GURU SI BASO

Cerpen

Oleh: Hidayat Banjar. Sebelum upacara memasuki tahap inti, wanita 70-an itu meminta izin entah pada siapa. Dia memanggil-manggil.
“Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet ate malem. O… turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta. Mari nini raja kepultaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam kerina kudagingku, adi la kam reh la aku beloh ermang-mang.”

(Ini telah kubungakan bunga kapias, juga jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara yang baik untuk mendapat perasaan damai. O… saudara bunga kapias bunga tara tinggi kiranya itu jadi bunga kita. Mari penguasa matahari terbit berangkatlah kamu beserta penguasa matahari terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak mampu aku melakukannya sendiri. Kupanggil kamu semua, masuklah ke dalam tubuhku, kalau kamu tidak datang tidak mampu aku bercerita dan bernyanyi).

Wanita itu duduk takzim dengan lutut ditekut. Sirih dan tembakau terasji di depannya. Kedua tangan keriputnya menyatu di depan dada. Suasana hening. Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Hanya sesaat, lalu kembali diam.

Kepala wanita diselubungi kain putih menyerupai sorban. Sementara penutup badanya adalah kain sarung dibentuk sedemikian rupa yang oleh masyarakat Karo disebut wis gara. Mulutnya yang tadi berkomat-kamit, merapal mantera sekaligus mengunyah sirih, kini mengatup rapat. Meski usianya sudah 70-an tapi terlihat masih kokoh. Matanya memejam seperti orang tertidur.

Aku dan sekelompok masyarakat yang hadir di situ juga terdiam. Senyap. “Orang inikah yang disebut ibu sebagai Guru Si Baso?” tanyaku dalam hati.

Sebagai orang yang lahir dan besar di kota Medan, baru kali ini aku menyaksikan sebuah acara ritual orang Karo yang diceritakan ibu dulu pada kami anak-anaknya.

“Tanah Karo itu hanya puluhan kilometer saja dari kota kita ini, tapi acara-acara ritual memuja roh masih berlaku di sana,” kata ibu ketika itu.

“Ritual itu dipimpin oleh seorang atau beberapa orang wanita. Mereka terutama memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan roh gaib atau jiwa orang yang telah meninggal. Para wanita ini memiliki roh pelindung. Dalam memimpin upacara, mereka selalu berkomunikasi dengan mahluk gaib melalui keadaan kesurupan.

Bagi orang Karo, wanita ini disebut Guru Si Baso. Mereka berperan sebagai ‘spirit-medium’. Kesurupan yang mereka alami oleh orang Karo disebut dengan seluk. Roh pelindung yang senantiasa menyertai mereka dalam Bahasa Karo disebut jinujung. Anak-anak biasanya tidak boleh mengikuti upacara tersebut, karena bisa kemasukan roh,” kisah ibu yang sampai aku dewasa masih melekat dalam ingatan.

Ketika itu, aku tak dapat membedakan kisah ibu itu, hanyalah untuk pengantar tidur saja atau memang realita kehidupan. Otak kecilku ketika itu belum mampu memisahkan antara mitos, dongeng atau kenyataan. Tambahan, ibu juga suka mendongengi kami anak-anaknya, sebelum terbuai di peraduan malam.

Aku dan hadirin di dalam rumah panggung itu, tegang menantikan adegan berikutnya. “Nggo reh nini, kai penungkunen kena (Nenek sudah datang. Kalian mau tanya apa?)” suara tambah memecah keheningan.

Tiga pemuda desa yang duduk mengitari Guru Si Baso yang bernama Nangkeng Ginting itu lalu bertanya. “Apakah Sinabung akan meletus lagi?” ujar Sabar Sitepu, pemuda yang biasa menjadi pemandu pendakian bagi kelompok-kelompok pencinta alam.

Mata Nangkeng terpejam. Suara gemeresik seperti radio rusak keluar dari tenggorokan, sementara bibirnya terkatup. Setelah suara gemeresik berhenti, Nangkeng berujar, “Kata mereka, Sinabung tidak akan meletus lagi. Aman.” Siapa mereka yang dimaksudkan? Aku kembali teringat ibu, yang disebut Nangkeng sebagai ‘mereka’, jinujung itu kah? Atau roh-roh penjaga Sinabung?

“Kenapa tahun lalu Sinabung meletus?” ujar Sabar lagi. Suara gemeresik terdengar kembali dari tenggorokan Nangkeng.

“Mereka marah. Warga menambang batu dan melukai mereka. Warga sudah meninggalkan mereka dan tidak mau mengadakan upacara lagi,” jawab Nangkeng.

Bagi Nangkeng, Sinabung bukan hanya batuan. Dia sosok hidup, bisa terluka dan marah. Asap putih yang mengepul dari puncak Sinabung ibarat hembusan napas roh-roh gunung.

Roh yang semula tertidur tenang itu bangkit sejak Sinabung meletus pada 29 Agustus 2010. Padahal sudah ratusan tahun tak pernah terjadi. Karena itu, kehadiran Guru Si Baso bagi masyarakat seputar Sinabung, kini terasa urgensinya. Karena itu pulalah aku pun dapat menyaksikan ritual yang dulu diceritakan ibu. Ya, letusan Sinabung memicu hidupnya kembali kepercayaan tradisional ini.

Cerita yang hampir sama pernah juga aku dengar dari teman kelompok pencinta lingkungan. Cerita itu tentang pohon besar di deleng ganjang. Di mana keberadaan deleng ganjang persisnya, aku juga tidak tahu. Kudengar, karena pohon besar di deleng ganjang itu sering dipuja,d ia jadi ‘hidup’ dan dapat menjaga kelestarian alam.

Sebagai alumunus sebuah universitas dan dibesarkan dari keluarga intelektual, juga masyarakat urban, aku tak mudah percaya ataupun tak percaya mengenai sesuatu hal, sebelum fakta empiris yang berbicara.

Kisah sang teman padaku, pohon besar yang tumbuh di belantara deleng ganjang diyakini sebagai ‘induk’ dari pohon-pohon lain dan memang beda dari pohon-pohon lain. Pohon itu adalah penjaga hutan. Tingginya puluhan, bahkan mencapai ratusan meter ke atas. Tak ada yang pasti tentang seberapa besar dan tingginya pohon yang di bawahnya ada tempat pemujaan tersebut.

“Pernah suatu kali seorang penebang kayu terpelanting bersama sinsonya, ketika mencoba menggergaji pohon yang kerasnya nyaris menyerupai baja tersebut. Seketika gergaji si tukang sinso patah, dirinya terpelanting jauh membentur pohon lain dan tewas seketika dengan kepala pecah. “Keramat deleng ganjang marah,” cerita teman padaku. Aku tak berkomentar.

Sebagai seorang intelektual, aku mendengar saja cerita-cerita dengan takzim. Para pencuri kayu yang tak pernah jera, juga kegelisahan masyarakat jika keramat deleng ganjang marah. “Sekarang saja sudah banyak penyakit yang menimpa tanaman-tanaman dan kita. Lalat-lalat perusak jeruk, hama tanaman, longsor, mata air yang kian mengecil bahkan mengering dan lain sebagainya. Itu peringatan dari keramat deleng ganjang agar jangan merusak hutan,” tambah teman itu padaku.

Kini, peritiwa yang sulit diterima akal itu kusaksikan sendiri dengan mata kepalaku, ritual tradisional, dipimpin seseorang dalam berhubungan dengan roh gaib atau jiwa orang yang telah meninggal. “Para wanita itu memiliki roh pelindung. Dalam memimpin upacara, mereka selalu berkomunikasi dengan mahluk gaib melalui keadaan kesurupan,” suara ibu terngiang di telingaku. Padahal ibu sudah belasan tahun lalu meninggal dunia.

Suara ibu dan cerita teman silih berganti di kepalaku. “Beberapa ritual yang melibatkan Guru Si Baso dilakukan orang-orang Karo seperti perumah begu, raleng tendi, erpangir ku lau, ataupun perumah dibata (perumah jinujung),” cerita ibu.

“Salah satu ritual perumah jinujung dilakukan di Pancur Batu (Kabupaten Deli Serdang) 18 Agustus 2005 lalu. Erpangir ku lau dilakukan di Lau Debuk-Debuk di kaki Gunung Sibayak 14 Desember 2005. Ritual ini dilakukan setiap bulan pada hari ke 13 menurut penanggalan hari Karo yang disebut hari cukera dudu (cukera ku lau). Perumah Begu juga dilakukan beberapa warga di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo,” cerita teman.

Kata teman itu lagi, sebuah ritual akan dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi jiwa-perasaan, napas, dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta kecil (‘mikro-kosmos’). Ketidakseimbangan ini kan menyebabkan berbagai kerugian, seperti; bangger (sakit), mara (malapetaka) dan akhirnya kematen (kematian).

Daya pikiran manusia dianggap bertanggungjawab ‘ke luar’ guna menjaga keseimbangan dalam diri manusia dengan keseimbangan luar sebagai ‘makro-kosmos’ (alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial dan lingkungan alam sekitar. Keseimbangan alam semesta ini akan terganggu jika terganggunya beberapa inti kehidupan (beraspati): tanah, air, udara dan rumah.

Salah satu contoh dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang adalah jika terjadi sebuah kemalangan (kematian) dari salah satu anggota keluarga. Ritual perumah begu akan dilakukan untuk mengatasinya.

Hanya beberapa hari setelah letusan Sinabung, para Guru Si Baso disibukkan berbagai upacara. Memang, sebelum Sinabung meletus, acara ritual masih dilakukan, tetapi intensitasnya tidak seperti saat ini.

Nangkeng, memimpin ritual pemberian sesaji berupa rokok, bunga, dan hasil bumi di dekat Danau Lau Kawar, yang berada persis di kaki Sinabung. Sebelumnya, ritual juga diadakan di Desa Guru Kinayan, Kecamatan Payung, dan di Desa Kuta Rakyat, Kecamatan Naman Teran. Seekor kambing putih dan lembu dilepaskan di kaki gunung sebagai peresembahan. Ketika itu aku tak dapat hadir.

Setelah Sinabung meletus, ritual hampir dilakukan sepanjang tahun. Warga biasanya segera mengadakan ritual jika merasa menemukan keganjilan. Seperti yang terjadi di Desa Guru Kinayan, pertengahan Juli 2011, beberapa warga mengaku melihat sarilala, semacam bola api, melintasi desa mereka. Khawatir terjadi musibah, terutama karena gunung meletus, warga menaruh sesaji di tempat keramat, seperti sumber air, pohon besar, dan makam kuno.

* * *

Tiba-tiba, seluruh tubuhku kejang, kaku dan tak bisa digerakkan. Bibirku nyerocos sendiri tanpa bisa kukendalikan. Hadirin yang hadir di situ mengalihkan perhatian padaku, tidak lagi kepada Nangkang. Mereka bertanya berbagai hal. ‘Aku yang lain’ menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar.

“Bila bandit, pencuri kayu, pemain pupuk palsu, pengijon, rentenir yang berkuasa di Tanah Karo ini, masyarakat Karo dalam waktu yang tak lama lagi akan jadi orang asing di tanahnya sendiri”. Mereka dengan takzim mendengar semua penjelasan ‘aku yang lain’.

“Lihatlah kondisi negara Indonesia ini, ada sekelompok orang yang secara de jure tetap mengakui Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota hingga Lurah atau Kepala Desa adalah Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota hingga Lurah atau Kepala Desa yang sah diangkat oleh RI. Dalam praktik keseharian, mereka –kelompok itu– punya pemeritahan sendiri dan mematuhi atasannya tersebut.

“Lihatlah, dalam kehidupan sehari-hari, mereka punya jaringan bisnis, pemerintahan, bahkan kekeluargaan sendiri yang tidak kita ketahui. Ketika mereka mengurus sesuatu perizinan akan dengan mudah dan cepat selesai. Ketika mereka berbisnis, penetrasi pasar akan dengan mudah mereka lakukan bahkan akhirnya menguasai pasar. Contoh kecil, jeruk dari Tanah Karo kita ini tak dapat bersaing dengan jeruk mereka. Padahal jeruk itu diimpor dari negara luar,” bebar ‘aku yang lain’.

“Siapa kelompok itu?” tanya orang-orang yang ada di rumah panggung tersebut. ‘Aku yang lain’ terdiam.

Beberapa menit kemudian, aku tersadar. Badanku tidak lagi kaku dan susah digerakkan. “Guru Si Baso… Guru Si Baso… Guru Si Baso,” teriak mereka menyalami dan memelukku.

Aku terngengah-engah jadinya.
sumber: http://analisadaily.com

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *