MENGOLAH TANAMAN OBAT MENJADI CAMILAN

Tanaman obat tidak lagi hanya dapat diramu menjadi jamu maupun obat herbal lainnya. Di tangan Dianie Hadyatie tanaman obat diolah menjadi camilan renyah yang mampu mendatangkan keuntungan jutaan rupiah. Wanita berumur 39 tahun ini memulai usaha membuat peyek secara tidak sengaja. “Tadinya saya mempunyai usaha membuat kerupuk,” kata Dianie kepada SH di sela-sela pameran di Bandung, baru-baru ini.

Usaha kerupuknya terhenti karena Dianie tak memperoleh pasokan bahan baku. Ide membuat peyek muncul setelah ia memperoleh pengetahuan dari keluarganya yang tinggal di Jawa Timur. Peyek atau rempeyek merupakan camilan yang banyak dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena belum berpengalaman, Dianie membuat peyek untuk dicoba di kerabatnya sebelum dijual.

Ternyata camilan olahan tangan Dianie ini disukai. Ia lalu membuatnya untuk dititipkan di warung di sekitar rumahnya di kawasan Bandung Barat. Makanan yang dibuat bukanlah peyek kacang maupun teri seperti lazimnya. Dianie mencoba tanaman obat seperti daun beluntas, binahong, kenikir, surawung (kemangi) serta sayuran seperti bayam dan kangkung.

Beluntas dan surawung, misalnya, lazimnya dikonsumsi untuk mengatasi bau badan. Daun binahong memiliki manfaat sebagai obat darah tinggi maupun asam urat. “Khasiat tanaman obat itu tidak hilang setelah diolah menjadi peyek,” terang Dianie. Setelah digoreng, tanaman obat ini memiliki khasiat, meskipun diakui Dianie berkurang. Olahan peyek Dianie tak sekadar camilan biasa. Dengan memanfaatkan bahan tanaman obat, peyek yang diolah Dianie memiliki khasiat kesehatan.

Diversifikasi peyek laris manis. Supaya tidak tergantung kepada orang lain dalam masalah bahan baku, Dianie menanami pekarangan rumahnya dengan tanaman obat yang dibutuhkannya itu.

Hanya bayam dan kangkung yang harus tetap dibelinya dari petani. Setiap hari Dianie membutuhkan 15-20 kg tanaman obat yang diolahnya menjadi peyek.

Pemasarannya diperluas tak hanya di lingkup tempat tinggalnya. Untuk meraih pasar, Dianie mengemas peyek seperti layaknya camilan yang dijual di pasar modern maupun toko oleh-oleh.

Setelah sekitar tiga tahun, peyek yang diberi merek Nusasari ini dipasarkan di kantin-kantin rumah sakit dan kantor, toko oleh-oleh hingga rest area Tol Cipularang antara Padalarang-Karawang. Tak berhenti di situ saja, Dianie rajin mengikuti berbagai pameran di Bandung maupun Jakarta, meski untuk itu ia harus merogoh kocek sendiri. Tidak jarang Dianie memperoleh pesanan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, secara rutin ada orang yang membeli untuk dijadikan sebagai buah tangan keluarganya di Singapura.

“Memang ada yang selalu pesan untuk dikirim ke Singapura. Jumlahnya tidak banyak,” tutur Dianie. Toh semakin luasnya pasar merupakan bukti peyek tak lagi menjadi camilan lokal semata karena lidah orang asing ternyata tidak asing dengan peyek. Kerja keras tak kenal lelah ini berbalas keuntungan. Setiap bulan Dianie mampu mengantongi omzet Rp 15-20 juta.

Omzet yang disebut Dianie lebih besar dibandingkan ketika ia masih memproduksi kerupuk. Bahkan, Dianie mampu mengantongi keuntungan hingga 50 persen dari omzet tersebut. Dari keuntungan inilah Dianie terus mencoba mengembangkan usaha. Menurutnya pinjaman dari sebuah bank BUMN pernah diterimanya senilai Rp 10 juta. “Sebisa mungkin untuk modal saya sisihkan dari omzet, meski tetap belum mencukupi untuk menambah produksi,” ujar Dianie mengakhiri obrolan.
sumber: http://www.sinarharapan.co.id

This entry was posted in Informasi AgriBisnis, Informasi Untuk Kab. Karo. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *