, namun kami merasakan keabadian hidup di dalam jasadnya. Malam ini Karto dan ketua kampung sedang merancang sebuah pemberontakan. Itu membuat rombongan pemikul mayat mengurungkan niatnya untuk meneruskan perjalanan. Kami senang menerima mereka. Dan untuk pemuda yang tengah terbaring abadi di tenda itu, kami semua menghormati perjuangannya. Inilah kesempatan terindah yang pernah datang dalam hidupku. Aku berdiri di samping jenasah seorang agung. Memandanginya seperti memandangangi sebuah citra dari diriku sendiri yang sudah lama aku rindukan. Betapa hebat penderitaan Saiman. Bahunya mengatakan itu. Tulang dahinya yang menyembul juga mengatakan itu.

(iv)

Maka setelah keputusan diambil, segerombol jagoan bergerak dengan perkasa. Awan gelap mengiringi langkah mereka. Di atas kudanya, para Tuan Kebun sudah duduk memimpin penyerangan. Dengan perlengkapan perang teknologi mutakhir. Satu divisi tank, empat ribu pasukan invantri lengkap dengan senjata mesin otomatis. Dibantu bolco dan F-16 dari udara mereka mulai membombardir kampung kami. Mereka memuntahkan timah panas. Melubangi tanah kami dengan mortir, dan menghancurkan rumah kami. Tank-tank dengan brutal melumat semua yang ditemuinya. Tuan Kebun Doctor Honoris Causa tertawa.

“Menyerahlah pada kecanggihan teknologi kami!” ujarnya dari atas pelana kuda.

Sejak malam itu aku menghilang dari kampungku. Aku dengar Karto dan pengikutnya berhasil ditangkap dan disalib sampai mati. Tiga kilometer, dan sepanjang itu tiang salib berdiri. Ratusan jumlahnya. Aku tak tau bagaimana nasib ketua kampung. Tapi ada yang berkata bahwa dia tak ada dalam catatan orang-orang yang pergi disalibkan.

Sekarang, sekolah benar-benar berdiri di kampungku dan di kampung-kampung lain. Petani hidup dan mereka semakin modern. Sedangkan aku terus pergi dari satu kampung ke kampung yang lain. Aku hanya sendiri. Sebab sudah tak ada orang yang mau percaya pada ceritaku. Dan tulang belulang Saiman yang ikut bersamaku ini pun tak bisa berkisah lagi.
Binjai 16 Mei 2012
sumber : http://www.sorasirulo.net

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *