Suku Karo merupakan salah satu suku yang kaya akan kuan-kuan, kiasan, ataupun sejenis ungkapan lainnya. Prof. Masri Singarimbun (alm) bahkan telah mengumpulkan 1000 kuan-kuan (pribahasa) di dalam bahasa Karo, yang telah dirangkum ke dalam satu buah buku. Hal ini menunjukkan bahwa orang Karo sangat kreatif dalam mengungkapkan sesuatu hal, apakah itu mengenai hal yang baik atau pun buruk. Namun tidak saja kreatif, tetapi ini menunjukkan bahwa tipikal masyarakat Karo sesungguhnya adalah suku yang melankolis, “halus”, dan tidak suka to the point seperti karakter etnis Batak yang suka dicap berkarakter out spoken.
Penggelaren orang tua umpamanya. Lazimnya orang Karo jaman dahulu memberi sebutan nama anak yang paling tua terhadap penggelaren ayah atau ibunya. Namun demikian ada juga penggelaren yang diberikan sebagai bahan olokan bagi yang bersangkutan. Di kampung saya dulu ada namanya Pa Kanting, padahal nama sebenarnya Ngangkat (maaf bila ada nama serupa dengan nama tsb). Pa Siding nama aslinya sebenarnya Ngulihi. Di tempat lain ada nama Pa Lompat padahal nama sebenarnya Mengkat. Kebiasaan seperti ini malah menular kepada suku Jawa yang ada di kampung saya seperti Barjo (bagong rambut jorok). Hal-hal seperti ini masih berlanjut sampai sekarang, sekalipun sudah mengalami evolusi. Seperti kata ‘Pa’ berubah menjadi ‘Bp’ (bapa). Misalnya : Bp. Desy, Bp. Amey, Bp Madonna dll.
Saya berpendapat bahwa kuan-kuan bagi masyarakat Karo mungkin cuma populer dikalangan orang tua jaman dahulu, ternyata itu salah. Kalau diperhatikan mungkin di kerja-kerja nereh empo,dan kerja adat lainnya, juga lagu-lagu Karo, masih sering kita dengar istilah-istilah baru yang mungkin masih asing di telinga kita. Di tahun 1990-an ada istilah baru yang terlahir dari sebuah lagu, seperti potongan judul di atas, ‘lembu Maryke pulah tambatna’. Sepintas tidak ada yang istimewa dengan kata itu. Biasa saja. Namun waktu diberi tahu, saya terkagum ketika dijelaskan makna istilah tersebut. Ternyata memiliki makna yang sangat dalam.
Sebagai orang yang berasal dari daerah itu saya berusaha mencari sumber kuan-kuan ini. Sebab setahu saya di daerah ini bisa katakan tidak ada lembu, karena daerah yang letaknya berada di Langkat Hulu ini lebih populer dengan durian, karet atau kelapa sawit. Ah, benar saja. Itu memang hanya sebuah kiasan belaka yang populer lewat sebuah lagu. Lalu apa artinya? Begini, memang agak sedikit sulit menjelaskannya, tapi saya coba dengan cara dialog berikut:
“Tambatken lembuta ena, Nongat!”
“Enggo? enggo tambatken.”
Padahal “Enggo tambatken” disini maknanya sudah dilepas dari kandang, tetapi tidak diikat. Jadi antusenna pun begini, “Adi tambatna pe pulahi, uga ka dage adi pulahna?” Berarti lebih bebas, gila! Sehingga menjadi lembu Maryke ‘pulah’ tambatna bermakna orang-orang yang hidup ‘bebas’, tidak dikekang oleh sesuatu hal. Itu cuma kiasan. Dan saya bersumpah bukanlah seorang wild cowboy!
Lho, kiasan ini digambarkan untuk apa sebenarnya? Hal ini saya hanya menduga-duga dari pengalaman saya dari remaja hingga dewasa di kampung ini di era 1990-an. Sejak debutnya mulai tahun 1988, gendang kibot kemudian masuk ke Tanah Langkat dengan acara Mboro Ate Tedeh, yang biasanya diprakarsai orang Karo di perantauan Medan sekitarnya, dan sedikit dari pulau Jawa. Padahal acara ini di biasa gelar di negeri rantau, tapi dibuat malah di kampung sendiri. Alkisah, kibot pun berkembang, dan hampir setiap minggu ada gendang kibot di pesta-pesta. Bahkan suku Jawa pun yang kawinan acara hiburannya gendang kibot Karo. Dan saya kira, inilah biangnya. (bukan biang bahasa Karo, hehe). Jadi, bapak-bapak di sana sudah biasa pergi nonton kibot dan pulang pagi. Dan ibu-ibu di sana tidak (jarang) mengeluh, malah akur-akur saja. Nah lho!
Bukan karena hobby mereka menari, namun hanya sekedar hadir di suatu keramaian. Bisa saja tidak menari hingga pulangnya, dan itu tidak jadi soal. Tapi, kalau minta menari, dan dipersulit oleh protokol bisa-bisa akan timbul keributan.
Dan ada hal yang unik, kelompok anak muda (anak perana) berbeda, dan kelompok bapak-bapak berbeda lagi. Jadi masing-masing. Mungkin saja anak dan bapaknya saling bertemu di acara gendang itu, tapi masing-masing erbahan randana. Tak ada masalah. Tak perlu kikuk, begitulah kira-kira.
Di manapun ada gendang kibot, mereka ‘anak Maryke’ selalu hadir dengan ‘gerombolannya’. Jarak antara Binjai-Maryke sekitar 42 kilo meter dengan jalan tentu tidak semulus sekarang, itu juga akan di-jabanin kalau ada gendang kibot di sana, atau mungkin daerah lain seperti Tanjung Langkat, Kuala, Bahorok, Bukit Lawang, Namo Ukur dst. Apakah karena mereka haus hiburan? Kemungkinan pertanyaan ini tidak mengena, sebab rata-rata mereka memiliki antena parabola di rumahnya masing-masing. Artinya, secara ekonomi cukuplah. Jadi mungkin ekspresi kebebasan itu tadi yang inginkan diungkapkan. Sekalipun tidak semua perbapan di sana suka keluyuran malam. Dengan demikian kuan-kuan yang di atas tadi mencoba menggambarkan bagaimana kebebasan perbapan di kampung Maryke tadi. Merdeka se-merdekanya!
Berkenaan dengan ‘kemerdekaan’ itu tadi, masih ada satu kuan-kuan yang cukup populer dari kampung saya. Bagi nina Pa Nina, Pengulu Tinembok,: “ise perlu ia si reh”. Mungkin sudah cukup jelas makna dari pepatah itu. Tapi kebetulan Pengulu Tinembok adalah seorang yang pertandang-tandang yang masih sempat saya kenal. Karena hobbynya adalah jalan-jalan dari suatu kerja-kerja ke kerja-kerja yang lain. Dari satu kampung ke kampung yang lain. Padahal dia adalah seorang kepala kampung, sehingga rakyatnya selalu kesulitan bila ingin berurusan dengan sang Penghulu, karena jarang berada di tempat. Akhirnya, Pengulu Tinembok pun membuat pengumuman, “Ise si perlu, ia si reh” , adi kena si perlu kena si reh, adi aku perlu ma aku si reh”, katanya. Dan stempel desa pun di taruh di kampil-nya dan ia bawa ke mana-mana. Bila ada yang perlu membuat surat keterangan misalnya, orang harus mencarinya di kampung-kampung yang mungkin ada acara pesta lebih dahulu. Ini juga ekspresi kebebasan seorang pengulu. Soal kebebasan memang kita perlu bebas, tapi asal jangan bablas!
sumber: http://www.perkantong-samping.blogspot.com