oleh Edi Santana Sembiring
perempuanku, jangan kau hitung umur dengan guratan di wajahmu. sudah berjuta kali ombak mampu meratakan pantai, saat setiap pagi para umang berjalan mencari hidupnya. selepas menatap fajar di horizon sana, mereka berlomba menguburkkan diri, dalam waktu milik mahluk lainnya.
perempuanku, simpan risaumu akan celana dalam yang tak lagi muat bagi pinggulmu yang kian bertambah besar. bukankah kau lebih indah tanpa itu semua. kakiku lekas melangkah saat bel pabrik berbunyi, setiba di depan pintu kau kurengkuh menuju surga milik kita. puji bagi Tuhan atas pintarnya Ia menciptakan bentuk tubuhmu, kedipan mata sudah menjadi mantra, lalu nafas-nafas berarak mengusir penat seharian. aku yakin Tuhan juga sudah mengatur setiap gerak senggama kita.
perempuanku, sunyi siang menjadi teman setia bagimu, itu lebih indah dari pada derak mesin-mesin pemotong kayu yang tak pernah menitipkan lelah. kita berada dalam suasana yang itu-itu saja, mimpi yang tak pernah beranjak pada episode yang baru. bersama laba-laba di sudut-sudut kamar, kau menenun waktu dan telah terisi rak-rak lemari kita dengan baju-baju mungil. kau katakan, “bila ia lelaki baju ini akan menghangatkan hatinya untuk tetap setia menjaga nuraninya. dan bila ia perempuan, rok ini akan membuat ia menjaga sucinya tubuh dari pingit jaman yang kian tak jelas.”
aku terdiam setiap menatap baju baru yang kau jadikan, setelahnya kau susun dalam lemari kita. aku hanya mampu berbisik, “aku punya sejuta dongeng untuk mereka, anak-anak kita kelak.” kaupun tersenyum sambil memegang perut, mengelusnya. air mukamu tak bisa berbohong, kau ingin menjadi lengkap seperti perempuan-perempuan lainnya. aku meraup dadamu, dan berbisik, “sebelum ini akan dijajah anak-anak kita, biarlah aku puaskan untuk menikmatinya.”
di hari minggu, kita tertunduk di bawah salibNya. aku mendengar doamu, aku melihat tetes air matamu jatuh, “Allah yang baik, aku bersyukur atas kehidupan yang masih kau berikan. aku bersyukur pada lelaki setia yang kau jadikan sebagai suamiku. aku bersyukur untuk penantian panjang ini. Allah yang agung, kehendakMulah yang jadi, bukan kehendakku.”
di rehat sehari setelah penat seminggu, kami terduduk di pasir putih ini. melihat hamparannya aku berkata pada perempuanku, “janji Tuhan telah terpenuhi pada Abraham. janjiNya untuk membuat keturunan Abraham sebanyak bintang di langit dan sebanyak pasir di tepi laut. kitalah bagian dari janji itu, maka keturunan Abraham berikutnya akan lahir dari tubuhmu kelak.” ia tersenyum padaku, pada pantai yang setia menanti ombak, pada nyiur yang tak lelah melambai-lambai pada pulau di seberang.
lalu kita berbaring di pasir ini, teringat pada sajak Rendra*, kugambar 2 orang berdampingan. aku berkata, “ini kita.” lalu aku gambar selusin orang di kanan dan kirinya. dan alis matamu terangkat, bingung. aku berkata, “ini adalah selusin anak kita.” bibirmu manyun dan berkata, “lalu akan kau beri makan apa?”
akan aku beri sejuta dongeng bagi pengantar tidurnya. akan aku beri berlembar-lembar kertas untuk dituliskan, bahwa pinta dimulai dari niat. dan akan aku ajarkan membuat burung-burung kertas. lalu kami naik ke bumbungan atap rumah kita sambil berkata, “anakku, tataplah dunia dari atas ini. siapa yang mampu menjadi elang, maka ia akan mampu mengarungi lautan perih, menuju dahan-dahan kokoh milikNya. apabila mampu menjadi merpati, maka kasih mampu mencairkan kebekuan benci. seperti burung pipit yang tak menanam namun ia menuai, hidupmu tak perlu rakus mengejar harta, carilah saja kedamaian.”
kami berpelukan sambil menatap senja yang turun. perempuanku membawanya pulang, agar tak lagi sendiri di ujung sana. dari jendela rumah yang kami buka lebar-lebar, senja tertidur dengan manja di ranjang kecil. memberinya baju hangat untuk mengusir dingin. dari teras rumah, aku menatap perempuanku terkantuk-kantuk menjaganya. aku terdiam, ingatanku melayang pada berita di koran hari ini. bayi-bayi yang mati muda oleh nafsu.
terkabar bayi menyukai fajar, namun entah mengapa mereka beri senja. hingga kami memungut jerit-jerit yang terapung dalam senja yang kian memerah.
* Sajak Rendra yang dimaksud adalah:
Jalan Sagan No 9 Jogja
(oleh Rendra)
Ketika kebetulan lalu
aku mampir ke kamar kita yang dulu
Sekarang belum lagi disewa
Kamar kita berdua
Dengan bunga pada meja
tempat kita saling memandang
berhawa kasih sayang
memasuki kamar ini
tembok dan lantai kembali bicara
dan hidupku terasa lebih berharga
Kukenang kembali
bagaimana kau dulu kujamah rambutmu
sementara kau bertanya
berapa jumlah pacarku
Lalu di lantai yang sejuk
dan juga bersih karena kau sapu
kita akan bertiarap atau berbaringan
sambil menggambar dengan kapur
semua gambar yang lucu-lucu
atau rumah yang kita angankan
Pernah pula kau gambar dua orang berdampingan
Sambil kau tunjuk mereka:
“Ini kau. Ini aku”
Lalu saya gambar selusin orang di kanan kirinya
Kau merenggut dan bertanya:
“Siapa mereka?”
aku menjawabmu: “Anak-anak kita”
Ketika kau tertawa
tergerailah rambut-rambut halusmu
ke pipi dan ke dahimu
Waktu itu aku gemar memandang matamu
Dan melihat diriku terkaca di dalamnya
Kekasihku,
ada saat-saat kita tak berdaya bukan oleh duka
tetapi karna terharu semata
Mengharukan dan menyenangkan
bahwa sementara kita tempuh hari-hari yang keras
sesuatu yang indah masih berada
tertinggal pada kita
Sangat mendebarkan
menemukan satu bunga
yang dulu . . . telah lama
Kitalah penanamnya.
(WS Rendra)
sumber : http://www.sorasirulo.net