Jangan katakan dirimu Karo
Kalau kau tidak bisa berbahasa Karo
Buka saja topeng kekaroanmu
Karena aku benci Karo Dibalik Topeng
(Joey Bangun, KARO DIBALIK TOPENG)
Berapa diantara kita yang membaca tulisan ini yang mengerti, atau bisa/fasih/pasif menuturkan bahasa Karo? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab kepada saya. Tapi cukup dijawab di hati saudara. Coba sekali lagi renungkan penggalan monolog yang saya tuliskan di atas dan coba raba-raba dimanakah kedudukan anda sekarang. Selagi anda masih meraba-raba, saya sudah menyimpulkan “kebudayaan Karo diambang krisis identitas”.
Dalam ilmu antropologi bahasa/language dikenal dengan sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Di sisi lain dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan sebuah identitas suku/bangsa.
Sangat lucu, misalnya, jika seorang Karo memperkenalkan dirinya pada orang lain yang bukan orang Karo, “Saya adalah orang Karo.” Lalu orang non Karo itu bertanya, “Bagaimana bahasa Karo?” Orang Karo itu bingung bukan kepalang. Karena pada dasarnya dia memang tidak tahu bahkan tidak mau belajar bahasa Karo. Justru dia lebih lancar berbahasa Inggris daripada bahasa ibunya sendiri. Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa ibunya, sedang bahasa Karo adalah bahasa ibu tirinya.
Sekarang menjadi pertanyaan bagi kita, “Bagaimana kita menunjukkan kepada semua orang tentang eksistensi suku Karo wong kita sendiri tidak tahu bahasa Karo.” Berpikirlah yang logis dan tidak usah muluk-muluk. Untuk apa kita berbuat begini atau begitu demi Karo sedang kita sendiri tidak menjadikan bahasa Karo bagian dalam hidup kita. Bahasa Karo sudah dianggap bukan bagian yang penting dalam akhlak kehidupan. Disinilah awal krisis identitas itu.
Sumatera Utara memang unik. Propinsi terbesar di pulau Andalas itu terdiri dari 8 suku bangsa dengan 8 bahasa yang berbeda pula. Jadilah Medan sebagai ibukota propinsi sebagai kota multi etnis. Dan tentu saja semu suku berbaur menjadi satu. Maka bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan dikenal oleh semua suku-suku itu dijadikan sebagai alat interaksi.
Kalau memang maksud cita-cita dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tentu saja cita-cita tersebut sudah terwujud di Medan. Namun ketika kita berbicara tentang bahasa sebagai identitas suatu suku/bangsa, atau katakanlah suku Karo dengan bahasanya, maka kita perlu was-was dengan keadaan ini.
Persoalan ini sebenarnya kompleks. Sedari kecil kita tidak pernah membiasakan diri berbahasa Karo. Kesalahan tentu saja tidak berpusat pada si anak dan lingkungannya. Namun lebih dititikberatkan pada sang orang tua yang tidak pernah membiasakan anaknya berbahasa Karo di rumah. Jadilah sang anak tidak paham berbahasa Karo.
Kecendrungan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Karo. Menurut Arif Rachman, Guru Besar bidang ilmu pendidikan bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, “Kondisi bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia yang sangat banyak ini ternyata hanya digunakan oleh minoritas masyarakat dan tergeser oleh bahasa-bahasa yang dianggap universal, seperti bahasa Inggris dan bahasa resmi negara masing-masing. Indikasi ini mencerminkan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masuk dalam kategori bahasa mayoritas, tetapi minoritas pemakaiannya, secara perlahan akan mengalami kepunahan.”
Dari apa yang dikatakan Arif Rahman di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa daerah bukan lagi merupakan bahasa mayoritas yang dipakai oleh sebuah etnik. Tetapi telah tergantikan oleh bahasa dominan yang dipakai masyarakat oleh negara itu.
Pemikiran di atas dapat disimpulkan, bahasa Karo bukan lagi merupakan bahasa mayoritas yang dipakai masyarakat Karo tetapi sudah menjadi bahasa minoritas.
Kesimpulan ini dikuatkan dengan fakta mayoritas masyarakat Karo saat ini tinggal di luar Karo. Hal ini menuntut masyarakat Karo itu untuk berbaur dengan berbagai etnis di tempat dia tinggal. Tentu saja dia akan menggunakan bahasa mayortitas disana apakah bahasa Indonesia atau bahasa daerah tempat dia tinggal. Jadilah bahasa Karo sebagai bahasa minoritas.
Untung saja bahasa Karo terbantu adanya beberapa komunitas arisan/perpulungen di kalangan Karo perantauan, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang liturginya sampai saat ini eksis dengan bahasa Karo walau di beberapa tempat waktu-waktu tertentu sudah menggunakan memakai bahasa Indonesia, Komunitas Karo Muslim, hingga Komunitas Karo Katolik.
Namun sayangnya keinginan belajar bahasa Karo tidak lahir dari diri sendiri. Efeknya bahasa Karo tidak populer dan ditinggalkan. Mungkinkah bahasa Karo akan punah? Lakukan sesuatu untuk itu!
sumber : http://bungarimna.wordpress.com