JAKARTA-PM-Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendukung penuh upaya Mahkamah Agung (MA) dalam menerbitkan Surat Edaran Mahmakah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam tindak pidana tertentu. SEMA tersebut dianggap sebagai langkah maju dalam reformasi peradilan pidana.
“LPSK memberikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap langkah maju MA dalam menerbitkan SEMA Nomor 04 Tahun 2011,” ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam siaran persnya yang diterima detikcom.
Menurut LPSK dengan menerbitkan SEMA Nomor 04 Tahun 2011 tersebut MA telah menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap tindak kejahatan. Ini sekaligus menegaskan komitmen antara lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia untuk memerangi setiap tindak pidana.
“Ini membuktikan kesepakatan yang ditandangani MA, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, Kemenkum HAM dan LPSK tidak sebatas kesepakatan di atas kertas,” terangnya.
Menurut LPSK dengan terbitnya SEMA Nomor 04 Tahun 2011 akan membangkitkan semangat Whistle blower untuk mengungkap suatu tindak kejahatan. “Whistle blower dan justice collaborator jadi tidak akan merasa takut dan terancam untuk mengungkap suatu tindak kejahatan,” imbuhnya.
MA mengeluarkan surat edaran terkait perlindungan bagi whistle blower atau peniup peluit dalam kasus kejahatan serius termasuk korupsi dan terorisme. Hakim diminta memberikan perlindungan hukum kepada terdakwa yang menjadi whistle blower.
“Terhadap saksi pelaku yang bekerjasama, hakim dalam menentukan pidana dapat mempertimbangkan menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus atau menjatuhkan pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud,” tulis Ketua MA Harifin Tumpa dalam edaran 10 Agustus 2011 yang didapatkan detikcom, Rabu (7/9).
Surat edaran terkait perlindungan bagi whistle blower itu bernomor 05/Bua.6/Hs/SP/VIII/2011. Perlindungan itu diberikan untuk menumbuhkan partisipasi publik guna mengungkap kejahatan serius seperti terorisme, narkoba, korupsi, perdagangan orang, dan kejahatan terorganisir.
“Harus diciptakan iklim yang kondusif antara lain dengan cara memberikan perlindungan hukum serta perlakuan khusus kepada setiap orang yang mengetahui, melaporkan dan atau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani tindak pidana tertentu,” jelas Harifin dalam surat edaran itu,
Pemberian perlindungan merujuk kepada pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003, pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang terorganisasi tahun 2000. Indonesia sudah meratifikasi aturan PBB itu. Perlindungan pada whistle blower juga sudah diatur dalam pasal 10 UU No 13 tahun 2006 tentang LPSK.(dc/jhon)
sumber: http://www.posmetro-medan.com