Ngapain jalan-jalan? Bikin capek aja, buang-buang duit, atau apa pun pembelaannya adalah anggapan yang salah. Manusia diciptakan tidak seperti robot, yang hanya berhenti berproduksi jika rusak, atau sudah tidak laik lagi. Ibarat komputer, jika sudah jenuh perlu di-reset, maka manusia perlu rekreasi untuk menyegarkan diri.
Di negara maju, traveling sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Mereka kerja mati-matian, menabung lalu jalan-jalan – untungnya mereka memiliki hari cuti yang lebih banyak daripada kita. Memang di negara berkembang dimana kebutuhan hidup dasar menjadi prioritas, jalan-jalan sering tidak masuk ke dalam daftar wajib. Tapi jika Anda bisa membaca artikel ini via internet, saya yakin Anda sudah mampu untuk memasukkan jalan-jalan sebagai salah satu aktivitas.
Salah satu bentuk refreshing adalah jalan-jalan. Jalan-jalan menjadi pilihan, kalau mungkin menjadi kewajiban, alasannya jalan-jalan bisa menyegarkan fisik dan mental kalau dilakukan dengan benar. Tidak perlu berpikir untuk melakukan perjalanan besar dan jauh ke luar negeri, ingatlah Indonesia memiliki lebih 17.000 pulau. Bayangkan, jika menyinggahi setiap pulau setiap hari, tak akan habis dalam setahun. “Apapun kegiatannya, hal yang paling sulit adalah memulainya.” Demikian terjemahan bebas dari sebuah pepatah Cina. Jadi jangan memimpikan sebuah perjalanan yang besar, mulai saja dari yang kecil. Begitu sudah dimulai, berikutnya adalah sebuah romantika.
Bagi saya sendiri, jalan-jalan itu bagaikan sekolah. Saya yang bayar, tapi tetap harus mengerjakan “tugas-tugasnya”, seperti merencanakan perjalanan, membeli tiket, mencari penginapan, berkomunikasi dengan orang dengan bahasa yang tidak dimengerti, menemukan jalan di tempat yang asing, dan sebagainya. Mula-mulanya saya jalan-jalan di tempat yang dekat dengan rumah, lalu ke luar kota, luar pulau, luar propinsi, luar negeri – mulai dari negara tetangga sampai negara antah berantah. Saat pulang ke rumah dengan selamat, saya merasa telah “naik kelas” dan berusaha terus naik kelas sampai lulus dari kelas tertinggi.
Hasilnya? Pengetahuan dan wawasan tentu bertambah, begitu juga soft skills. Beberapa contohnya: saya semakin disiplin, terutama terhadap waktu. Semakin tinggi rasa toleransinya, karena harus berhubungan dengan manusia dengan beragam latar belakang. Semakin merasa dekat dengan Sang Pencipta, karena menyaksikan keajaiban dan keindahan alam. Bahkan semakin sering jalan-jalan ke luar negeri, saya justru semakin cinta dengan Indonesia!
Jadi jangan ragu, mau jadi hitchhiker, backpacker, flashpacker, atau luxurious traveler – itu semua hanya istilah yang mengkotak-kotakkan gaya jalan-jalan. Intinya, temukan saja kenikmatan jalan-jalan. Jangan pernah terpaku pada gaya atau tujuan. Gaya jalan-jalan itu tergantung dari kemampuan individu masing-masing, jadi tidak bisa dipaksakan. Lagipula, tidak selalu tujuan yang nantinya akan menjadi lebih berwarna. Barangkali perjalanannya yang lebih berwarna. Nikmati saja romantikanya, mungkin nanti ketemu teman seperjalanan yang cakep atau pengalaman yang luar biasa.
Mengutip kata Saint Agustine, “The World is a book, and those who do not travel read only a page.” Dari segala yang ada di dunia ini, masa Anda cuma mau melihat apa yang ada di sekitar Anda saja? Apakah membaca buku cukup dengan satu halaman saja? Tentu tidak. Sudah saatnya membaca halaman berikutnya. Mungkin halaman berikutnya tidak begitu menyenangkan, tapi baca lagi halaman berikutnya. Dan seperti buku yang bisa menambah pengetahuan dan wawasan, begitu pula dengan jalan-jalan. oleh : Trinity sumber : http://id.travel.yahoo.com