CERPEN: GUADALUPE

Oleh : Hujan Tarigan (Binjai)

GUADALUPE adalah pohon terakhir yang hidup di hutan kami. Iya, yang terakhir. Betul-betul yang terakhir!. Memang, sejak datangnya agama baru di kampung kami, satu per satu warga tak lagi datang ke tengah hutan untuk menghampiri dan membersihkan pohon besar seperti Guadalupe. Tak ada sesaji lagi, buah dan sagu yang bertengger setiap pagi di bawah dahan rindangnya.

Sebab dalam dongeng yang dikisahkan oleh pembawa agama baru itu, pohon-pohon besar yang ada di tengah hutan hanyalah pohon yang berusia ratusan tahun. Sama-sama mahluk Tuhan. Bahkan kabarnya suka dihuni oleh setan, wewe gombel, jin ifrit, hantu hutan, dan segala jenis jembalang. Itu kata mereka. Maka itu lah akhirnya lambat laun warga jarang mendatangi pohon-pohon di tengah hutan lebat, di belakang kampung kami.

“Pohon-pohon itu diciptakan untuk menopang kehidupan manusia di dunia. Daun dan ranting bisa diambil. Pendek kata dari akar sampai pucuk ada gunanya,” kata pemuka agama baru yang dari hari ke hari semakin banyak pengikutnya.

Awalnya banyak belukar yang tumbuh di sekitar pohon-pohon besar di tengah hutan itu. Namun, pada akhirnya, ada juga satu dua penduduk yang  berani menebang pohon-pohon yang sudah berusia ratusan tahun itu. Satu pohon dua pohon, lama-lama seratus hektar sudah pohon-pohon yang dulu dikeramatkan itu ditebang. Habis, gundul, botak. Seperti kepala cukong yang suatu hari datang ke kampung kami sambil menawarkan kepada orang-orang desa pekerjaan baru; merambah dan membuka lahan!

“Saya mohon bantuan dari warga desa sini untuk membantu saya membuka lahan baru untuk hunian para transmigran saudara-saudara kita dari pulau Jawa.” kata cukong gendut itu sambil mengelus-elus kepalanya yang botak.

Maka sejak itu, penduduk berlomba-lomba merayap di tengah hutan lebat. Berburu pohon-pohon yang dulu mereka sembah, dan mereka yakini sebagai yang mengatur kehidupan di dunia. Dengan alat yang paling tradisional sampai alat canggih yang didatangkan dari ibu kota Jakarta. Dengan berbagai merek teknologi dari luar negeri.

***

Hujan mulai reda. Tetes-tetes air menyusup di antara dedaunan rimbun Guadalupe. Pohon itu masih tetap berdiri tegar. Masih setegar dahulu, ketika dongeng Baratayudha dikisahkan para pandita. Masih tetap kokoh, sekokoh dahulu, ketika udara nusa ini dipenuhi asap mesiu pertempuran Anusapati atau Antasari. Masih gagah, segagah dahulu ketika hawa panas revolusi benar-benar membakar semuanya. Membakar semua bentuk imperialisme di dunia. Masih kuat, sekuat dahulu, ketika menjadi saksi bisu dari kisah-kisah gerilyawan yang masuk keluar hutan, merampok dan menghabisi logistik lawan. Guadalupe. Guadalupe.

Guadalupe masih angkuh menantang angin yang masih bertiup dengan kencang. Geledek dan guntur masih membahana di atas langit hutan dan kampung kami. Masih lantang menyanyikan kekalahan Guadalupe yang sudah di depan mata.

“Guadalupe pasti tumbang, tapi entah kapan. Guadalupe adalah yang terakhir tumbuh di atas bumi.”

“Ini dia, tinggal satu-satunya yang masih tegak berdiri,” Syawal berbisik. Matanya merah. Sudah semalaman kami berjalan menembus hutan. Hanya untuk sampai di pohon terakhir.

Aku menghela nafas, keringat masih bercucuran. Kusandarkan singsaw di batang pohon besar, yang sekarang sudah ada di depan mataku. Benar-benar besar. Aku tengadah ke pucuknya, tinggi sekali. Aku mengira, kalau ketinggiannya sanggup menembus kulit langit.

“Jam berapa?” tanyaku.

“Dua jam dari sekarang,” jawab Syawal sambil membuka botol vodka. Temanku itu menenggak bagiannya lantas mengirimkan botol setengah kosong itu padaku.

“Lumayan hangat, jari kakiku tadinya nyaris tak bisa digerakkan,” katanya lagi sambil meminta botol yang baru saja kutenggak isinya.

Aku diam, Syawal juga terdiam. Yang terdengar hanya suara tetes hujan yang satu-satu masih jatuh menimpa dahan. Suara jangkrik perlahan muncul dari balik kesuraman hutan yang sudah meranggas ini hingga membuat semuanya tak lagi benar-benar sunyi.

“Kau takut?” tanya Syawal kepadaku. Aku menggeleng sambil menelan ludah.

“Lima belas tahun yang lalu aku masih suka ke sini. Membawa sagu, buah, kembang dan kemenyan,” ceritanya. Aku menghampiri Syawal, maklumlah sebelum kenal agama, dia ini memang pernah menjadi pemuja pohon dan jembalang hutan.

“Bersama ayahku, kami keluar masuk hutan untuk berburu babi, makanya kami singgah di sini.” kata dia. Aku mendengar dan mencoba masuk ke dalam suasana.

“Suatu hari, kami mengalami kesialan. Sudah dua hari berburu babi, tapi tak ada satu ekor pun yang kena. Lalu, ayahku mengambil sedikit bekal kami, dan menyuguhkannya di bawah pohon ini. Lalu berdoa,” kata Syawal sambil menirukan orang berdoa, dengan menyembah-nyembah pohon besar yang ada di depan kami.

“Percaya atau tidak, tak lama ayahku berdoa, seekor babi tiba-tiba muncul di depan situ,” kata dia sambil menunjukan sebuah tempat.

Mata Syawal berbinar, aku rasa dia puas mengisahkan pengalamannya itu kepadaku. Sambil setengah tertawa dia meneruskan kisahnya, “Sekarang semuanya berubah. Aku percaya tak ada sesuatu yang akan terus bertahan. Cepat atau lambat. Hanya persoalan waktu,” kata dia.

Aku masih menggigil kedinginan. Keringat dan air hujan bercampur. Entah menjadi apa. Badanku serasa mau rubuh saja. Tapi tak mungkin, sebab beberapa waktu lagi babak penghabisan dari sebuah kisah akan berakhir. Dan itu artinya akan dimulai lagi kisah yang baru. Yang akan menjadi dongeng, atau legenda kemudian hari. Siapa tahu.

Aku sudah terlalu banyak mendengar kisah keangkeran tempat ini, kesucian dan kesakralan pohon besar yang konon menurut ceritanya adalah jembatan penghubung antara dunia manusia dan dunia dewata. Menurut ayahku, tak ada wewe gombel yang mendiami pohon ini. Yang ada, adalah dewa kesuburan, yang membagikan rejeki kepada siapa saja yang datang kepadanya. Tetapi oleh karena kesetiannya pada dongeng kesucian Guadalupe, aku bersedih. Sebab ayahku mati dalam keyakinannya, yang menurutku adalah keyakinan yang palsu.

Entahlah, mungkin saja ayahku benar. Mungkin aku yang salah. Atau mungkin saja, nantinya, dari surga yang berbeda, kami akan saling menyapa. Mungkin saja. Toh semua ajaran menjanjikan mimpi yang sama. SURGA! Sebuah tempat yang antara ada dan tiada. Tapi bagiku inilah surga; hutan lebat lima tahun yang lalu, suara suara hewan liar gentayangan. Ini surga yang nyata, yang menjanjikan pemandangan paling eksotik di depan mata. Hijau, jingga, merah nyala. Bagiku inilah warna surga sebenar-benarnya.

***

“Dilarang berpikiran kotor di tempat ini” kata Syawal membuyarkan lamunanku.

“Kenapa? Kau masih percaya saja dengan dongeng,” kataku sambil merampas botol vodka yang ada di tangannya. Syawal tersenyum

“Aku masih percaya. Tapi ini tak ada urusan dengan keyakinanku yang sekarang,” kata dia berdialektika. Aku mesem saja menahan panas kerongkongan dari tegukan kadar 46 persen alkohol yang diberikan cukong berkepala botak kepada kami.

“Mabuk kau,” kataku memaki Syawal. Dia terkekeh. Membuat bulu kudukku berdiri.

“Kau yang mabuk,” katanya. “Kau tak tahu apa-apa soal pohon ini,” kata dia dengan wajah tegang. Aku menggigil. Tapi bukan gigil kedinginan.

***

Angin membawa bau hutan tropis masuk menusuk hidungku. Perlahan efek dari alkohol itu terasa juga. Aku mulai menggerakkan kakiku. Jantungku semakin berdegup kencang memompa darah. Keringat sebesar jagung mengusir air hujan di bajuku. Tapi Guadalupe, aku masih tak bisa merasakan Guadalupe. Aku masih tak bisa kenali pohon yang membuatku hidup sampai sekarang. Guadalupe!

***

“Ini, ada sagu, dan buah,” kata ayah kepada ibu, lima belas tahun yang lalu.

“Darimana Yah,” tanya mendiang ibuku. Ayah diam. Ibu terus mendesak.

“Ayah mencuri dari Guadalupe lagi, kan?” serang ibu. Aku diam, terkapar pasrah kesakitan. Sebulan sudah aku kekurangan gizi. Terbaring di dipan bambu lapuk. Menahan lapar dan sakit aneh.

“Ah, sudahlah, yang penting anak kita makan,” kata ayah.

“Tidak, ini haram. Menurut agama, ini haram, apalagi dicuri dari sesaji, haramnya jadi dua kali,” kata ibuku yang waktu itu telah memeluk agama.

Mereka bertengkar sepanjang malam, hanya gara-gara sagu dan buah dari Guadalupe. Semakin lengkaplah kesengsaraanku. Ketika ibu menangis dan ayah membanting semua sagu dan buah ke tanah. Aku menangis, dan mengais. Lantas menyudahi perdebatan mereka tentang sagu dan buah dari bawah Guadalupe.

Dengan sisa tenaga, aku santap habis sagu dan buah yang dibawa ayah. Dari depan pintu aku lihat ayahku menitiskan air mata memandangiku. Dan ibuku terduduk lesu dengan seribu argumennya yang tak mempan olehku.

***

“Jan, kau tahu, agaknya dahulu Guadalupe selalu senang dengan persembahan dan sesaji dari ayahku,” kata Syawal lagi-lagi menyoyak ingatanku.

“Buktinya, setiap keesokan harinya ayahku datang untuk memberikan sesaji yang baru, sesajinya yang kemarin sudah habis. Begitulah, ayahku merasa peruntungannya semakin hari semakin baik setelah jin penunggu pohon ini melahap habis sesajinya.” kata Syawal.

“Tapi aku bersyukur, kebodohan ayahku tak berlangsung lama. Akhirnya dia memakai pikirannya untuk memeluk agama,” kata Syawal membanggakan ayahnya yang sudah mati dalam keadaan beragama.

Aku ingat ayahku. Mataku berkaca-kaca. Boleh jadi sagu dan buah yang selalu dibawa ayah adalah sesaji dari ayah si Syawal. Bodoh betul kalau begitu ayah si Syawal. Bahkan sampai mati dia tak tahu kalau sesajinya tak pernah dimakan oleh Guadalupe. Huh, konyol!

Aku pernah berpikir, betapa konyolnya orang-orang seperti kami. Dimelekkan oleh ajaran baru, tapi harus kehilangan pohon yang jumlahnya beribu. Dan sekarang tinggal satu. Itu pun siap ditebang. Oleh tangan-tangan orang sepertiku. Huh, betul-betull konyol! Aku muak melihat si Syawal, melihat ayahnya, melihat ayahku. Bahkan aku sudah muak pula melihat diriku, yang beragama hanya karena takut kelaparan. Sambal goreng!

***

“Ya, hitung-hitung kita beramal. Memberikan saudara-saudara kita dari pulau Jawa tempat tinggal. Dengan membuka  hutan bagi mereka. Kita telah memesan sebuah tempat di surga,” demikian kata pemuka agama ketika memberikan sambutan pada acara penebangan pohon pertama. Sementara di samping orang itu, cukong berkepala botak tersipu-sipu malu. Sungguh merendahkanku, merendahkan nenek moyangku!

***

Dua jam berlalu dengan cepat. Sementara belum selesai lagi ziarah sejarahku, rombongan cukong berkepala botak telah tiba dengan alat canggih dan lebih mutakhir.

“Ini dia pohon terakhir,” seru Syawal bersemangat sambil bangkit dari duduknya. Aku pun bangkit sambil menepis lumpur yang lengket di celanaku.

“Wah, mantap. Tentu berharga sekali,” bisik si cukong botak sambil memerintahkan anak buahnya yang lain untuk mengukur dan mengikat batang Guadalupe. “Pakai rantai yang paling besar. Singsaw kecil tak sanggup menebasnya,” perintah dia kepada seorang pemuda yang berasal dari kampungku. Aku minggir dan mengambil singsaw yang semalaman kupanggul dari kampung. Sekarang beban itu tak ada artinya. Percuma membawa jauh-jauh. Cukong botak punya singsaw lebih canggih.

Untuk terakhir kalinya aku mamandang kepada Guadalupe. Aku mencoba mengingat pada sejarahku. Aku berusaha keras senafas dengan pohon tertua yang tersisa di hutan gundul ini. Lengkingan singsaw merobek lapisan luar kulit Guadalupe. Dia menangis. Aku merasakan itu. Lebih ke dalam lagi, sampai ke inti. Guadalupe meraung. Tapi tak ada yang mendengarnya. Sebab raungannya kalah oleh nyanyian senang singsaw dan tawa rendah si cukong botak.

Sekarang Guadalupe ditarik-tarik dengan tronton. Roda berputar. Waktu berkisar. Aku teringat ayahku, aku teringat ibuku, aku teringat diriku yang hampir mati kelaparan.

Guadalupe sekarang menyerah, goyah dan akhirnya rebah ke tanah. Semua orang girang, tertawa puas. Lantas dengan semangat mereka membawa kapak dan golok, menebas ranting dan dahan-dahannya. Guadalupe mengaduh, tapi aku hanya bisa mengeluh. Guadalupe meratap, tapi aku hanya bisa menatap. Guadalupe berkisah, tapi yang lain bisanya cuma berkilah! Singsaw menyanyi, Guadalupe mati.

***

Empat jam sudah. Guadalupe menjadi kepingan-kepingan papan dan balok dengan berbagai ukuran. Aku terduduk lemas. Di bawah curah hujan yang kembali turun pelan-pelan menderas.

“Jan, ke mari. Di truk saja istirahatnya,” panggil Syawal. Hujan semakin deras, semua penebang menghamparkan begitu saja pilah-pilah bagian Guadalupe. Aku kehabisan tenaga. Aku pasrah.

***

Menjelang malam, hujan kian deras. Air mulai menggenang. Tanah berlumpur membenam tubuhku. Aku berusaha bangkit. Tapi tak bisa. Penat sekali. Dan tulangku sudah mati tak bergerak lagi.

Samar-samar tak kulihat lagi tronton dan penebang lain. Kemanakah mereka? Tega sekali mereka membiarkanku terkapar sendirian di tengah hutan, di tengah hujan. Aku minta tolong menggapai-gapai. Sementara rendaman air sudah menelan tubuhku. Aku berdiri. Tapi sia-sia, sebab air sudah menenggelamkan diriku. Aku melolong minta tolong. Tak ada yang dengar. Sekeping bagian Guadalupe mengambang di depanku. Aku berenang menggapainya. Guadalupe hanyut saja.

Sementara tronton dan penebang lainya hanyut di depanku. “Syawal! Tolong aku!” aku memanggil Syawal. Tapi agaknya dia tak dengar. Posisinya telungkup tak bergerak. Sementara si cukong botak mengambang dengan perutnya yang semakin besar. Tidak, tidak! Ini berlebihan!

Guadalupe, tolong aku! Tolong aku!

***

Hari masih begitu pagi ketika kukatakan pada ayah, bahwa dia begitu tolol. Dia begitu tolol…

(Kata pertama “Guadalupe” dituliskan di Gedung Dewan Pers, 17 Maret 2007.

Ditutup dengan “tolol” di Palmerah, 4 April 2007)

Guadalupe,  Dimuat di Rakyat Merdeka Online. Kamis, 14 Oktober 2010
sumber : http://www.sorasirulo.net

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *